Jumat, 28 Januari 2011

مسائل الفقه

HUKUM HIJAB DAN MEMANDANG
Oleh: M. Zamroni

1.      Hukum Melihat Perempuan Ajnabiyat
Syari'at Islam mengharamkan memandang perempuan ajnabiyat. Oleh sebab itu, bagi seorang laki-laki tidak halal memandang perempuan yang bukan istrinya atau mahramnya. Adapun pandangan secara tiba-tiba, itu tidak mengakibatkan pada dosa atau sanksi. Karena hal yang demikian diluar kehendak manusia. Sementara Allah tidak membebankan kita dengan hal-hal yang tidak kita mampui. Oleh sebab itu, Allah tidak memerintahkan kita agar mengikat pandangan kita ketika berjalan.
Terkait dengan pandangan secara tiba-tiba atau pandangan yang tidak disengaja, Rasulullah bersabda kepada Ali: "Wahai Ali, jangan kau menyusuli pandangan pertama, karena hanya pandangan pertama yang positif bagimu, sedangkan pandangan kedua itu negatif bagimu". Dari Jabir bin Abdillah al-Jibilly, dia berkata: "Akau bertanya kepada Rasulullah tentang pandangan yang tiba-tiba, lalu Rasulullah meyuruhku agar memalingkan mataku".
Memang, pandangan secara tiba-tiba hanya terjadi pada pandangan pertama. Namun, jika pandangan pertama itu terjadi proses rasa (nikmat) sehingga tertarik untuk mengulangi pandangan kedua, maka hukumnya haram. Karena hal yang demikian dapat mengundang fitnah dan menjadi jalan untuk melakukan hal-hal yang negatif. Berkaitan dengan kasus tersebut Rasulullah mengibaratkan dengan zina mata. Sebagaimana hadits Bukhari dan Muslim yang menyatakan “Telah ditetapkan bagi anak Adam beberapa hal terkait dengan zina yang pasti terjadi, yaitu: zina mata yang memandang, zina lisan yang berbicara, zina telinga yang mendengar, zina kedua tangan yang meraba, zina kedua kaki yang berjalan, jiwa yang berhasrat dan bersyahwat, dan farji bergantung kepada semua itu”

2.      Batasan Aurat Laki-Laki Dan Perempuan
Dari ungkapan ويجفظوا فروجهم ditetapkan bahwa menutup aurat hukumnya wajib. Sebagaimana telah dijelaskan oleh para fuqaha’, mereka sepakat akan keharaman membuka aurat, namun mereka berbeda pendapat dalam batas-batasan aurat. Dalam hal ini ada empat poin yang menjadi catatan:
a.       Aurat laki-laki ketika menjadi obyek bagi laki-laki
Auarat laki-laki ketika menjadi obyek bagi laki-laki adalah anggota yang berada diantara pusar dan lutut. Oleh sebab itu, tidak halal bagi laki-laki melihat aurat laki-laki, yaitu anggota yang berada diantara pusar dan lutut, karena itu bagian aurat. Melihat selain anggota itu hukumnya halal. Rasulullah bersabda “seorang laki-laki tidak boleh melihat auratnya laki-laki. Begitu juga perempuan tidak boleh melihat auratnya perempuan”
Jumhur fuqaha’ sepakat bahwa auarat laki-laki adalah anggota tubuh yang berada diantara pusar dan lutut, sebagaimana tertera dalam hadits-hadits Nabi. Seperti hadits yang diriwayatkan dari جرهد الاسلامي, dia berkata: Rasulullah duduk bersama kami dan pahaku terbuka. Lalu Rasulullah bersabda: Apakah engkau tidak tahu bahwa paha itu aurat?
b.      Aurat perempuan ketika menjadi obyek bagi perempuan
Aurat perempuan ketika menjadi obyek bagi perempuan sama halnya dengan aurat laki-laki ketika menjadi obyek bagi laki-laki, yaitu anggota yang berada diantara pusar dan lutut. Selain anggota tertentu itu, perempuan boleh memandangnya, kecuali perempuan dzimmi atau kafir. Bagi perempuan dzimmi dan kafir memiliki hukum tersendiri yang akan dijelaskan pada pembahasan lain.
c.       Aurat laki-laki ketika menjadi obyek bagi peremuan
Dalam poin ini hukumnya ditafshil. Pertama, jika laki-laki itu berstatus mahram, seperti ayah, saudara, paman dari ayah atau paman dari ibu, maka auratnya adalah anggota badan yang berada diantara pusar dan lutut. Kedua, jika laki-laki itu tidak berstatus apa-apa, maka menurut pendapat yang lebih shahih auratnya adalah anggota badan yang berada diantara pusar dan lutut. Sementara menurut pendapat yang lain adalah semua anggota badan. Dari itu, menurut pendapat yang kedua ini, seorang perempuan tidak boleh melihat kepada laki-laki, sebagaimana laki-laki tidak boleh melihat kepada perempuan. Ketiga, jika laki-laki itu berstatus suami, maka anggota badan laki-laki bukan aurat scara mutlak, karena firman Allah yang berbunyi:
إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

