Rabu, 05 Oktober 2011

Macam-Macam Talak


MACAM-MACAM TALAK
Oleh: M. Zamroni


A.      Talak Sunni dan Talak Bid’i
Talak dipandang dari aspek sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan syara’ terbagi pada dua bagian; a. Talak sunni dan b. Talak bid’i. Ulama’ fikih beraneka ragam dalam menstandari batasan-batasan talak sunni dan bid’i.
Kalangan Hanafiyah membagi talak kedalam tiga bagian, yaitu: a. Talak ahsan b. Talak hasan dan c. Talak bid’i.
Talak ahsan adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dengan talak satu, pada masa suci dan tidak disetubuhi pada waktu sucinya serta ia membiarkan (tidak mentalak lagi) pada istrinya sampai iddahnya berakhir dengan tiga kali haid. Talak hasan adalah talak yang dilakukan suami pada istrinya dengan talak tiga, dalam waktu tiga kali suci dan disetiap masa suci dilakukan talak satu. Sedangkan Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dengan talak tiga, atau talak dua dengan memakai satu kalimat, atau ia mentalak tiga dalam satu masa suci.
Sedangkan kalangan Malikiyah dalam mengkatagorikan talak sunni atau bid’i dengan memberi syarat-syarat tertentu. Ada empat syarat talak dapat dikategorikan talak sunni:
1.      Perempuan pada waktu ditalak suci dari haid dan nifas,
2.      Suami tidak menjima’nya pada waktu,
3.      Suami mentalak satu,
4.      Suami tidak mentalak istrinya yang kedua kali sampai masa ‘iddahnya berakhir.
Dan menurut mereka, talak bid’i adalah talak yang tidak memenuhi satu syarat atau seluruhnya. Misalnya : seorang suami mentalak istrinya lebih dari satu, atau ia mentalak istrinya pada masa haid atau nifas, atau pada masa suci tetapi dicampurinya dalam masa suci itu. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa suami yang mentalak bid’i pada isrinya ia dipaksa untuk rujuk kembai sampai masa iddah yang terakhir. Namun jika ia tidak mau untuk merujuknya, Hakim boleh mengancam untuk menahannya, dan manakala ia tetap enggan untuk merujuknya ia boleh dipukul, dan bila ia tetap bersikeras dalam keengganannya, seorang Hakim berhak memaksa untuk merujuknya.
Sementara kalangan Syafi’iyah membagi talak pada tiga bagian dengan istilah yang sedikit berbeda dengan kalangan Hanafiyah. Tiga bagian itu adalah : a. Talak sunni, b. Talak bid’i, dan c. Talak bukan sunni dan bukan bid’i (talak qhairu bid’I wa la- sunni).
Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan pada istri dengan talak satu pada masa suci dan tidak dicampuri pada masa sucinya serta tidak dicampuri pula pada masa haid sebelumya, dan bila suami ingin mentalak istrinya dengan talak tiga ia menjatuhkan talak satu disetiap masa suci.
Berkenaan dengan talak bid’i terbagi menjadi dua macam:
1.    Talak yang dijatuhkan pada masa haid yang dicampuri pada masa haidnya, sebab syara’ memerintahkan untuk mentalak istri pada masa suci, dan juga membuat mudharat pad istri dengan lamanya menjalani masa iddah.
2.    Talak yang dijatuhkan pada istri dalam masa suci tetapi telah dicampuri pada masa suci itu.
Macam talak yang terakhir, yaitu talak qhiru bid’i wa la-sunni hanya terjadi bagi istri yang masih kacil, perempuan monopause, istri yang berkhulu’, istri yang hamil dan kehamilannya dipastikan hasil hubungan dengan suaminya, dan istri yang belum pernah didukhul.
Sementara kalangan Hanabilah memberi pengertian talak sunni adalah talak yang suami menjatuhkan talak satu pada istrinya yang tidak disetubuhi pada masa sucinya itu kemudian ia tidak mentalaknya lagi sampai masa ‘iddahnya berakhir. Sedangkan talak  bid’i adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dalam masa haid atau nifas, atau masa suci tetapi ia telah mendukhulnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam -fikih Indonesia- lebih cendrung mengikuti pendapat mayoritas Ulama’ selain Hanafiyah, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 121 dan 122.
Pasal 121:Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122: Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
B.  Talak Raj’i dan Talak Ba’in
Talak ditilik dari boleh dan tidak bolehnya rujuk terbagi pada dua macam : Talak raj’i, dan Talak ba’in.
Talak raj’i adalah talak yang boleh bagi suami untuk merujuk pada istrinya dengan tanpa perlu akad baru selama masa ‘iddah, meskipun istri tidak mau untuk dirujuk. Talak raj’i ini terjadi dalam talak satu dan dua tetapi setelah masa ‘iddah istri sudah habis, suami tidak dapat merujuk kembali melainkan dengan akad baru.
Talak ba’in ada dua macam:
1.      Ba’in shughraa (ba’in kecil)
2.      Ba’in kubraa (ba’in besar)
Talak ba’in shughraa adalah talak yang suami tidak dapat untuk rujuk kembali pada mantan istrinya, melainkan dengan akad dan mahar baru. Talak ba’in shughraa terjadi bagi istri yang belum didukhul, istri yang berkhuluk dengan menyerahkan ‘iwad (ganti rugi), talak yang dijatuhkan oleh Hakim, dan talak sebab ila’.
Talak ba’in kubraa adalah talak yang suami tidak boleh untuk merujuk kembali kepada istri kecuali bila istri telah kawin lagi dengan orang lain dan telah dicampurinya, kemudian ia ditalak dan telah berakhir ‘iddahnya dari suami yang kedua. Talak macam ini terjadi dalam talak tiga.
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan pengertian talak raj’i dan talak ba’in dalam pasal 118,  119 ayat (1) dan (2).
Pasal 118   : Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.
Pasal 119  : (1) Talak ba’in suqhra adalah talak yang tidak boleh rujuk tapi bileh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
(2)   Talak ba’in suqhraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah:
a.     Talak yang terjadi qabla al-dukhul;
b.    Talak dengan tebusan atau khulu’;
c.     Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 120 : Talak ba’in kubra talak yang terjadi untuk ketiga kalinya talak jenis tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian tejadi ba’da al-dukhul dan habis masa ‘iddahnya.
