Sabtu, 17 Desember 2011

Tertawa Dalam Islam


Tertawa Dalam Islam
Oleh: M. Zamroni
Tertawa merupakan aktivitas fisik, tertawa atau pun menangis adalah akibat, bukan sebab. Pada umumnya ada stimulus (rangsangan) atau triger (pencetus) tertentu, seperti peristiwa sosial berupa kesenangan, kegembiraan, kebaikan, kejelekan, kemalangan, kelucuan, atau kekonyolan, yang membuat situasi batin seseorang gembira atau sedih.
Pada kali ini ISLAM TENGAH akan membahas tentang tertawa. Tertawa merupakan sifat dasar manusia sebagai karunia Allah SWt kepada manusia. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT dalam QS. 53:43 yang artinya: “dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis,”. Kemudian disebutkan juga bahwa Al-Qur’an memberikan arahan menyedikitkan tertawa dan memperbanyak menangis mengingat dahsyatnya kehidupan setelah mati. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. 9:82 yang artinya : “Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.”
A.     Pengertian dan Jenis.
Jenis-jenis dan tingkatan-tingkatan tertawa menurut kamus bahasa Arab: Pertama, tabassum (tersenyum), yaitu tingkatan dibawah tertawa dan merupakan tertawa yang paling baik. Kedua, tertawa terbahak-bahak (An-tagha). Ketiga, tertawa yang apabila ditampakkan berupa dengungan (Al-khanna wa al-khaniinan). Keempat, tertawa terbahak-bahak yang paling buruk (Thaikhun thaikhun). Kelima, tertawa yang melengking (At-thahthahatun). Keenam, tertawa yang lebih dari tersenyum (Al-hanuufu). Sebagian orang Arab menkhusukkan yang satu ini dengan tertawanya para wanita.
B.     Hukum
Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, “Sesungguhnya tertawa itu termasuk tabiat manusia. Binatang tidak dapat tertawa, karena tertawa itu datang setelah memahami dan mengetahui ucapan yang didengar atau sikap dari gerakan yang dilihat, sehingga ia tertawa karenanya.” Sesuai pendapat diatas, maka hukum tertawa adalah boleh.
C.     Manfaat
1.      Secara Kesehatan
ü      Sama dengan olahraga (dr. William Foy – Menuai Kesehatan dan Hikmah dari Tertawa).
ü      Mengurangi infeksi paru-paru (Tak mau hemat tertawa).
ü      Mengurangi sakit jantung (Tak mau hemat tertawa).
ü      Meningkatkan semangat dan kesehatan (Dr Joseph Mercola dan Rachel Droege- my husband, pls smile..........).
ü      Mengurangi dua hormon dalam tubuh yaitu eniferin dan kortisol, yang bisa menghalangi proses penyembuhan penyakit (Dr. Lee Berk – Menuai Kesehatan dan Hikmah dari Tertawa).
ü      Mengurangi rasa nyeri atau sakit (dr. Rosmary Cogan – Menuai Kesehatan dan Hikmah dari Tertawa).
ü      Obat awet muda (Prof. Dr. Lucille Namehow – Menangis dan Tertawa Sama Sehatnya).
2.      Secara Psikologi
ü      Mengurangi stress (Gaya Hidup – Tertawalah Selagi Bisa).
ü      Meningkatkan kekebalan (dr. W.M. Roan – Gaya Hidup – Tertawalah Selagi Bisa).
ü      Menurunkan tekanan darah tinggi (Gaya Hidup – Tertawalah Selagi Bisa).
ü      Mencegah penyakit (dr. William Frey – Gaya Hidup – Tertawalah Selagi Bisa).
3.      Secara Ibadah
ü      Merupakan sedekah.
ü      Memberi kesan berseri dan optimis.
ü      Penawar bagi rohani, obat bagi jiwa dan ketenangan bagi sanubari yang lelah setelah berusaha dan bekerja (Syaikh A-idh al-Qarni).
ü      Tanda kemurahan hati, isyarat bagi suatu temperamen yang mantap, tanda bagi murninya suatu tujuan (Syaikh A-idh al-Qarni).
ü      Menunjukkan kebahagiaan.
D.     Tertawanya Rasulullah SAW
1.      Berupa senyuman yang menarik.
2.      Tidak tertawa, kecuali apabila berhubungan dengan kebenaran.
3.      Tidak berlebihan dalam tertawanya hingga tubuhnya bergoyang atau hingga tubuhnya miring atau hingga terlihatlah langit-langit mulut beliau.
4.      Bukan berupa hal yang sia-sia atau permainan semata atau hanya sekedar pengisi waktu lengang semata.
E.      Adab/Etika
1.      Meneladani Nabi dalam senyuman dan tawa beliau.
Dari Ka’ab bin Malik r.a, ia berkata: ”Rasulullah apabila (ada sesuatu yang membuatnya) senang (maka) wajah beliau akan bersinar seolah-olah wajah beliau sepenggal rembulan.“ (HR Al-Bukhari kitab al-Maghaazi bab Hadiits Ka’ab bin Malik (no. 4418), al-Fat-h (VIII/142)).
2.      Tidak tertawa untuk mengejek, mengolok, mencela dan sebagainya.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Hujurat: 11).
3.      Tidak memperbanyak tertawa.
“Berhati-hatilah dengan tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati.” (Hadits shahih, Shahiibul Jaami’ (no.7435)).
4.      Tidak menjadikannya sebagai sebuah profesi seperti halnya saat ini.
”Celakalah bagi orang-orang yang bercakap-cakap dengan suatu perkataan untuk membuat sekelompok orang tertawa (dengan perkataan tersebut), sedang ia berbohong dalam percakapannya itu, celakalah baginya dan celakalah baginya.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi kitab az-Zuhd bab Man Takallama bi Kalimatin Yudh-hiku bihan Naas (no. 2315), telah di hasankan oleh Syaikh al-Albani dengan nomor yang sama, terbitan Baitul Afkar ad-Dauliyah)
Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi bahwa maknanya adalah apabila seseorang berbicara dengan suatu pembicaraan yang benar untuk membuat orang lain tertawa, hukumnya adalah boleh.
Al-Ghazali berkata, ”Jika demikian, haruslah sesuai dengan canda Rasulullah, tidak dilakukan kecuali dengan benar, tidak menyakiti hati dan tidak pula berlebih-lebihan.”
5.      Tidak berlebih-lebihan dalam tertawa dan terbahak-bahak dengan suara yang keras.
”Aku tidak pernah melihat Rasulullah berlebih-lebihan ketika tertawa hingga terlihat langit-langit mulut beliau, sesungguhnya (tawa beliau) hanyalah senyum semata.” (HR. Al-Bukhari kitab al-Aadab bab at-Tabassum wadh Dhahik (no. 6092), al-Fat-h (X/617))
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, ”Yaitu, tidaklah aku melihat beliau berkumpul dalam hal tertawa, di mana beliau tertawa dengan sempurna dan suka akan hal tersebut secara keseluruhan.”
Dan masih banyak lagi hadist yang menceritakan kisah senyuman dan tertawa Rosululloh SAW.
F.      Kesimpulan
bagaimana?? apa menurut anda pribadi ??