d.      Aurat perempuan ketika menjadi obyek bagi laki-laki
 Adapun aurat peremuan ketika menjadi obyek bagi laki-laki adalah seluruh anggota badannya. Pernyataan ini menurut pendapat yang shahih, yaitu Madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah. Imam Ahmad menegaskan, semua anggota badan perempuan adalah aurat hingga (termasuk juga) kukunya.
Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa semua anggota badan perempuan adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
Dalil-dalil Malikiyah dan Ahnaf
Malikiyah dan Ahnaf berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah aurat dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1)            Allah berfirman
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Ayat di atas mengecualikan sesuatu yang tampak, yaitu sesuatu yang menjadi kebutuhan untuk dibuka dan ditampakkan. Sesuatu itu adalah wajah dan kedua telapak tangan. Hal ini dikutip dari pendapat sebagian shahabat dan tabi’in, seperti Sa’id bin Jabir berkata, bahwa yang dimaksud dengan إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا adalah wajah dan kedua telapak tangan. Begitu juga, Atha’ berpendapat yang sama.
2)      Hadits A’isyah: sesungguhnya Asma’ bin Abi Bakr menemui Rasulullah. Sementara Asma’ mengenakan pakaian lengan pendek . Lalu Rasulullah menyinggung akan pakaian itu, Rasulullah bersbda: “wahai Asma’, sesungguhnya perempuan yang sudah mencapai pada masa haid, tidak pantas perempuan dilihat kecuali ini dan ini”. Rasulullah menunjukkan wajahnya dan kedua tangannya.
3)      Termasuk juga menjadi petunjuk bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat, adalah perempuan membuka wajah dan kedua telapak tangannya dalam shalat. Begitu juga ketika ihram. Jika memang wajah dan kedua telapak tangan termasuk aurat, lalu kenapa dibolehkan dibuka ketika shalat dan ihram. Padahal menutup auarat merupakan kewajiban, otomatis jika kedua anggota tersebut dibuka ketika shalat, maka shalatnya tidak sah.
Dalil-dalil Syafi’iyah dan Hanabilah
Dalil Syafi’iyah dan Hanabilah tentang pendanpatnya bahwa wajah dan kedua telapak tangan termasuk aurat adalah sebagai berikut:
1)      Allah berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
Ayat di atas menunjukkan keharaman menampak perhiasan. Perhiasan ada dua bagian: orisinil dan inovatif. Wajah termasuk perhiasan orisinil. Karena wajah merupakan keindahan yang asli dan sumber fitnah. Sedangkan perhiasan yang inovatif adalah perhiasan yang diupayakan oleh perempuan untuk mendapatkan wujud yang tampak indah di mata (bukan di hati), semisal pakaian mode dan berbagai macam asesoris kecantikan, seperti selak, gincu, pelembab wajah dan sejenisnya. Perempuan melakukan semua itu tidak ada tujuan lain kecuali memamerkan kepada semua orang serta mengharapkan apresiasi dari kaum laki-laki. Dan, memang seperti itu kenyataannya, lebih-lebih di era modern ini. Padahal perbuatan seperti itu dapat mengundang syahwat birahi serta menjadi sumber fitnah. Oleh sebab itu, ayat di atas mencegah perempuan untuk menampakkan perhiasannya secara mutlak, serta mengharamkan membuka sesuatu dari anggota badannya di hadapan kaum laiki-laki.
Berkenaan dengan ayat إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا, Syafi’iyah dan Hanabilah mentakwil, bahwa yang maksud dengan ayat مَا ظَهَرَ  adalah sesuatu yang tampak yang tidak disengaja, seperti angin nakal yang menyingkapnya sehingga tampaklah lutut, leher atau bagian anggota tubuh lainnya.
2)      Beberapa hadits shahih:
a)      Hadits Jarir bin Abdillah: Aku bertanya kepada Rasulullah tentang pandangan yang secara tiba-tiba, Rasulullah bersabda “palingkanlah pandanganmu”
b)      Hadits Ali: “Wahai Ali, jangan kau menyusuli pandangan pertama, karena hanya pandangan pertama yang positif bagimu, sedangan pandangan kedua itu negatif bagimu”.
c)      Hadits Khats'amiyah: diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, pada waktu haji wada' datanglah seorang perempuan dari kaum Khats'am kepada Rasulullah untuk meminta fatwa. Ketika itu Rasulullah bersama seorang laki-laki yang tampan, Fadhl namanya. Entah disengaja atau tidak, Fadhl memandang perempuan itu. Begitu juga perempuan itu membalas pandangan si Fadhl. Lalu terjadilah satu titik pandangan yang sama. Kemudian –karena Rasulullah mengetahui kejadian itu- Rasulullah langsung memalingkan wajah Fadhl ke arah lain…….
Teks-teks hadits di atas menunjukkan keharaman memandang perempuan ajnabiyat. Maka tidak diragukan bahwa wajah termasuk anggota badan yang tidak boleh dipandang karena itu aurat.
Selain itu, Syafi'iyah dan Hanabilah berdalil dengan ayat:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ
Artinya: Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. (QS. Al-Ahzab: 53)
Ayat di atas –secara sharih- meniadakan kebolehan memandang. Walaupun ayat tersebut turun karena terkait dengan istri-istri Rasulullah, namun hukumnya dapat mencakup kepada selain istri Rasulullah dengan metode qiyas. Illatnya adalah semua anggota tubuh perempuan itu aurat.