C.      Hukum talak sunni, talak bid’i dan talak yang tidak disifati dengan talak sunni dan bid’i.
1.    Talak sunni hukumnya boleh dan dapat berlaku, talak seperti ini yang sesuai dengan tuntutan syara’. Bentuk talak seperti menjatuhkan talak satu atau talak tiga, akan tetapi disunnahkan menjatuhkantalak satu dan dua, supaya dapat rujuk kembali pada mantan istrinya bilamana dikemudian hari merasa menyesal atas keputusannya. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat at-Talaq ayat  :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
“Wahai orang-orang yang beriman bila kalian mentalak perempuan-perempuan maka talaklah pada ‘iddah mereka” maksud ayat ini adalak talaklah istrimu pada masa disyari’atkan ‘iddah, yaitu masa suci sebab masa haid tidak terhitung masa ‘iddah.
2.    Talak bidd’i hukumnya haram tetapi talak tetap berlaku sebab talak seperti ini menyimpang dari tuntutan syara’, dimana syara’ memerintahkan untuk mentalak istri-istri pada masa suci. Apabila suami mencerai istri pada masa haid disunnahkan untuk merujuk kembali kemudian setelah istrinya masuk masa suci ia mentalak kembali bila berkehendak untuk mentalaknya. Talak bidd’i hukumnya haram karena memudharatkan pada istri, sebab ia akan menjalani masa ‘iddah dengan waktu yang lama karena masa haid tidak terhitung masa ‘iddah. Sedangkan diharamkan mentalak istri pada masa suci yang  disetubuhi pada masa sucinya, karena dimungkinkan istri hamil dari benih yang ditanamnya sehingga dikemudian hari  suami akan menyesal bila si istri benar-benar hamil dari darah dagingnya.
3.    Talak yang tidak bersifat dengan sunni dan bidd’i hukumnya boleh dan talak berlangsung, dan tidak ada hukum haram dalam bentuk ini sebab talak dalam kondisi seperti ini tidak akan berdampak dharar pada istri. Seperti: istri yang masih kecil dan perempuan menopause, sebab mereka beriddah dengan hitungan bulan (al-asyhur), perempuan hamil, atau istri yang menuntut khuluk, karena istri yang berkhuluk dengan tebusan sejumlah harta pada suaminya adalah bukti bahwa ia sangat butuh untuk dipisah, dan ia rela menanggung ‘iddah yang lama.
D.  Hukum Talak Raj’i
Para Ulama’ sepakat bahwa talak raj’i menyebabkan beberapa akibat-akibat hukumnya:
1.      Hitungan talak berkurang, seorang suami yang telah mentalak raj’i istri maka hak talaknya tersissa dua.
2.      Ikatan suami istri menjadi terputus sebab habisnya masa ‘iddah, ketika seorang suami mentalak raj’i dan masa iddah berakhir sebelum dirujuk kembali, maka  istri menjadi ba’in (terpisah) dengannya.
3.      Selama masa ‘iddah dapat rujuk kembali, hal itu dapat dilakukan dengan perkataan atau perbuatan.
4.      Perempuan yang ditalak raj’i masih memiliki ikatan zaujiah dengan mantan suami, oleh karena itu suami masih berhak untuk menceraikannya, mendhihar, mengila’, dan tetapnya hak saling mewarisi.
5.      Haramnya beristimta’, golongan Syafi’iyah dan Malikkiyah berpendapat istimta’ (bersenang-senang)haram bagi suami yang mentalak raj’i, baik dengan mewati’ atau lainnya karena perempuan yang ditalak raj’i sama statusnya dengan ba’in. Sementara golongan Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat istimta’ itu tidak diharamkan lantaran talak raj’i, sebab menurut mereka talak raj’i tidak menghilangkan kepemilikan (al-milku) dan kehalalan (al-hillu)selama masa ‘iddah.
E.  Hukum Talak Ba’in
1. Talak ba’in suqhro.
ü Kepemilikan (al-milku) menjadi hilang tetapi kehalalan (al-hillu) tetapa ada, seorang suami yang telah mentalak istrinya diharamkan beristimta’ dengannya, dan tidak memiliki hak rujuk kembali tetapi mantan istri tetap halal baginya dengan akad baru.
ü Hitungan talak berkurang, seperti halnya dalam talak raj’i.
ü Hak saling mewarisi antara suami istri menjadi tercegah. Bila diantara kedua ada yang mati maka tidak ada hak waris bagi yang hidup sebab talak ba’in menghilangkan ikatan suami istri, kecuali talak yang dilakukan suami pada saat sakit yang mendekati kematian dan ada indikasi bahwa ia mentalak istrinya dengan tujuan si istri tercegah untuk menerima hak waris. Inilah yang dinamakan talak firar. Menurut Jumhur selain Syafi’iyah talak seperti ini tidak menghilangkan hak waris bila si suami wafat dalam masa ‘iddah, sedangkan menurut Malikiyah sekalipun wafatnya di luar ‘iddah si istri tetap memiliki hak waris.
2. Talak ba’in kubro
ü Hilangnya kepemilikan dan kehalalan. Maksudnya, suami haram bersenang-senang dengan istrinya yang ditalak ba’in dan haram pula untuk rujuk kembali.
ü Hak saling waris-mewarisi menjadi terhalang, kecuali talak yang dilakukan untuk menghalangi istri mendapatkan hak waris. Yang dikenal dengan talak firar.
ü Perempuann yang ditalak ba’in kubro diharamkan bagi mantan suaminya untuk rujuk kembali melainkan ia menikah lagi dengan laki-laki lain dan telah benar-benar disetubuhi. Barulah setelah ia dicerai oleh suami yang kedua menjadi halal bagi suami yang pertama.  
F.   Talak Tanjiz, Talak Ta’liq dan Talak Idhafah
 Ditilik dari sudut dikaitkannya talak pada suatu syarat atau dikaitkannya dengan waktu yang akan datang atau sama sekali tidak digantungkan pada suatu apapun, talak terbagi pada tiga macam:
1.    Talak Tanjiz.
2.    Talak Ta’liq.
3.    Talak Idhafah.
Talak tanjiz atau Talak muajjal adalah talak yang tidak dikaitkan pada suatu syarat dan tidak dikaitkan pula dengan waktu yang akan datang, tetapi dimaksudkan berlaku seketika pada saat diucapkan oleh orang yang menjatuhkan talaknya. Seperti suami mengatakan pada istrinya: “engkau tertalak”. Talak seperti ini berlaku seketika ucapan tersebut keluar dari orang yang mengatakannya,sementara suami memenuhi syarat-syarat rukun talak begitu pula istri menjadi objek talak.