Kamis, 08 Desember 2011

Selamat Jalan Bibikku


Selamat Jalan Bibikku
M. Zamroni

Bulan November baru menunjuk angka dua. Sinar matahari hampir menyelesaikan tugasnya menyinari kota Bagu Lombok Tengah, suasana kelabu begitu terasa di Puskesmas Menemeng, para perawat serasa enggan berbicara. Semua hening, semua menunduk tanda sedih.
Semua bermunajat kepada Allah. Ya Allah, berikanlah kasih sayangmu kepadanya. Janganlah Engkau beri sakit yang begitu berat dan lama. Sembuhkanlah segera bila Engkau masih mengizinkannya hidup atau ah. Aku tak tega mengucapkan kata perpisahan ini, Ya Allah, Engkau Maha Tahu hati manusia, bila Engkau sangat sayang padanya maka panggillah ia segera dalam dekapan kasih sayangMu.
Suaminya, hari itu begitu sibuk melihat alat pemantau, denyut nadinya ada dikisaran 15 hingga 60, suatu ukuran yang sangat lemah untuk ukuran tubuh manusia. Juga fungsi batang otak yang harus selalu memberikan instruksi kepada organ tubuhnya ada dilevel 3, level yang paling bawah dari tingkat kesadaran manusia. Suaminya, keluar dari ruang ICU, berdiskusi sejenak dengan sanak saudaranya. Berkatalah si Suami. Mari kita bersabar, bilamana Allah sangat menyayangi ummi, biarkanlah ia menyambut panggilanNya. Ihwa dan Sarhan, tak kuasa menahan keluarnya air mata, bukan tidak ridha, tapi tangisnya adalah tangisan sayang buat umminya.
Tiba-tiba, di dalam sana, suster memangil si Suami untuk bersegera membantu keberangkatan istrinya menyambut panggilan Allah. Segeralah, si Suami membacakan kalimat Laa Ilaaha Ilallah, secara berulang-ulang. Dan juga dibacakan beberapa ayat Al-Qur'an. Di luar semakin hening, semua mata tertuju pada tubuh yang terbaring dibalik jendela kaca yang sengaja dibuka oleh suster. Semua pembesuk turut berdo'a menghantar kepergian ummi ke tempat yang jauh untuk tidak kembali. Akhirnya, menjelang waktu ada di angka 02.30, Ummi yang telah lama terbaring itu pergi menjumpai Rabbnya.
Kami tidak melihat dia bergerak kesakitan, tidak ada obat lagi dan tidak ada beban lagi. Pergilah menyambut panggilan Ilahi Rabbi. begitu gumamku lirih.
Selamat menikmati dekapan kasih sayang Rabbmu. "Ya ayyatuha nafsul muthmainnah irji'ii ila rabbiki raadhiyatan mardhiyah fadkhulii fii ibadii wadkhuli jannati". Ya Allah, panggillah Ummi yang terbaring ini dengan panggilan kasih sayangMu. Sungguh ya Allah, begitu mulia hidupnya, ia terus bergerak memenuhi dunianya dengan dakwahMu, Sungguh ia terus bekerja demi kebaikan ummatMu. Selamat jalan ummi, do'a kami semua menyertaimu, jangan bersedih. kami akan melanjutkan dakwahmu, kami-kami ini yang akan menggantikan posisimu, kami-kami ini akan mewarisi kepribadianmu, pribadi yang mulia dalam naungan dakwah.
Terima kasih kepada seluruh ummat yang turut membantu meringankan bebannya. Sungguh, amal saudara semua semua tidak akan tergantikan, semoga Allah membantu saudara-saudara dengan caraNya yang lebih bijaksana.  (Novel ini aku buat untuk BIBIK TIk tercinta )