3)      Logika.
Memandang perempuan hukumnya tidak boleh, karena kahwatir terjadi fitnah. Fitnah memandang wajah seorang perempuan tentu sangat besar dari pada fitnah memandang mata kaki, rambut dan lutut.
Jika keharaman memandang rambut dan lutut disepakati hukumnya haram, justru keharaman memandang wajah min babi al-aula, dengan mempertimbangkan bahwa wajah adalah keindahan yang asli dan sumber fitnah.
3.      Bentuk Perhiasan Yang Haram Ditampakkan
Ayat وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ menunjukkan diharamkannya menampakkan perhiasan di hadapan laki-laki yang tidak berstatus apa-apa, karena khawatir terjadi fitnah. Pada asalnya perhiasan merupakan istilah bagi setiap sesuatu yang dengannya seorang perempuan dapat berhias dan mewujudkan kecantikan, semisal dengan mengenakan aneka ragam pakaian mode, benda-benda perhiasan, bahan pewarna dan semacamnya.
Terkadang perhiasan (zinah) digunakan untuk sesuatu yang lebih umum, sehingga mencakup kepada anggota badan. Dengan demikian, perhiasan ada empat macam, yaitu: orisinil, inovativ, zhahirah dan bathinah. Perhiasan orisinil adalah wujud perempuan yang diciptakan oleh Allah dengan sempurna atau dengan kata lain -yang biasa diucapkan oleh kaum laki-laki- wujud ideal, seperti keindahan kulit (putih dan mulus), postur tubuh yang sedang, mata yang (bahasa madura) murkak.
Menurut pendapat Ibnu Mas’ud perhiasan zhahirah adalah pakian. Mujahid mengatakan, yang dimaksud perhiasan zhahirah adalah celak, cincin, pewarna. Menurut Sa’id bin Jabir adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Sementara perhiasan bathinah tidak boleh ditampakkan kecuali kepada orang-orang yang telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ
Yang dimaksud dengan orang-orang yang disebutkan oleh Allah adalah suami dan mahram laki-laki.
Pada masa Jahiliyah, kaum perempuan mengenakan pakain sangat terbuka, sehingga sebagian anggota tubuhnya tampak terlihat, seperti leher dan dadanya. Oleh sebab itu, bagi kaum perempuan muslim harus mengenakan pakaian yang serba menutupi, agar bagian-bagian anggota tubuhnya, seperti leher, dada, mata kaki, lutut dan pahanya, tidak tampak terlihat oleh mata-mata yang suka jelalatan. Allah berfirman:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
4.      Perempuan Boleh Menampakkan Perhaisannya Kepada Beberapa Laki-Laki
Sebelum menjelaskan tentang beberapa orang laki-laki yang dikecualikan oleh al-Qur’an, yang perempuan dapat menampakkan perhiasannya kepada mereka, terlebih dahulu menjelaskan tentang pembagian perhiasan perempuan secara khusus. Secara khusus perempuan memiliki dua perhiasan, yaitu perhiasan primer dan skunder. Perhiasan skuder seperti (jika mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa perhiasan mencakup kepada anggota tubuh) wajah, telinga, rambut, leher, kedua tangan, lutut dan mata kaki. Perhiasan primer selain anggota tubuh perhiasan skunder, yaitu anggota tubuh yang berada diantara dada dan paha.
Perempuan boleh menampakkan perhiasan primer dan skunder kepada suaminya. Karena sang suami boleh memandang kepada semua anggota tubuh istrinya. Bahkan, tidak hanya memandang, menyentuh dan bercumbu mesra dengan gaya apapun hukumnya halal. Allah berfirman:
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
Berkenaan dengan laki-laki yang dikecualikan oleh al-Qur’an, yang perempuan dapat menampakkan perhiasannya kepada mereka, hanya perhiasan skunder yang boleh ditampakkan kepada mereka. Alasannya darurat dan tidak dikhawatirkan terjadi fitnah. Mereka adalah: ayah, mertua laki-laki, putera-puteranya, anak tiri laki-laki, saudara-saudara laki-laki, keponakan laki-laki baik dari suadara laki-laki atau perempuan, perempuan-perempuan Islam, budak- budak yang mereka miliki, pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Selain itu, ada beberapa laki-laki yang tidak disebutkan dalam teks, yaitu paman dari ayah, paman dari ibu dan laki-laki yang satu susuan (saudara radha'). Para fuqha' sepakat bahwa mereka bestatus mahram. Sebagaimana teks lain menyebutkan:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ ................ (23) (النساء)
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan…………