Talak idhafah adalah talak yang disandarkan pada waktu yang akan datang. Seperti: suami mengatakan pada istrinya: Besok Engkau tertalak, Engkau tertalak diawal februari,  Engkau tertalak di awal tahun 2007, Umpamanya. Talak seperti ini terjadi ketika ketika awal bagian dari bagian-bagian waktu yang disandarkan itu terwujud. Misalnya suami mengatakan pada istrinya: Besok Kamu tertalak, talak seperti ini akan terjadi dengan terwujudnya awal bagian dari waktu yang disandarkan. Yaitu ketika terbit fajar. Dan contoh lain, Kamu tertalak di awal bulan Ramadhan, talak yang diucapkan suami terjadi ketika awal bagian dari malam pertama bulan Ramadhan terwujud, yaitu ketika terbenam matahari di akhir bulan Sya’ban.
 Talak ta’liq adalah talak talak yang dikaitkan dengan suatu perkara di waktu yang akan datang dengan menggunakan adat syarat. Seperti suami mengatakan pada istrinya: “jika Engkau pergi ke rumahmu maka Engkau tertalak, jika Engkau keluar rumah tanpa izinku maka Engkau tertalak, jika Engkau berbicara dengan si Anu maka Engkau tertalak”.
 Macam-macam ta’liq ada dua macam:
ü Ta’liq yang dimaksudkan untuk sumpah, dengan maksud untuk mengajurkan melakukan sesuatu atau meninggalkannya atau untuk menguatkan kalam khabar . Ta’liq seperti ini disebut ta’liq qosami (ta’liq dengan sumpah). Seperti perkataan suami pada istrinya: jika Aku keluar rumah maka Kamu tertalak, dengan maksud ia melarang istrinya keluar pada saat ia keluar.
ü Ta’liq yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak bila syarat telah terpenuhi, ta’liq seperti ini disebut ta’liq syarti, seperti suami berkata pada istrinya: jika Engkau pergi maka Engkau tertalak, jika Engkau melahirkan anak perempuan maka Engkau tertalak dan lain-lain.
Menurut jumhur Ulama’ kedua ta’liq ini berlaku, setelah syarat yang dikaitkan itu benar-benar nyata. Sedangkan menurut Syiah Imamiyah dan Dhahiriyah bentuk ta’liq seperti ini tidak berlaku.
Adapun jumhur Ulama’ berdalil dengan kemutlakan ayat talak, dimana dalam ayat tersebut tidak diqoyyidi dengan qoyyit apapun, hal ini mengindikasikan bahwa talak munajjiz dan talak mu’alaq hukumnya sama. Dalam kaidah ushul dijelaskan.
المطلق يجري علي إطلاقه ما لم يكن دليل علي تقييده نصا او دلالة
“Lafad mutlak diamalkan atas kemutlakannya selagi tidak ada dalil yang mengqoyyidi baik nash atau dhalalah”
Dan hadist Nabi:
َقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ .
“Orang-orang muslim bergantung pada syarat-syarat mereka”
Hadist Bukhari dari Ibnu Umar
ُوَقَالَ نَافِعٌ طَلَّقَ رَجُلٌ امْرَأَتَهُ الْبَتَّةَ إِنْ خَرَجَتْ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ إِنْ خَرَجَتْ فَقَدْ بُتَّتْ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ تَخْرُجْفَلَيْس َ بِشَيْءٍ
“Seorang laki-laki mentalak istrinya al-battah (sama sekali) jika ia keluar” kemudian Ibnu Umar berkata:  jika ia benar-benar keluar maka ia menjadi ba’in (berpisah) dengannya, dan jika ia tidak keluar maka tidak ada hukum apapun”.
 Sedangkan dalam pandangan Syiah Imamiyah dan Dhahiriah, ta’liq talak adalah sumpah, sedang sumpah tidak boleh dengan selain asma Allah, berdasarkan hadist Nabi yang diriwayatkan Ibnu Umar “ barang siapa besumpah, maka hendaklah bersumpah dengan asma Allah”.  Lebih lanjut mereka menguatkan argumennya bahwa talak dapat sah bila sesuai dengan syara’ begitu pula sumpah dapat terjadi bila sejalan dengan syara’, sedangkan sumpah talak bukanlah sumpah yang sejalan dengan syara’. Allah berfirman dalam surah at- Talaq ayat 1 : “ Barang siapa melampaui batasan-batasan Allah ia telah mendholimi diri sendiri
Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qoyyim mentafshilnya, merinci ketentuan ketentuan hukum. keduanya berpendapat talak ta’liq yang mengandung arti sumpah dan sekalipun sesuatu yang dita’liq (syarat yang dikaitkan ) benar-benar tewujud, talaknya dipandang tidak berlaku, sedang orang yang mengucapkannya wajib membayar kaffarat sumpah, jika yang dijanjikannya nyata terjadi. Kaffarat sumpahnya yaitu memberi makan sepuluh orang miskin, atau membeli pakaian pada mereka, dan jika tidak dapat maka ia wajib puasa tiga hari.
Mengenai talak syarat,-menurut mereka- talak bersyarat dianggap sah, apabila yang dijadikan persyaratan terpenuhi. Ada beberapa dalil yang diangkat oleh mereka dalam menguatkan pendapatnya:
Pertama.bila tujuan talak ta’liq adalah untuk menganjurkan melakukan sesuatu atau meninggalkannya atau untuk menguatkan kalam khabar, berarti talak ta’liq hukumnya sama dengan sumpah.
Kedua,  hadist Bukhari dari Ibnu Abbas.