Jasa Ibu Tak Terhingga


Jasa Ibu Tak Terhingga
M. Zamroni

Dinia Ningsih, bukan siapa-siapa. Tapi ia menjadi seseorang yang akan disebut namanya di Surga kelak oleh Roni, anak tercintanya. Dan ia akan menjadi satu-satunya yang direkomendasikan Roni, seandainya Allah memperkenankannya menyebut satu nama yang akan diajaknya tinggal di Surga, meski Dinia Ningsih sendiri nampaknya takkan membutuhkan bantuan anaknya, karena boleh jadi kunci surga kini telah digenggamnya.
Bagaimana tidak, selama dua hari Dinia Ningsih menggendong anaknya yang berusia belasan tahun mengelilingi Kota Mataram Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk mencari bantuan, sumbangan dan belas kasihan dari warga kota, mengumpulkan keping kebaikan dan mengais kedermawanan orang-orang yang dijumpainya, sekadar mendapatkan sejumlah uang untuk biaya operasi anaknya yang menderita cacat fisik dan psikis sejak lahir.
Tubuh Roni, anak tercintanya yang seberat lebih dari 35 kg tak membuat lelah kaki Dinia Ningsih, juga tak menghentikan langkahnya untuk terus menyusuri kota. Tangannya terlihat gemetar setiap menerima sumbangan dari orang-orang yang ditemuinya di jalan, sambil sesekali membetulkan posisi gendongan anaknya. Sementara Roni yang cacat, takkan pernah mengerti kenapa ibunya membawanya pergi berjalan kaki menempuh ribuan kilometer, menantang sengatan terik matahari, sekaligus ratusan kali menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang kering sekering air matanya yang tak lagi sanggup menetes.
Ribuan kilo sudah disusuri, jutaan orang sudah dijumpai, tak terbilang kalimat pinta yang terucap seraya menahan malu. Sungguh, sebuah perjuangan yang takkan pernah bisa dilakukan oleh siapa pun di muka bumi ini kecuali seorang makhluk Tuhan bernama; Ibu. Ia tak sekadar menampuk beban seberat 35 kg, tak henti mengukur jalan sepanjang kota hingga batas tak bertepi, tetapi ia juga harus menyingkirkan rasa malunya dicap sebagai peminta-minta, sebuah predikat yang takkan pernah mau disandang siapapun. Tetapi semua dilakukannya demi cintanya kepada si buah hati, untuk melihat kesembuhan anak tercinta, tak peduli seberapa besar yang didapat.
Tidak, ia tak pernah berharap apa pun jika kelak anaknya sembuh. Ia tak pernah meminta anaknya membayar setiap tetes peluhnya yang berjatuhan di setiap jengkal tanah dan aspal yang dilaluinya, semua letih yang menderanya sepanjang jalan menyusuri kota. Ibu takkan memaksa anaknya mengobati luka di kakinya, tak mungkin juga si anak mengganti dengan seberapa pun uang yang ditawarkan untuk setiap hembusan nafasnya yang tak henti tersengal.
Dinia Ningsih, adalah contoh ibu yang boleh jadi semua malaikat di langit akan mengagungkan namanya, yang menjadi alasan tak terbantahkan ketika Rasulullah menyebut "ibu" sebagai orang yang menjadi urutan pertama hingga ketiga untuk dilayani, dihormati, dan tempat berbakti setiap anak. Dinia Ningsih, barangkali telah menggenggam satu kunci surga lantaran cinta dan pengorbanannya demi Roni, anak tercintanya. Bahkan mungkin senyum Allah dan para penghuni langit senantiasa mengiringi setiap hasta yang mampu dicapai ibu yang mengagumkan itu.
Sungguh, cintanya takkan pernah terbalas oleh siapapun, dengan apapun, dan kapanpun. Siapakah yang lebih memiliki cinta semacam itu selain ibu? Wallaahu 'a'lam