5.      Hukum Ketika Perempuan Muslimah Menampakkan Auratnya Di Hadapan Perempuan Kafir
Para fuqaha' berbeda pendapat dalam memahami kata او نساءهن. Sebagian dari mereka memahami bahwa yang dimaksud dengan kata او نساءهن adalah perempuan muslim. Pendapat ini diampuh oleh mayoritas ulama' salaf.
Begitu juga Qurthubi mengatakan di dalam kitab tafsirnya, yang dimaksud kata او نساءهن adalah perempuan muslim. Dengan demikian, perempuan kafir dzimmi tidak dimaksudkan dalam kata tersebut. Oleh sebab itu, perempuan muslim tidak boleh membuka anggota tubuhnya di hadapan perempuan kafir dzimmi, kecuali perempuan kafir dzimmi itu budak yang dimilikinya.
Sebagian fuqaha' yang lain memakruhkan perempuan muslim mencium perempuan dari kaum nashrani, serta menampakkan auratnya kepada mereka.
Ibnu Abbas berkata: bagi perempuan muslim tidak halal menampakkan auratnya kepada  perempuan dari kaum nashrani, agar tidak diceritakan kepada suaminya mereka.
Sementara sebagian fuqaha' yang lain memahami, bahwa yang dimaksud dengan kata او نساءهن adalah semua perempuan. Pendapat ini lebih beradaptasi dengan konteks sekarang, karena perempuan muslim dan kafir dzimmi saat ini telah saling berintraksi di mana-mana, sehingga sulit bagi perempuan muslim untuk berhijab dari mereka.