الطلاق عن عطر و العتق: ماابتغي وجه الله
Talak dilakukan karena butuh dan kemerdekaan; sesuatu yang dilakukan untuk mendapat ridha Allah”

شروط النية


شروط النية
من محمد زمراني

الأول الإسلام ومن ثم لم تصح العبادت من الكافر وقيل يصح غسله دون وضوئه وتيممه وقيل يصح الوضوء أيضا وقيل يصح التيمم أيضا ومحل الخلاف في الأصلي أما المرتد فلا يصح منه غسل ولا غيره كذا قال الرافعي لكن في شرح المهذب أن جماعة أجروا الخلاف في المرتد وخرج من ذلك صور الأولى الكتابية تحت المسلم يصح غسلها عن الحيض ليحل وطؤها بلا خلاف للضرورة ويشترط نيتها كما قطع به المتولي والرافعي في باب الوضوء وصححه في التحقيق كما لا يجزي الكافر العتق عن الكفارة إلا بينة العتق وادعى في المهمات أن المجزوم به في الروضة وأصلها في النكاح عدم الاشتراط وما ادعاه باطل سببه سوء الفهم فإن عبارة الروضة هناك إذا طهرت الذمية من الحيض والنفاس ألزمها الزوج الاغتسال فإن امتنعت أجبرها عليه واستباحها وإن لم تنو للضرورة كما يجبر المسلمة المجنونة فقوله وإن لم تنو بالتاء الفوقية عائد إلى مسئلة الامتناع لا إلى أصل غسل الذمية وحينئذ لا شك في أن نيتها لا تشترط كالمسلمة المجنونة وأما عدم اشتراط نية الزوج عند الامتناع والمجنون أو عدم اشتراط نيتها في غير حال الإجبار فلا تعرض له في الكلام لا نفيا ولا إثباتا بل في قوله في مسألة الامتناع استباحها وإن لم تنو للضرورة ما يشعر بوجوب النية في غير حال الامتناع وعجبت للأسنوي كيف غفل عن هذا وكيف حكاه متابعوه عنه ساكتين عليه والفهم من خير ما أوتي العبد الثانية الكفارة تصح من الكافر ويشترط منه نيتها لأن المغلب فيها جانب الغرامات والنية فيها للتمييز لا للقربة وهي بالديون أشبه وبهذا يعرف الفرق بين عدم وجوب إعداتها بعد الإسلام ووجوب إعادة الغسل بعده الثالثة إذا أخرج المرتد الزكاة في حال الردة تصح وتجزيه الرابعة ذكر قاضي القضاءة جلال الدين البلقيني أنه يصح صوم الكافر في صورة وذلك إذا أسلم مع طلوع الفجر ثم إن وافق آخر إسلامه الطلوع فهو مسلم حقيقة ويصح منه النفل مطلقا قال ونظيرها من المنقول صورة المجامع يحس وهو مجامع بالفجر فينزع بحيث يوافق آخر نزعه الطلوع وإن وافق أول إسلامه الطلوع فهذا إذا نوى النفل صح على الأرجح ولا أثر لما وجد من موافقة أول الإسلام الطلوع كما ذكره الأصحاب في صورة أن يطلع وهو مجامع ويعلم بالطلوع في أوله فينزع في الحال أنه لا يبطل الصوم فيها على الأصح فحينئذ تلك اللحظة التي كانت وقت الطلوع هي المرادة بالتصوير وذلك قبل الحكم بالإسلام والأخذ في الإسلام ليس بقاء على الكفر كما أن النزع ليس بقاء على الجماع ولا يصح منه صوم الفرض والحالة هذه لأن التبييت شرط فإن بيت وهو كافر ثم أسلم كما صورنا قال فهل لهذه النية أثر لم أر من تعرض لذلك ويجوز أن يقال الشروط لا تعتبر وقت النية كما قالوا في الحائض تنوي من الليل قبل انقطاع دمها ثم ينقطع الأكثر أو العادة فلا يحتاج إلى التجديد ويجوز أن يقال يعتبر شرط الإسلام وقت النية لأن المعتادة على يقين من الانقطاع لأكثر الحيض وعلى ظن قوي للعادة بظهورها وليس في إسلام الكافر يقين ولا ظاهر فكان متردد حال النية فيبطل الجزم كما إذا لم يكن لها عادة أو لها عادة مختلفة ولو اتفق الطهر بالليل لعدم الجزم قال ومما يناظر ذلك ما إذا نوى سفر القصر وهو كافر فإنه تعتبر نيته فإذا أسلم في أثناء المسافة قصر على الأرجح اه الشرط الثاني التمييز فلا تصح عبادة صبي لا يميز ولا مجنون وخرج عن ذلك الطفل يوضئه الولي للطواف حيث يحرم عنه والمجنونة يغسلها الزوج عن الحيض وينوي على الأصح ومن فروع هذا الشرط مسألة عمدها في الجنايات هل هو عمد أو لا لأنه لا يتصور منهما القصد وصححوا أن عمدهما عمد وخص الأئمة الخلاف بمن له نوع تمييز فغير المميز منهما عمده خطأ قطعا ونظير ذلك السكران لا يقضى عليه بالحديث حتى يستغرق دون أول النشوة وكذا حكم صلاته وسائر أفعاله الشرط الثالث العلم بالمنوي قال البغوي وغيره فمن جهل فرضية الوضوء أو الصلاة لم يصح منه فعلها وكذا لو علم أن بعض الصلاة فرض ولم يعلم فرضية التي شرع فيها وإن علم الفرضية وجهل الأركان فإن اعتقد الكل سنة أو البعض فرضا والبعض سنة ولم يميزها لم تصح قطعا أو الكل فرضا فوجهان أصحهما الصحة لأنه ليس فيه أكثر من أنه أدى سنة باعتقاد الفرض وذلك لا يؤثر وقال الغزالي الذي لا يميز الفرائض من السنن تصح عبادته بشرط أن لا يقصد التنفل بما هو فرض فإن قصده لم يعتد به وإن غفل عن التفصيل فنية الجملة كافية واختاره في الروضة قال الأسنوي وغير الوضوء والصلاة في معناهما وقال في الخادم الظاهر أن لا يشترط ذلك في الحج ويفارق الصلاة فإنه لا يشترط فيه تعيين المنوي بل ينعقد مطلقا ويصرفه بخلاف الصلاة ويمكن تعلم الأحكام بعد الإحرام بخلاف الصلاة ولا يشترط العلم بالفرضية لأنه لو نوى النفل انصرف إلى الفرض ومن فروع هذا الشرط ما لو نطق بكلمة الطلاق بلغة لا يعرفها وقال قصدت بها معناها بالعربية فإنه لا يقع الطلاق في الأصح وكذا لو قال لم أعلم معناها