Kisah Cinta Di Masjid


Kisah Cinta Di Masjid
M. Zamroni

Usai shalat maghrib itu, Seorang gadis kecil berjilbab putih, dengan baju serasi yang juga berwarna indah. Mengendap-ngendap, menyusup melewati batas shalat laki-laki dan wanita. Mata bolanya lucu mengganggu syaraf geli di hatiku. Do’apun segera kuakhirkan, melihat apa yang si lucu ini rencanakan.
Kepalanya bergerak lucu, mencari-cari sesuatu di luasnya ruang masjid. Mimik wajahnya menjadi semakin cerah, ketika sesuatu itu ternyata ditemukannya di salah satu sudut masjid. Langkahnya diayun pelan-pelan, menambah lucu wajahnya. Mengendap-ngendap, jilbabnya juga berayun dengan ritme jenaka. Senyumku semakin mengembang, bertanya-tanya. Sedetik, dua detik, tiga detik “Papaaaaah”. Gadis kecil itu melompat memeluk sosok laki-laki yang sedang tidur-tiduran di lantai masjid. Sang ayah sejenak kaget, Tapi lalu menyambut hangat tubuh mungil itu dalam pelukannya. Dan tawa keduanya pun membelah keheningan petang itu. Dalam hangat kasih sayang di akhir Ramadhan. Ahh, Robb, aku iri ....

Minggu, 27 November 2011

قصة الحزينة فى نهاية العام

قصة الحزينة فى نهاية العام

 Kisah Sedih Di Penghujung Tahun
Oleh: M. Zamroni

Sungguh….. bukanlah akhir yg mudah untuk dilalui. Setiap orang pasti pernah dan akan merasakan kehilangan ataupun ditinggalkan oleh orang tersayang. Entah dengan cara apapun itu, pasti rasanya akan sangat menyakitkan!! Membuat galau dan luka yg mendalam di hati. Bicara tentang cinta, emang gak pernah ada habisnya. Cinta.. Sungguh sulit untuk dimengerti. Penuh dg canda, tawa, marah, tangis & juga air mata. Cinta itu membahagiakan, tp ada kalanya cinta itu menyakitkan. Terutama bila kita harus kehilangannya. Mungkin… saat kita putus cinta, kita akan menangis meraung2 (seperti srigala, ha ha ha), mengurung diri selama beberapa waktu & tenggelam dalam kesedihan sambil mengutuk orang yang telah mematahkan hati kita. Tapi, setelah itu semua berlalu.. setelah kita merasa siap untuk memulai hari, kita bisa tersenyum lagi, dan bahkan mungkin saja kita bisa kembali menyapa orang itu tanpa rasa kebencian. Akan tetapi…. Bagaimana bila kita harus kehilangan seseorang, cinta..untuk selamanya, tanpa kita bisa berjumpa lagi dengannya??! Bila kita tak bisa ada bersamanya didetik2 terakhir dalam hidupnya… Terlebih lagi bila kita bahkan tak tahu bahwa orang yang kita cintai itu selama ini menutupi penyakitnya itu, dan baru mengetahuinya setelah ia tiada. “Sungguh, menyayat hati…!!” Itu lah yang sedang dialami oleh salah seorang sahabatku. Bukan hanya sekali, tapi ini sudah ketiga kalinya dalam hidupnya.
Untuk pertama kalinya ia mengalami hal ini, ia masih bisa bersabar. Meskipun itu sangat berat, tapi ia mencoba tuk bertahan. Kedua kalinya.. ia mulai bertanya, “Tuhan, mengapa ini semua terjadi padaku? Harus kah ini ku alami lagi?!”. Tapi dengan ketabahan dan dukungan dari lingkungan sekitarnya, ia pun akhirnya kembali bangkit. Meskipun dalam hati kecilnya terbesit ketakutan akan kehilangan cinta dengan cara yang sama lagi, namun ia tetap bertahan. Kembali mencoba tuk memulai hidup baru. Akan tetapi…. kini, untuk ketiga kalinya. Ia kembali harus dihadapkan pada situasi yang sama!! Ia bahkan tak sanggup tuk berkata-kata lagi. Habis sudah rasanya, lenyap tak bersisa raganya. Pikirannya pun mulai melayang tak tentu ada di mana. Ia sedih, marah, dan kecewa. “Mengapa ini harus terjadi lagi?! Apakah salahku, hingga Tuhan menghukumku sedemikian rupa. Tak cukup kah 2 kejadian sebelumya!!”, kata-kata itu pun keluar dari mulutnya. Hancur.. itu pasti. Ia merasa tak sanggup tuk bangkit lagi. Ia pun takut tuk menjalin hubungan lagi, termasuk dengan diriku..sahabatnya yang telah ia kenal sekian tahun! Ia bahkan berkata, “Apa sebaiknya kita menjaga jarak, karena aku nggak mau kehilangan satu orang yang kusayangi lagi!!”. Ya, Tuhan…. Detik itu juga aku merasa kecewa atas kata-katanya. Namun seketika itu pula aku tersadar… betapa besar rasa sayang yang ia miliki untukku. Bersyukur aku telah mengenal dan memilikinya sebagai seorang sahabat. Kini, tugasku adalah untuk menenangkan hatinya, membuatnya bangkit dari keterpurukan. meskipun mungkin tak banyak yang dapat kulakukan, tapi aku akan berusaha untuk selalu ada disampingnya. Sahabat… Di mana pun kau berada, ingatlah…aku kan selalu ada untukmu. Kapanpun itu juga! dan, (mungkin terdengar klise).. tapi percayalah, Allah tak kan mungkin memberikan cobaan melebihi kemampuan umatnya..