6.    Siapakah التابعين غير اولى الإربة ?
Dalam ayat diatas ada redaksi  ( التابعين غير اولى الإربة ) yang mengungkapkan sebuah pengecualian. Artinya bagi seorang wanita tidak dilarang menampakkan perhiasan di hadapan orang-orang yang termasuk  التابعين غير اولى الإربة . Lalu siapakah   التابعين غير اولى الإربة pada ayat tersebut ?  

Syaikh Muhammad Ali Ashhabuni menjelaskan bahwa mereka adalah orang laki-laki yang al Abalh al Mughaffilun (Orang yang lemah akalnya lagi pelupa), mereka tidak mengenal sama sekali perkara-perkara wanita dan tidak mempunyai kecenderungan dan keinginan pada wanita. Hal ini di sebabkan beberapa factor yaitu fisiknya lemah, akalnya lemah, atau karena kefakiran dan kemiskinan mereka.  Faktor factor ini di perhitungkan  sekiranya bisa menjadikan mereka tidak bisa memandang dengan pandangan Ghairi Thahir ( nakal) dan hati mereka selamat dari dorongan jahat dan kemaksiatan  yang bisa masuk.
Dalam tafsir Raddu Maysir menyebutkan beberapa orang yang termasuk dalam katagori التابعين غير اولى الإربة , yaitu :
a.       Orang Ahmaq yang tidak punya hasrat pada wanita dan keberadaannya tidak menimbulkan kecemburuan bagi orang laki-laki
b.      Laki laki impoten
c.       Waria yang melayani kebutuhan orang laki laki misalkan menghidangkan makanan, dan tidak punya kemampuan menjimak perempuan serta tidak punya hasrat terhadap wanita. Dalam tafsir Tabari lebih tegas lagi menyebutkan waria yang penisnya tidak bisa berdiri[1].
d.      Pelayan
Dalam tafsir Bahrul Ulum li samarqandhi di terangkan bahwa makna redaksi ayat di atas adalah pelayan wanita yang tidak punya hasrat (Hajat) pada wanita sebagaimana orang yang sudah tua renta.[2]
e.       Orang yang tidak terpengaruh oleh daya pikat wanita disebabkan oleh usia lanjut, pikun dan masih kecil.
Penjelasan Imam Ali Asshabuni di atas berdasarkan penukilan dari para mufassirin dari golongan shahabat dan tabi'in, hal ini mengindikasikan bahwa Ali Asshabuni sangat berhati –hati dalam membahas masalah ini, sehingga perlu bersandar pada para shahabat dan tabi'in, agar penafsiran ayat diatas benar-benar shahih. Adapun tafsiran para shahabat dan tabi'in pada ayat التابعين غير اولى الإربة sebagai berikut:
a.       Menurut Ibnu Abbas, maksud ayat di atas adalah Al Mughaffil ( Orang Pelupa ) yang tidak berhasrat pada wanita
b.      Menurut Qatadah maksud ayat diatas adalah Attabi' ( pelayan) yang biasa menyertaimu untuk menghidangkan makananmu
c.       Sedangkan menurut Mujahid, maksud ayat tersebut adalah Al Ablah ( orang yang lemah akalnya) yang dalam pikirannya hanya ada makanan dan sama sekali tidak mengetahuai persoalan wanita.
Ada komentar menarik dari Ustad Maududi kurang lebihnya sebagai berikut : " Menurut Umar yang benar bagi orang yang membaca hukum ini yaitu dengan niat taat , tidak dengan niat agar dirinya bisa memperoleh jalan untuk lari dari ketaatan. Dan tidak pula menetapi pada pengetahuan permulaan tersebut pada para pelayan dan anak anak yang masih muda yang biasa berbicara di rumah-rumah atau para penyaji makanan dan penyaji kopi serta pelayan di  penginapan-penginapan. Mereka tidak termasuk dalam  التابعين غير اولى الإربة ”.