ولكن نويت بها الطلاق وقطع النكاح فإنه لا يقع كما لو خاطبها بكلمة لا معنى لها وقال أردت الطلاق ونظير ذلك لو قال أنت طالق طلقة في طلقتين وقال أردت معناه عند أهل الحساب فإن عرفه وقع طلقتان وإن جهله فواحدة في الأصح لأن ما لا يعلم معناه لا يصح قصده ونظيره أيضا أن يقول طلقتك مثل ما طلق زيد وهو لا يدري كم طلق زيد وكذا لو نوى عدد طلاق زيد ولم يتلفظ ونظير أنت طالق طلقة في طلقتين قول المقر له على درهم في عشرة فإنه إن قصد الحساب يلزمه عشرة كذا أطلقه الشيخان هنا وقيده في الكفاية بأن يعرفه قال فإن لم يعرفه فيشبه لزوم درهم فقط وإن قال أردت ما يريده الحساب على قياس ما في الطلاق انتهى وقد جزم به في الحاوي الصغير ونظير طلقتك مثل ما طلق زيد بعتك بمثل ما باع به فلان فرسه وهو لا يعلم قدره فإن البيع لا يصح الشرط الرابع أن لا يأتي بمناف فلو ارتد في أثناء الصلاة أو الصوم أو الحج أو التيمم بطل أو الوضوء أو الغسل لم يبطلا لأن أفعالهما غير مرتبطة ببعضها ولكن لا يحسب المغسول في زمن الردة ولو ارتد بعد الفراغ فالأصح أنه لا يبطل الوضوء والغسل ويبطل التيمم لضعفه ولو وقع ذلك بعد فراغ الصلاة أو الصوم أو الحج أو أداء الزكاة لم يجب عليه الإعادة وأما الأجر فإن لم يعد إلى الإسلام فلا يحصل له لأن الردة تحبط العمل وإن عاد فظاهر النص أنها تحبط أيضا والذي في كلام الرافعي أنها إنما تحبط إذا اتصلت بالموت بل في الأساليب لو مات مرتدا فحجه وعبادته باقية وتفيده المنع من العقاب فإنه لو لم يؤدها لعوقب على تركها ولكن لا تفيده ثوابا لأن دار الثواب الجنة وهو لا يدخلها وحكى الواحدي في تفسير سورة النساء خلافا في الكافر يؤمن ثم يرتد أنه يكون مطالبا بجميع كفره وأن الردة تحبط الإيمان السابق قال وهو غلط لأنه صار بالإيمان كمن لم يكفر فلا يؤاخذ به بعد أن ارتفع حكمه قال وهو نظير الخلاف في أن من تاب من المعصية ثم عاود الذنب هل يقدح في صحة التوبة الماضية والمشهور لا قلت ليس بنظيره بل بينهما بون عظيم لفحش أمر الردة فقد نص الله تعالى على أنها تحبط العمل بخلاف الذنب فإنه لا يحبط عملا وقد صح في الحديث في الكافر يسلم أنه إن أساء أوخذ بالأول والآخر ومن نظائر ذلك أن من صحب النبي ثم ارتد ومات على الردة كابن خطل لا يطلق عليه اسم الصحابي وأما من ارتد بعده ثم أسلم ومات مسلما كالأشعث بن قيس فقال الحافظ أبو الفضل العراقي في دخوله في الصحابة نظر فقد نص الشافعي وأبو حنيفة على أن الردة محبطة للعمل قال والظاهر أنها محبطة للصحبة السابقة قال أما من رجع إلى الإسلام في حياته كعبدالله بن أبي سرح فلا مانع من دخوله في الصحبة انتهى وفي البحر لو اعتقد صبي أبواه مسلمان الكفر وهو في الصلاة بطلت قال والذي كنت أقول صلاته صحيحة لأن ردته لم تصح ثم ظهر لي الآن بطلانها لأن اعتقاد الكفر إبطال لها فلو وقع ذلك في وضوء أو صوم فوجهان مبنيان على نية الخروج أو في حج أو عمرة لم يضر لأنه لا يبطل بنية الإبطال انتهى كلام صاحب البحر فصل ومن المنافي نية القطع وفي ذلك فروع نوى قطع الإيمان والعياذ بالله تعالى صار مرتدا في الحال نوى قطع الصلاة بعد الفراغ منها لم تبطل بالإجماع وكذا سائر العبادات وفي الطهارة وجه لأن حكمها باق بعد الفراغ نوى قطع الصلاة أثناءها بطلت بلا خلاف لأنها شبيهة بالإيمان نوى قطع الطهارة أثناءها لم يبطل ما مضى في الأصح لكن يجب تجديد النية لما بقي نوى قطع الصوم والاعتكاف لم يبطلا في الأصح لأن الصلاة مخصوصة من بين سائر العبادات بوجوه من الربط ومناجاة العبد ربه نوى الأكل أو الجماع في الصوم لم يضره نوى فعل مناف في الصلاة كالأكل والفعل الكثير لم تبكل قبل فعله نوى الصوم من الليل ثم قطع النية قبل الفجر سقط حكمها لأن ترك النية ضد النية بخلاف ما لو أكل بعدها لا تبطل لأن الأكل ليس ضدها نوى قطع الحج والعمرة لم يبطلا بلا خلاف لأنه لا يخرج منهما بالإفساد نوى قطع الجماعة بطلت ثم في الصلاة قولان إذا لم يكن عذر أصحهما لا تبطل وأما ثواب الجماعة لما سبق فيسقط كما صرح به الشيخ أبو إسحاق الشيرازي واعتمده خاتمة المحققين الشيخ جلال الدين المحلي وأما الثواب في الصلاة والوضوء ونحوه إذا قلنا ببطلانه ففي شرح المهذب عن البحر لو نوى نية صحيحة وغسل بعض أعضائه ثم بطل في أثنائه بحدث أو غيره فهل له ثواب المفعول منه كالصلاة إذا بطلت في أثنائها أو لا لأنه مراد لغيره بخلاف الصلاة أو إن بطل بغير اختياره فله وإلا فلا احتمالات وظاهره أن الحصول في الصلاة متفق عليه نوى فطع الفاتحة فإن كان مع سكوت يسير بطلت القراءة في الأصح وإلا فلا نوى قطع السفر والإقامة فإن كان سائرا لم يؤثر لأن السير يكذبها كما في شرح المهذب وإن كان نازلا انقطع وكذا لو كان في مفازة لا تصلح للإقامة على الأظهر نوى الإتمام في أثناء الصلاة امتنع عليه القصر نوى بمال التجارة القنية انقطع حول التجارة ولو نوى بمال القنية التجارة لم يؤثر في الأصح نوى بالحلي المحرم استعمالا مباحا بطل الحول نوى بالمباح محرما أو كنزا ابتدأ حول الزكاة نوى الخيانة في الوديعة لم يضمن على الصحيح إلا أن