Rabu, 05 Oktober 2011

Macam-Macam Talak


MACAM-MACAM TALAK
Oleh: M. Zamroni


A.      Talak Sunni dan Talak Bid’i
Talak dipandang dari aspek sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan syara’ terbagi pada dua bagian; a. Talak sunni dan b. Talak bid’i. Ulama’ fikih beraneka ragam dalam menstandari batasan-batasan talak sunni dan bid’i.
Kalangan Hanafiyah membagi talak kedalam tiga bagian, yaitu: a. Talak ahsan b. Talak hasan dan c. Talak bid’i.
Talak ahsan adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dengan talak satu, pada masa suci dan tidak disetubuhi pada waktu sucinya serta ia membiarkan (tidak mentalak lagi) pada istrinya sampai iddahnya berakhir dengan tiga kali haid. Talak hasan adalah talak yang dilakukan suami pada istrinya dengan talak tiga, dalam waktu tiga kali suci dan disetiap masa suci dilakukan talak satu. Sedangkan Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dengan talak tiga, atau talak dua dengan memakai satu kalimat, atau ia mentalak tiga dalam satu masa suci.
Sedangkan kalangan Malikiyah dalam mengkatagorikan talak sunni atau bid’i dengan memberi syarat-syarat tertentu. Ada empat syarat talak dapat dikategorikan talak sunni:
1.      Perempuan pada waktu ditalak suci dari haid dan nifas,
2.      Suami tidak menjima’nya pada waktu,
3.      Suami mentalak satu,
4.      Suami tidak mentalak istrinya yang kedua kali sampai masa ‘iddahnya berakhir.
Dan menurut mereka, talak bid’i adalah talak yang tidak memenuhi satu syarat atau seluruhnya. Misalnya : seorang suami mentalak istrinya lebih dari satu, atau ia mentalak istrinya pada masa haid atau nifas, atau pada masa suci tetapi dicampurinya dalam masa suci itu. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa suami yang mentalak bid’i pada isrinya ia dipaksa untuk rujuk kembai sampai masa iddah yang terakhir. Namun jika ia tidak mau untuk merujuknya, Hakim boleh mengancam untuk menahannya, dan manakala ia tetap enggan untuk merujuknya ia boleh dipukul, dan bila ia tetap bersikeras dalam keengganannya, seorang Hakim berhak memaksa untuk merujuknya.
Sementara kalangan Syafi’iyah membagi talak pada tiga bagian dengan istilah yang sedikit berbeda dengan kalangan Hanafiyah. Tiga bagian itu adalah : a. Talak sunni, b. Talak bid’i, dan c. Talak bukan sunni dan bukan bid’i (talak qhairu bid’I wa la- sunni).
Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan pada istri dengan talak satu pada masa suci dan tidak dicampuri pada masa sucinya serta tidak dicampuri pula pada masa haid sebelumya, dan bila suami ingin mentalak istrinya dengan talak tiga ia menjatuhkan talak satu disetiap masa suci.
Berkenaan dengan talak bid’i terbagi menjadi dua macam:
1.    Talak yang dijatuhkan pada masa haid yang dicampuri pada masa haidnya, sebab syara’ memerintahkan untuk mentalak istri pada masa suci, dan juga membuat mudharat pad istri dengan lamanya menjalani masa iddah.
2.    Talak yang dijatuhkan pada istri dalam masa suci tetapi telah dicampuri pada masa suci itu.
Macam talak yang terakhir, yaitu talak qhiru bid’i wa la-sunni hanya terjadi bagi istri yang masih kacil, perempuan monopause, istri yang berkhulu’, istri yang hamil dan kehamilannya dipastikan hasil hubungan dengan suaminya, dan istri yang belum pernah didukhul.
Sementara kalangan Hanabilah memberi pengertian talak sunni adalah talak yang suami menjatuhkan talak satu pada istrinya yang tidak disetubuhi pada masa sucinya itu kemudian ia tidak mentalaknya lagi sampai masa ‘iddahnya berakhir. Sedangkan talak  bid’i adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dalam masa haid atau nifas, atau masa suci tetapi ia telah mendukhulnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam -fikih Indonesia- lebih cendrung mengikuti pendapat mayoritas Ulama’ selain Hanafiyah, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 121 dan 122.
Pasal 121:Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122: Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
B.  Talak Raj’i dan Talak Ba’in