7.    Bagaimakah hukumnya wanita tidak berhijab di hadapan attiflu
Para ulama’ berbeda pendapat dalam menafsiri redaksi attiflu pada ayat:
اوالطفل الذين لم يظهروا علي عوراة النساء
Sebagian diantara mereka mengatakan bahwa maksud dari redaksi diatas adalah anak anak yang belum sampai pada  batasan syahwat ( keinginan ) untuk bersenggama,sedang kan ulama’ lain berpendapat bahwa maksud dari redaksi diatas adalah anak kecil yang belum mengenal mana aurat dan mana yang bukan aurat.
Dalam menyikapi perbedaan penafsiran diatas,Syaikh Muhammad Ali al Shabuni condong pada pada pendapat yang terakhir, menurut beliau pendapat yang terakhir lebih mendekati kebenaran, sebab yang di maksud dari pendapat yang terakhir adalah anak anak yang  belum terpikat pada tubuh dan gerakan wanita dengan hasrat seksualitas, karena mereka masih kecil dan belum mengerti seputar seksualitas. Dan menurut syaikh, mereka adalah anak  yang umurnya di bawah sepuluh tahun.Namun bila  anak tersebut sudah murahiq seyogyanya wanita berhijab( menutup auratnya),sebab anak yang telah murahiq telah memasuki masa masa awal mengenal seksualitas.
8.    Apakah suara perempuan aurat ?
Pada dasarnya Islam mengharamkan segala sesuatu yang bisa menimbulkan fitnah dan ikhra’(hal yang membangkitkan permusuhan), dari situ Islam melarang wanita menderap derapkan kakinya di tanah sampai suara gemerincing gelang kakinya terdengar kaum laki laki, kemudian hasrat hati kaum laki laki   bangkit dan bersemi.   Sebagaimana Firman Allah:
ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن
Artinya :Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Ayat ini oleh para ulama’ hanafiyah dijadikan dalil bahwa suara wanita adalah aurat. Bila suara gemerincing gelang kaki wanita di larang, maka mengeraskan suara wanita lebih kuat larangannya.
Syaikh Al Jasshash dalam tafsirnya berpandapat bahwa dalam ayat ini menunjukkan larangan bagi wanita mengeraskan suaranya dalam berbicara, ketidak bolehan tersebut sekiranya orang lain ( Ajanib) bisa mendengar, karena suara wanita gampang menimbulkan fitnah daripada suara gemerincing gelang-gelang kakinya.
Sebab itu tak heran bila para sahabat Syaikh Al Jasshah menghukumi makruh terhadap adzannya wanita, sebab dalam adzan pada umumnya membutuhkan suara yang keras, semetara wanita dilarang mengeraskan suara.Penjelasan ini juga menunjukkan bahwa melihat wajah wanita dilarang, karena bisa mengundang syahwat.
 Sebagian Ulama' berpendapat bahwa suara nyanyian wanita termasuk aurat mereka berdalil dengan hadits Nabi

التكبير للرجل والتصفيق للنساء
Artinya : Takbir bagi laki laki dan bertepuk tangan bagi wanita
Dengan demikian menurut mereka tidak sepantasnya laki laki mendengarkan suara perempuan.