يتصل به نقل من الحرز كما في قطع القراءة مع السكوت نوى أن لا يردها وقد طلبها المالك فيه الوجهان نوى الخيانة في اللقطة فيه الوجهان فرع ويقرب من نية القطع نية القلب قال في شرح المهذب قال الماوردي نقل الصلاة إلى أخرى أقسام أحدها نقل فرض إلى فرض فلا يحصل واحد منهما الثاني نقل نفل راتب إلى نفل راتب كوتر إلى سنة الفجر فلا يحصل واحد منهما الثالث نقل نفل إلى فرض فلا يحصل واحد منهما الرابع نقل فرض إلى نفل فهذا نوعان نقل حكم كمن أحرم بالظهر قبل الزوال جاهلا فيقع نفلا ونقل نية بأن ينوي قبله نفلا عامدا فتبطل صلاته ولا ينقلب نفلا على الصحيح فإن كان لعذر كأن أحرم بفرض منفردا ثم أقيمت جماعة فسلم من ركعتين ليدركها صحت نفلا في الأصح فصل ومن المنافي عدم القدرة على المنوي إما عقلا وإما شرعا وإما عادة فمن الأول نوى بوضوئه أن يصلي صلاة وأن لا يصليها لم يصح لتناقضه ومن الثاني نوى به الصلاة في مكان نجس قال في شرح المهذب عن البحر ينبغي أن لا يصح ومن الثالث نوى به صلاة العيد وهو في أول السنة أو الطواف وهو بالشأم ففي صحته خلاف حكاه في الأول الروياني وفي الثاني بعض المصنفين وقربه من الخلاف فيمن أحرم بالظهر قبل الزوال قلت لكن الأصح الصحة كما جزم به في التحقيق وحكاه في شرح المهذب عن البحر وأقره نوى العبد أو الزوجة أو الجندي مسافة القصر وهم مع مالك أمرهم ولا يعرفون مقصده لم يقصر العبد ولا الزوجة لأنهما لا يقدران على ذلك إذ هما تحت قهر السيد والزوج بخلاف الجندي لأنه ليس تحت يد الأمير وقهره فصل ومن المنافي التردد وعدم الجزم وفيه فروع تردد هل يقطع الصلاة أو لا أو علق إبطالها على شيء بطلت وكذا في الإيمان تردد في أنه نوى القصر أولا وهل يتم أو لا لم يقصر تيقن الطهارة وشك في الحديث فاحتاط وتطهر ثم بان أنه محدث لم يصح وعليه الإعادة في الأصح بخلاف ا لو شك في الطهارة وقد تيقن الحدث لأن معه أصلا وبخلاف ما لو شك في نجاسة فغسلها لأنها لا تحتاج إلى نية نوى ليلة الثلاثين من شعبان صوم غد عن رمضان إن كان منه فكان منه لم يقع عنه بخلاف ما لو وقع ذلك ليلة الثلاثين من رمضان لاستصحاب الأصل عليه فائتة فشك هل قضاها أو لا فقضاها ثم تيقنها لم تجزئه هجم فتوضأ بأحد الإناءين لم يصح وضوؤه وإن بان أنه توضأ بالطاهر شك في جواز المسح على الخف فمسح ثم بان جوازه وجب إعادة المسح وقضى ما صلى به تيمم أو صلى أو صام شاكا في دخول الوقت فبان في الوقت لم تصح تيمم بلا طلب للماء ثم بان أن لا ماء لم يصح تيمم لفائتة ظنها عليه أو لفائتة الظهر فبانت العصر لم يصح صلى إلى جهة شاكا أنها القبلة فإذا هي هي لم تصح قصر شاكا في جواز القصر لم يصح وإن بان جوازه صلى على غائب ميت شاكا أنه من أهل الصلاة عليه فبان أنه من أهلها لم يصح صلى خلف خنثى فبان رجلا لم يسقط القضاء في الأظهر بخلاف ما لو عقد به النكاح فبان رجلا مضى على الصحة في الأظهر لأن المقصود فيه الحضور ولا نية يقع فيها التردد قال هذه زكاة أو صدقة لم تقع زكاة للتردد هذا عن مالي الغائب إن كان سالما وإلا فعن الحاضر أو صدقة فبان سالما أجزأه وإلا لم يجزه عن الحاضر للترديد فيه بخلاف ما سيأتي قال إن كان مورثي مات وورثت ماله فهذه زكاته فبان لم يجزه بلا خلاف لأنه لم يستند إلى أصل بخلاف مسألة الغائب لأن الأصل بقاؤه وبخلاف البيع فإنه لا يحتاج إلى نية عقب النية بالمشيئة فإن نوى التعليق بطلت أو التبرك فلا أو أطلق قال في الشافي تبطل لأن اللفظ موضوع للتعليق قال أصوم غدا إن شاء زيد لم يصح وإن شاء زيد أو إن نشطت فكذلك لعدم الجزم بخلاف ما لو قال ما كنت صحيحا مقيما فإنه يجزئه

محل النية


محل النية
من محمد زمراني

محلها القلب في كل موضع لأن حقيقتها القصد مطلقا وقيل المقارن للفعل وذلك عبارة عن فعل القلب قال البيضاوي النية عبارة عن انبعاث القلب نحو ما يراه موافقا من جلب نفع أو دفع ضر حالا أو مآلا والشرع خصصه بالإرادة المتوجهة نحو الفعل لابتغاء رضا الله تعالى وامتثال حكمه والحاصل أن هنا أصلين الأول أنه لا يكفي التلفظ باللسان دونه والثاني أنه لا يشترط مع القلب التلفظ أما الأول فمن فروعه لو اختلف اللسان والقلب فالعبرة بما في القلب فلو نوى بقلبه الوضوء وبلسانه التبرد صح الوضوء أو عكسه فلا وكذا لو نوى بقلبه الظهر وبلسانه العصر أو بقلبه الحج وبلسانه العمرة أو عكسه صح له ما في القلب ومنها إن سبق لسانه إلى لفظ اليمين بلا قصد فلا تنعقد ولا يتعلق به كفارة أو قصد الحلف على شيء فسبق لسانه إلى غيره هذا في الحلف بالله فلو جرى مثل ذلك في الإيلاء أو الطلاق أو العتاق لم يتعلق به شيء باطنا ويدين ولا يقبل في الظاهر لتعلق حق الغير به وذكر الإمام في الفرق أن العادة جرت بإجراء ألفاظ اليمين بلا قصد بخلاف الطلاق والعتاق فدعواه فيهما تخالف الظاهر فلا يقبل قال وكذا لو اقترن باليمين ما يدل على القصد وفي البحر أن الشافعي نص في البويطي على أن من صرح بالطلاق أو الظهار أو العتاق ولم يكن له نية لا يلزمه فيما بينه وبين الله تعالى طلاق ولا ظهار ولا عتق ومنها أن يقصد لفظ الطلاق أو العتق دون معناه