Talak ditilik dari boleh dan tidak bolehnya rujuk terbagi pada dua macam : Talak raj’i, dan Talak ba’in.
Talak raj’i adalah talak yang boleh bagi suami untuk merujuk pada istrinya dengan tanpa perlu akad baru selama masa ‘iddah, meskipun istri tidak mau untuk dirujuk. Talak raj’i ini terjadi dalam talak satu dan dua tetapi setelah masa ‘iddah istri sudah habis, suami tidak dapat merujuk kembali melainkan dengan akad baru.
Talak ba’in ada dua macam:
1.      Ba’in shughraa (ba’in kecil)
2.      Ba’in kubraa (ba’in besar)
Talak ba’in shughraa adalah talak yang suami tidak dapat untuk rujuk kembali pada mantan istrinya, melainkan dengan akad dan mahar baru. Talak ba’in shughraa terjadi bagi istri yang belum didukhul, istri yang berkhuluk dengan menyerahkan ‘iwad (ganti rugi), talak yang dijatuhkan oleh Hakim, dan talak sebab ila’.
Talak ba’in kubraa adalah talak yang suami tidak boleh untuk merujuk kembali kepada istri kecuali bila istri telah kawin lagi dengan orang lain dan telah dicampurinya, kemudian ia ditalak dan telah berakhir ‘iddahnya dari suami yang kedua. Talak macam ini terjadi dalam talak tiga.
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan pengertian talak raj’i dan talak ba’in dalam pasal 118,  119 ayat (1) dan (2).
Pasal 118   : Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.
Pasal 119  : (1) Talak ba’in suqhra adalah talak yang tidak boleh rujuk tapi bileh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
(2)   Talak ba’in suqhraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah:
a.     Talak yang terjadi qabla al-dukhul;
b.    Talak dengan tebusan atau khulu’;
c.     Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 120 : Talak ba’in kubra talak yang terjadi untuk ketiga kalinya talak jenis tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian tejadi ba’da al-dukhul dan habis masa ‘iddahnya.
C.      Hukum talak sunni, talak bid’i dan talak yang tidak disifati dengan talak sunni dan bid’i.
1.    Talak sunni hukumnya boleh dan dapat berlaku, talak seperti ini yang sesuai dengan tuntutan syara’. Bentuk talak seperti menjatuhkan talak satu atau talak tiga, akan tetapi disunnahkan menjatuhkantalak satu dan dua, supaya dapat rujuk kembali pada mantan istrinya bilamana dikemudian hari merasa menyesal atas keputusannya. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat at-Talaq ayat  :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
“Wahai orang-orang yang beriman bila kalian mentalak perempuan-perempuan maka talaklah pada ‘iddah mereka” maksud ayat ini adalak talaklah istrimu pada masa disyari’atkan ‘iddah, yaitu masa suci sebab masa haid tidak terhitung masa ‘iddah.
2.    Talak bidd’i hukumnya haram tetapi talak tetap berlaku sebab talak seperti ini menyimpang dari tuntutan syara’, dimana syara’ memerintahkan untuk mentalak istri-istri pada masa suci. Apabila suami mencerai istri pada masa haid disunnahkan untuk merujuk kembali kemudian setelah istrinya masuk masa suci ia mentalak kembali bila berkehendak untuk mentalaknya. Talak bidd’i hukumnya haram karena memudharatkan pada istri, sebab ia akan menjalani masa ‘iddah dengan waktu yang lama karena masa haid tidak terhitung masa ‘iddah. Sedangkan diharamkan mentalak istri pada masa suci yang  disetubuhi pada masa sucinya, karena dimungkinkan istri hamil dari benih yang ditanamnya sehingga dikemudian hari  suami akan menyesal bila si istri benar-benar hamil dari darah dagingnya.
3.    Talak yang tidak bersifat dengan sunni dan bidd’i hukumnya boleh dan talak berlangsung, dan tidak ada hukum haram dalam bentuk ini sebab talak dalam kondisi seperti ini tidak akan berdampak dharar pada istri. Seperti: istri yang masih kecil dan perempuan menopause, sebab mereka beriddah dengan hitungan bulan (al-asyhur), perempuan hamil, atau istri yang menuntut khuluk, karena istri yang berkhuluk dengan tebusan sejumlah harta pada suaminya adalah bukti bahwa ia sangat butuh untuk dipisah, dan ia rela menanggung ‘iddah yang lama.
D.  Hukum Talak Raj’i
Para Ulama’ sepakat bahwa talak raj’i menyebabkan beberapa akibat-akibat hukumnya:
1.      Hitungan talak berkurang, seorang suami yang telah mentalak raj’i istri maka hak talaknya tersissa dua.
2.      Ikatan suami istri menjadi terputus sebab habisnya masa ‘iddah, ketika seorang suami mentalak raj’i dan masa iddah berakhir sebelum dirujuk kembali, maka  istri menjadi ba’in (terpisah) dengannya.
3.      Selama masa ‘iddah dapat rujuk kembali, hal itu dapat dilakukan dengan perkataan atau perbuatan.
4.      Perempuan yang ditalak raj’i masih memiliki ikatan zaujiah dengan mantan suami, oleh karena itu suami masih berhak untuk menceraikannya, mendhihar, mengila’, dan tetapnya hak saling mewarisi.
5.      Haramnya beristimta’, golongan Syafi’iyah dan Malikkiyah berpendapat istimta’ (bersenang-senang)haram bagi suami yang mentalak raj’i, baik dengan mewati’ atau lainnya karena perempuan yang ditalak raj’i sama statusnya dengan ba’in. Sementara golongan Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat istimta’ itu tidak diharamkan lantaran talak raj’i, sebab menurut mereka talak raj’i tidak menghilangkan kepemilikan (al-milku) dan kehalalan (al-hillu)selama masa ‘iddah.
E.  Hukum Talak Ba’in
1. Talak ba’in suqhro.
ü Kepemilikan (al-milku) menjadi hilang tetapi kehalalan (al-hillu) tetapa ada, seorang suami yang telah mentalak istrinya diharamkan beristimta’ dengannya, dan tidak memiliki hak rujuk kembali tetapi mantan istri tetap halal baginya dengan akad baru.
ü Hitungan talak berkurang, seperti halnya dalam talak raj’i.
ü Hak saling mewarisi antara suami istri menjadi tercegah. Bila diantara kedua ada yang mati maka tidak ada hak waris bagi yang hidup sebab talak ba’in menghilangkan ikatan suami istri, kecuali talak yang dilakukan suami pada saat sakit yang mendekati kematian dan ada indikasi bahwa ia mentalak istrinya dengan tujuan si istri tercegah untuk menerima hak waris. Inilah yang dinamakan talak firar. Menurut Jumhur selain Syafi’iyah talak seperti ini tidak menghilangkan hak waris bila si suami wafat dalam masa ‘iddah, sedangkan menurut Malikiyah sekalipun wafatnya di luar ‘iddah si istri tetap memiliki hak waris.
2. Talak ba’in kubro
ü Hilangnya kepemilikan dan kehalalan. Maksudnya, suami haram bersenang-senang dengan istrinya yang ditalak ba’in dan haram pula untuk rujuk kembali.
ü Hak saling waris-mewarisi menjadi terhalang, kecuali talak yang dilakukan untuk menghalangi istri mendapatkan hak waris. Yang dikenal dengan talak firar.
ü Perempuann yang ditalak ba’in kubro diharamkan bagi mantan suaminya untuk rujuk kembali melainkan ia menikah lagi dengan laki-laki lain dan telah benar-benar disetubuhi. Barulah setelah ia dicerai oleh suami yang kedua menjadi halal bagi suami yang pertama.  
F.   Talak Tanjiz, Talak Ta’liq dan Talak Idhafah
 Ditilik dari sudut dikaitkannya talak pada suatu syarat atau dikaitkannya dengan waktu yang akan datang atau sama sekali tidak digantungkan pada suatu apapun, talak terbagi pada tiga macam:
1.    Talak Tanjiz.
2.    Talak Ta’liq.
3.    Talak Idhafah.
Talak tanjiz atau Talak muajjal adalah talak yang tidak dikaitkan pada suatu syarat dan tidak dikaitkan pula dengan waktu yang akan datang, tetapi dimaksudkan berlaku seketika pada saat diucapkan oleh orang yang menjatuhkan talaknya. Seperti suami mengatakan pada istrinya: “engkau tertalak”. Talak seperti ini berlaku seketika ucapan tersebut keluar dari orang yang mengatakannya,sementara suami memenuhi syarat-syarat rukun talak begitu pula istri menjadi objek talak.
Talak idhafah adalah talak yang disandarkan pada waktu yang akan datang. Seperti: suami mengatakan pada istrinya: Besok Engkau tertalak, Engkau tertalak diawal februari,  Engkau tertalak di awal tahun 2007, Umpamanya. Talak seperti ini terjadi ketika ketika awal bagian dari bagian-bagian waktu yang disandarkan itu terwujud. Misalnya suami mengatakan pada istrinya: Besok Kamu tertalak, talak seperti ini akan terjadi dengan terwujudnya awal bagian dari waktu yang disandarkan. Yaitu ketika terbit fajar. Dan contoh lain, Kamu tertalak di awal bulan Ramadhan, talak yang diucapkan suami terjadi ketika awal bagian dari malam pertama bulan Ramadhan terwujud, yaitu ketika terbenam matahari di akhir bulan Sya’ban.