Ulama' Syafi'iyah dan yang lainnya berpendapat beda, menurut mereka suara perempuan bukan aurat, karena perempuan juga boleh bermuamalah, misalkan berjualan, berbelanja dan terkadang di minta kesaksian di depan hakim.Dan dalam muamalah –muamalah ini mengeraskan suara saat berbicara adalah suatu keharusan .
Dalam hal ini Imam Al Alusi berkomentar " Hal hal yang disebutkan dalam beberapa ibarah dalam kitab al Syafi'iyah yakni suara perempuan bukanlah aurat, karena itu tidak haram mendengarnya kecuali bila dihawatirkan mengundang fitnah. Dan pendapat ini yang saya pilih".

Dan yang lebih realistis suara wanita bila tidak mengundang syahwat berarti bukan aurat. Sejarah mencatat bahwa istri istri nabi meriwayatkan bayak hadits, sehingga mereka berbicara dengan kaum laki laki yang bukan muhrimnya dan kejadian ini tidak ada mengingkari dan mengatakan berdosa.
Menurut ibnu katsir wanita dilarang dari segala sesuatu yang bisa mendorong kaum laki laki menolehkan pandangan kepadanya, atau membangkitkan hasrat laki laki kepadanya, dari situ wanita tidak boleh memakai parfum dan wangi wangian ketika keluar rumah kemudian kaum laki laki menghirup wangi wanita tersebut, berdasarkan  sebuah hadits

كل عين زانية والمرأة اذا استعطرت فمرت بالمجلس فهى كذاوكذا
"Setiap mata berzina keadaan ini bilamana  wanita memakai wangi wangian kemudian melewati majlis,niscaya wanita tersebut adalah seperti ini dan seperti itu". Maksudnya adalah wanita pezina.
Dan sama tidak bolehnya dengan masalah tersebut bila seorang wanita menggerak gerakkan tangan untuk menampakkan gelang tangan dan perhiasannya.
Dan Syaikh Muhammad Ali Asshabuni berpesan kepada kaum laki laki agar melarang wanita dari setiap hal yang bisa menimbulkan fitnah dan membangkitkan permusuhan, misalkan wanita keluar dengan gaun yang ketat, memakai gaun yang memikat hati, atau dengan mengeraskan suara dan memakai parfum ketika pergi ke pasar. Juga cara berjalan wanita yang berlagak dan bergaya indah ( seksi) serta berbicaranya yang bisa mematahkan hati kaum laki laki. Allah telah berfirman :
Ÿxsù…. z`÷èŸÒøƒrB ÉAöqs)ø9$$Î/ yìyJôÜuŠsù Ï%©!$# Îû ¾ÏmÎ7ù=s% ÖÚttB z`ù=è%ur Zwöqs% $]ùrã÷è¨B  
Artinya :Maka janganlah kamu tundukdalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah Perkataan yang baik,
Dan hal lain yang sekiranya tidak pantas menurut norma Islam dan sifat kesatria kaum laki laki. Ingatlah bahwa kerusakan tidak akan menyebar kecuali bila kaum laki laki ceroboh, dan kelemahan tidak akan tampak kecuali bila rasa cemburu dan menjaga diri demi harga diri kemuliaan telah hilang. Suami yang sama sekali tidak punya perasaan cemburu karena ulah isrinya bukanlah seorang muslim, Rasulullah menyematkan nama bagi mereka dengan sebutan Dayyuts.Nabi bersabda :
ثلاثة لا يدخلون الجنة ولا يجدون ريحها : الرجلة من النساء (اي المتشابه بالرجال ) ومدمن الخمر والديوث, ومن الديوث يارسول الله . " قال الذي يقر الخبث في اهله ",
Artinya: Tiga orang tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya sorga (yaitu) Wanita yang meniru niru laki laki,pecandu khomr dan Dayyuts".
Para sahabat bertanya,"Siapakah mereka wahai Rasulullah", Nabi berkata,"orang yang mengakui perbuatan kotor ahlinya(istri)",dan dalam riwayat lain," orang yang tidak cemburu pada ahlinya



[1] Tafsir Tabari, Maktabah Syamilah, juz 19, hal.163
[2] Tafsir Bahrul Ulum li Samarqandi, Maktabah Syamilah, juz 3,hal 213