الشرعي بل يقصد معنى له آخر أو يقصد ضم شيء إليه برفع حكمه وفيه فروع بعضها يقبل فيه وبعضها لا وكلها لا تقتضي الوقوع في نفس الأمر لفقد القصد القلبي قال الفوراني في الإبانة الأصل أن كل من أفصح بشيء وقبل منه فإذا نواه قبل فيما بينه وبين الله تعالى دون الحكم وقال نحوه القاضي حسين والبغوي والإمام في النهاية وغيرهم وهذه أمثلته قال أنت طالق ثم قال أردت من وثاق ولا قرينة لم يقبل في الحكم ويدين فإن كان قرينة كأن كانت مربوطة فحلها وقال ذلك قبل ظاهرا مر بعبد له على مكاس فطالبه بمكسه فقال إنه حر وليس بعبد وقصد التخلص لا العتق لم يعتق فيما بينه وبين الله تعالى كذا في فتاوي الغزالي قال الرافعي وهو يشير إلى أنه لا يقبل ظاهرا قال في المهمات وقياس مسألة الوثاق أن يقبل لأن مطالبة المكاس قرينة ظاهرة في إرادة صرف اللفظ عن ظاهره ورد بأنه ليس قرينة دالة على ذلك وإنما نظير مسألة الوثاق أن يقال له أمتك بغي فيقول بل حرة فهو قرينة ظاهرة على إرادة العفة لا العتق انتهى زاحمته امرأة فقال تأخري يا حرة وكانت أمته وهو لا يشعر أفتى الغزالي بأنها لا تعتق قال الرافعي فإن أراده في الظاهر فيمكن أن يفرق بأنه لا يدري من يخاطب هاهنا وعنده أنه يخاطب غير أمته وهناك خاطب العبد باللفظ الصريح وفي البسيط أن بعض الوعاظ طلب من الحاضرين شيئا فلم يعطوه فقال متضجرا منهم طلقتكم ثلاثا وكانت زوجته فيهم وهو لا يعلم فأفتى إمام الحرمين بوقوع الطلاق قال الغزالي وفي القلب منه شيء قال الرافعي ولك أن تقول ينبغي أن لا تطلق لأن قوله طلقتكم لفظ عام وهو يقبل الاستثناء بالنية كما لو حلف لا يسلم على زيد فسلم على قوم هو فيهم واستثناه بقلبه لم يحنث وإذا لم يعلم أن زوجته في القوم كان مقصوده غيرها وقال النووي ما قاله الإمام والرافعي عجيب أما العجب من الرافعي فلأن هذه المسألة ليست كمسألة السلام على زيد لأنه هناك علم به واستثناه وهنا لم يعلم بها ولم يستثنها واللفظ يقتضي الجميع إلا ما أخرجه ولم يخرجها وأما العجب من الإمام فلأن الشرط قصد لفظ الطلاق بمعنى الطلاق ولا يكفي قصد لفظ من غير قصد معناه ومعلوم أن الواعظ لم يقصد معنى الطلاق فينبغي أن لا تطلق لذلك لما ذكره الرافعي قال في المهمات ونظير ذلك ما حكيناه عن الغزالي في مسألة تأخري يا حرة أنها لا تعتق وقال البلقيني فتح الله بتخريجين آخرين يقتضيان عدم وقوع الطلاق أحدهما أن يخرج ذلك على من حلف لا يسلم على زيد فسلم على قوم هو فيهم وهو لا يعلم أنه فيهم والمذهب أنه لا يحنث وهذه غير مسألة الرافعي التي قاس عليها فإنه هناك علم واستثني وهنا لم يعلم أصلا الثاني أن الطلاق لغة الهجر وشرعا حل قيد النكاح بوجه مخصوص ولا يمكن حمل كلام الواعظ على المشترك لأنه هنا متعذر لأن شرط حمل المشترك على معنييه أن لا يتضادا فتعينت اللغوية وهو لا يفيد إيقاع الطلاق على زوجته بل لو صرح فقال طلقتكم وزوجتي لم يقع الطلاق عليها كما قالوه في نساء العالمين طوالق وأنت يا فاطمة من جهة أنه عطف على نسوة لم تطلق انتهى قال يا طالق وهو اسمها ولم يقصد الطلاق لم تطلق وكذا لو كان اسمها طارقا أو طالبا وقال قصدت النداء فالتف الحرف قال أنت طالق ثم قال أردت إن شاء زيد أو إن دخلت لدار دين ولم يقبل ظاهرا قال كل امرأة لي طالق وقال أردت غير فلانة دين ولم يقبل ظاهرا إلا لقرينة بأن خاصمته وقالت تزوجت فقال ذلك وقال أردت غير المخاصمة ولو وقع ذلك في اليمين قبل مطلقا كأن يحلف لا يكلم أحدا ويريد زيدا أو لا يأكل طعاما ويريد شيئا معينا قال أنت طالق ثم قال أردت غيرها فسبق لساني إليها دين قال طلقتك ثم قال أردت طلبتك دين قال أنت طالق إن كلمت زيدا ثم قال أردت إن كلمته شهرا قال الإمام نص الشافعي أنه لا يقع الطلاق باطنا بعد الشهر فلو كان في الحلف بالله قبل ظاهرا أيضا قال أنت طالق ثلاثا للسنة وقال نويت تفريقها على الأقراء دين ولم يقبل ظاهرا لأن اللفظ يقتضي وقوع الكل في الحال إلا لقرينة بأن كان يعتقد تحريم الجمع في قرء واحد ولو لم يقل للسنة ففي المنهاج أنه كما لو قال والذي في الشرحين والمحرر أنه لا يقبل مطلقا ولا من يعتقد التحريم قال لامرأته وأجنبية إحداكما طالق وقال أردت الأجنبية قبل بخلاف ما لو قال عمرة طالق وهو اسم امرأته وقال أردت أجنبة فإنه يدين ولا يقبل تتمة استثنى مواضع يكتفى فيها باللفظ على رأي ضعيف منها الزكاة ففي وجه أو قول يكفي نيتها لفظا واستدل بأنها تخرج من مال المرتد ولا تصح نيته وتجوز النيابة فيها ولو كانت نية القلب متعينة لوجب على المكلف بها مباشرتها لأن النيات سر العبادات والإخلاص فيها قال ولا يرد على ذلك الحج حيث تجري فيه النيابة وتشترط فيه نية القلب لأنه لا ينوب فيه من ليس من أهل الحج وفي الزكاة ينوب فيها من ليس من أهلها كالعبد والكافر ومنها إذا لبى بحج أو عمرة ولم ينو ففي قول إنه ينعقد ويلزمه ما سمى لأنه التزمه بالتسمية وعلى هذا لو لبى مطلقا انعقد الإحرام مطلقا ومنها إذا أحرم مطلقا ففي وجه يصح صرفه إلى الحج والعمرة باللفظ والأصح في الكل أنه لا أثر للفظ وأما الأصل الثاني وهو أنه لا يشترط