 Talak ta’liq adalah talak talak yang dikaitkan dengan suatu perkara di waktu yang akan datang dengan menggunakan adat syarat. Seperti suami mengatakan pada istrinya: “jika Engkau pergi ke rumahmu maka Engkau tertalak, jika Engkau keluar rumah tanpa izinku maka Engkau tertalak, jika Engkau berbicara dengan si Anu maka Engkau tertalak”.
 Macam-macam ta’liq ada dua macam:
ü Ta’liq yang dimaksudkan untuk sumpah, dengan maksud untuk mengajurkan melakukan sesuatu atau meninggalkannya atau untuk menguatkan kalam khabar . Ta’liq seperti ini disebut ta’liq qosami (ta’liq dengan sumpah). Seperti perkataan suami pada istrinya: jika Aku keluar rumah maka Kamu tertalak, dengan maksud ia melarang istrinya keluar pada saat ia keluar.
ü Ta’liq yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak bila syarat telah terpenuhi, ta’liq seperti ini disebut ta’liq syarti, seperti suami berkata pada istrinya: jika Engkau pergi maka Engkau tertalak, jika Engkau melahirkan anak perempuan maka Engkau tertalak dan lain-lain.
Menurut jumhur Ulama’ kedua ta’liq ini berlaku, setelah syarat yang dikaitkan itu benar-benar nyata. Sedangkan menurut Syiah Imamiyah dan Dhahiriyah bentuk ta’liq seperti ini tidak berlaku.
Adapun jumhur Ulama’ berdalil dengan kemutlakan ayat talak, dimana dalam ayat tersebut tidak diqoyyidi dengan qoyyit apapun, hal ini mengindikasikan bahwa talak munajjiz dan talak mu’alaq hukumnya sama. Dalam kaidah ushul dijelaskan.
المطلق يجري علي إطلاقه ما لم يكن دليل علي تقييده نصا او دلالة
“Lafad mutlak diamalkan atas kemutlakannya selagi tidak ada dalil yang mengqoyyidi baik nash atau dhalalah”
Dan hadist Nabi:
َقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ .
“Orang-orang muslim bergantung pada syarat-syarat mereka”
Hadist Bukhari dari Ibnu Umar
ُوَقَالَ نَافِعٌ طَلَّقَ رَجُلٌ امْرَأَتَهُ الْبَتَّةَ إِنْ خَرَجَتْ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ إِنْ خَرَجَتْ فَقَدْ بُتَّتْ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ تَخْرُجْفَلَيْس َ بِشَيْءٍ
“Seorang laki-laki mentalak istrinya al-battah (sama sekali) jika ia keluar” kemudian Ibnu Umar berkata:  jika ia benar-benar keluar maka ia menjadi ba’in (berpisah) dengannya, dan jika ia tidak keluar maka tidak ada hukum apapun”.
 Sedangkan dalam pandangan Syiah Imamiyah dan Dhahiriah, ta’liq talak adalah sumpah, sedang sumpah tidak boleh dengan selain asma Allah, berdasarkan hadist Nabi yang diriwayatkan Ibnu Umar “ barang siapa besumpah, maka hendaklah bersumpah dengan asma Allah”.  Lebih lanjut mereka menguatkan argumennya bahwa talak dapat sah bila sesuai dengan syara’ begitu pula sumpah dapat terjadi bila sejalan dengan syara’, sedangkan sumpah talak bukanlah sumpah yang sejalan dengan syara’. Allah berfirman dalam surah at- Talaq ayat 1 : “ Barang siapa melampaui batasan-batasan Allah ia telah mendholimi diri sendiri
Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qoyyim mentafshilnya, merinci ketentuan ketentuan hukum. keduanya berpendapat talak ta’liq yang mengandung arti sumpah dan sekalipun sesuatu yang dita’liq (syarat yang dikaitkan ) benar-benar tewujud, talaknya dipandang tidak berlaku, sedang orang yang mengucapkannya wajib membayar kaffarat sumpah, jika yang dijanjikannya nyata terjadi. Kaffarat sumpahnya yaitu memberi makan sepuluh orang miskin, atau membeli pakaian pada mereka, dan jika tidak dapat maka ia wajib puasa tiga hari.
Mengenai talak syarat,-menurut mereka- talak bersyarat dianggap sah, apabila yang dijadikan persyaratan terpenuhi. Ada beberapa dalil yang diangkat oleh mereka dalam menguatkan pendapatnya:
Pertama.bila tujuan talak ta’liq adalah untuk menganjurkan melakukan sesuatu atau meninggalkannya atau untuk menguatkan kalam khabar, berarti talak ta’liq hukumnya sama dengan sumpah.
Kedua,  hadist Bukhari dari Ibnu Abbas.
الطلاق عن عطر و العتق: ماابتغي وجه الله
Talak dilakukan karena butuh dan kemerdekaan; sesuatu yang dilakukan untuk mendapat ridha Allah”