مع نية القلب التلفظ فيه ففيه فروع كثيرة منها كل العبادات ومنها إذا أحيا أرضا بنية جعلها مسجدا فإنها تصير مسجدا بمجرد النية ولا يحتاج إلى لفظ ومنها من حلف لا يسلم على زيد فسلم على قوم هو فيهم واستثناه بالنية فإنه لا يحنث بخلاف من حلف لا يدخل عليه فدخل على قوم هو فيهم واستثناه بقلبه وقصد الدخول على غيره فإنه يحنث في الأصح والفرق أن الدخول فعل لا يدخله الاستثناء ولا ينتظم أن يقول دخلت عليكم إلا على فلان ويصح أن يقال سلمت عليكم إلا على فلان وخرج عن هذا الأصل صور بعضها على رأي ضعيف منها الإحرام ففي وجه أو قول أنه لا ينعقد بمجرد النية حتى يلبي وفي آخر يشترط التلبية أو سوق الهدي وتقليده وفي آخر أن التلبية واجبة لا شرط لللانعقاد فعليه دم والأصح أنها لا شرط ولا واجبة فينعقد الإحرام بدونها ولا يلزمه شيء ومنها لو نوى النذر أو الطلاق بقلبه ولم يتلفظ لم ينعقد النذر ولا يقع الطلاق ومنها اشترى شاة بنية التضحية أو الإهداء لم تصر كذلك على الصحيح حتى يتلفظ ومنها باع بألف وفي البلد نقود لا غالب فيها فقبل ونويا نوعا لم يصح في الأصح حتى يبيناه لفظا وفي نظيره من الخلع يصح في الأصح لأنه يغتفر فيه ما لا يغتفر في البيع وفي نظيره من النكاح لو قال من له بنات زوجتك بنتي ونويا واحدة صح على الأصح ومنها لو قال أنت طالق ثم قال أردت إن شاء الله تعالى لم يقبل قال الرافعي والمشهور أنه لا يدين أيضا بخلاف ما إذا قال أردت إن دخلت أو إن شاء زيد فإنه يدين وإن لم يقبل ظاهرا قال والفرق بين إن شاء الله وبين سائر صور التعليق أن التعليق بمشيئة الله يرفع حكم الطلاق جملة فلا بد فيه من اللفظ والتعليق بالدخول ونحوه لا يرفعه جملة بل يخصصه بحال دون حال ومنها من عزم على المعصية ولم يفعلها أو لم يتلفظ بها لا يأثم لقوله إن الله تجاوز لأمتي ما حدثت به أنفسها ما لم تتكلم أو تعمل به ووقع في فتاوي قاضي القضاة تقي الدين بن رزين أن الإنسان إذا عزم على معصية فإن كان قد فعلها ولم يتب منها فهو مؤاخذ بهذا العزم لأنه إصرار وقد تكلم السبكي في الحلبيات على ذلك كلاما مبسوطا أحسن فيه جدا فقال الذي يقع في النفس من قصد المعصية على خمس مراتب الأولى الهاجس وهو ما يلقى فيها ثم جريانه فيها وهو الخاطر ثم حديث النفس وهو ما يقع فيها من التردد هل يفعل أو لا ثم الهم وهو ترجيح قصد الفعل ثم العزم وهو قوة ذلك القصد والجزم به فالهاجس لا يؤاخذ به إجماعا لأنه ليس من فعله وإنما هو شيء ورد عليه لا قدرة له ولا صنع والخاطر الذي بعده كان قادرا على دفعه بصرف الهاجس أول وروده ولكنه هو وما بعده من حديث النفس مرفوعان بالحديث الصحيح وإذا ارتفع حديث النفس ارتفع ما قبله بطريق الأولى وهذه المراتب الثلاثة أيضا لو كانت في الحسنات لم يكتب له بها أجر أما الأول فظاهر وأما الثاني والثالث فلعدم القصد وأما الهم فقد بين الحديث الصحيح أن الهم بالحسنة يكتب حسنة والهم بالسيئة لا يكتب سيئة وينتظر فإن تركها لله كتبت حسنة وإن فعلها كتبت سيئة واحدة والأصح في معناه أنه يكتب عليه الفعل وحده وهو معنى قوله واحدة وأن الهم مرفوع ومن هذا يعلم أن قوله في حديث النفس ما لم يتكلم أو يعمل ليس له مفهوم حتى يقال إنها إذا تكلمت أو عملت يكتب عليه حديث النفس لأنه إذا كان الهم لا يكتب فحديث النفس أولى هذا كلامه في الحلبيات وقد خالفه في شرح المنهاج فقال إنه ظهر له المؤاخذة من إطلاق قوله أو تعمل ولم يقل أو تعمله قال فيؤخذ منه تحريم المشي إلى معصية وإن كان المشي في نفسه مباحا لكن لانضمام قصد الحرام إليه فكل واحد من المشي والقصد لا يحرم عند انفراده أما إذا اجتمعا فإن مع الهم عملا لما هو من أسباب المهموم به فاقتضى إطلاق أو تعمل المؤاخذة به قال فاشدد بهذه الفائدة يديك واتخذها أصلا يعود نفعه عليك وقال ولده في منع الموانع هنا دقيقة نبهنا عليها في جمع الجوامع وهي أن عدم المؤاخذة بحديث النفس والهم ليس مطلقا بل بشرط عدم التكلم والعمل حتى إذا عمل يؤاخذ بشيئين همه وعمله ولا يكون همه مغفورا وحديث نفسه إلا إذا لم يتعقبه العمل كما هو ظاهر الحديث ثم حكى كلام أبيه الذي في شرح المنهاج والذي في الحلبيات ورجح المؤاخذة ثم قال في الحلبيات وأما العزم فالمحققون على أنه يؤاخذ به وخالف بعضهم وقال إنه من الهم المرفوع وربما تمسك بقول أهل اللغة هم بالشيء عزم عليه والتمسك بهذا غير سديد لأن اللغوي لا يتنزل إلى هذه الدقائق واحتج الأولون بحديث إذا التقى المسلمان بسيفيهما فالقاتل والمقتول في النار قالوا يا رسول الله هذا القاتل فما بال المقتول قال كان حريصا على قتل صاحبه فعلل بالحرص واحتجوا أيضا بالإجماع على المؤاخذة بأعمال القلوب كالحسد ونحوه وبقوله تعالى ومن يرد فيه بإلحاد بظلم نذقه من عذاب أليم على تفسير الإلحاد بالمعصية ثم قال إن التوبة واجبة على الفور ومن ضرورتها العزم على عدم العود فمتى عزم على العود قبل أن يتوب منها فذلك مضاد للتوبة فيؤاخذ به بلا إشكال وهو الذي قاله ابن رزين ثم قال في آخر جوابه والعزم على الكبيرة وإن كان سيئة فهو دون الكبيرة المعزوم عليها المبحث السادس