Rabu, 21 Maret 2012

IJAB DAN QABUL

IJAB DAN QABUL
Oleh: M. Zamroni, M.H.I

Dalam sebuah transaksi, yang paling prinsip sebenarnya adalah kerelaan (Ridha) dari kedua belah pihak, sebagai artikulasi dari prinsip al-Qur`an, yakni tidak merugikan atau dirugikan (la tazhlimuna wa la tuzhlamun). Akan tetapi, karena kerelaan merupakan sesuatu yang abstrak dan tersembunyi didalam hati maka perlu diwujudkan dalam bentuk Shighat (ijab dan qabul) agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Ijab dan qabul dalam sebuah transaksi bisa dilakukan dengan berbagai cara; bisa dengan perkataan, isyarat, perbuatan, dan juga dapat dilakukan dengan tulisan (khitabah) ataupun dengan mengirim seseorang untuk melakukan akad. meski demikian, kesemuanya itu harus menunjukkan makna yang jelas, dan tidak menimbulkan kesalahpahaman di antara kedua belah pihak.
·    Ijab dan qabul dengan perkataan.
Transaksi Ijarah dengan pola semacam ini, para ulama sepakat membolehkannya dengan catatan jika dilakukan dengan ungkapan yang jelas (syarih).
·    Ijab dan qabul dengan isyarat.
Para ulama sepakat bahwa  Ijarah boleh dilakukan dengan isyarat, baik dalam bentuk gerakan anggota badan maupun tulisan(kitabah), selagi isyarat tersebut mampu memberikan makna yang dapat dipahami oleh pihak yang melakukan akad.
Didalam hokum syara`, akad dengan isyarat sama sahnya dengan akad yang dilakukan dengan lisan sehingga isyarat orang bisu, misalnya, sama seperti penuturan dengan lisan. cara ini merupakan alternative bagi mereka yang tidak mampu menggunakan lisannya secara normal.
·    Ijab dan qabul dengan perbuatan.
Adapun yang dimaksud ijab dan qabul dengan perbuatan adalah suatu tindakan yang dilakukan tanpa diiringi dengan perkataan oleh kedua belah pihak yang melakukan akad atau salah seorang di antara keduanya. Menurut jumhur ulama, akad Ijarah boleh dilakukan dengan perbuatan.
·    Ijab dan qabul dengan kitabah dan risalah.
Yang dimaksud kitabah dalam konteks fiqh adalah tulisan pihak yang bertransaksi kepada pihak lain, sebagai penyampaian maksud dalam transaksi yang dikehendaki. Sedangkan yang dimaksud dengan risalah dalam sebuah transaksi adalah utusan salah seorang dari pihak yang bertransaksi tersebut.
Para Ulama pun sepakat bahwa ijab dan qabul dengan kitabah maupun risalah dalam akad ijarah adalah sah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan, kecuali sebagian ulama Syafi`iyah yang beranggapan bahwa bila pihak-pihak tersebut mampu melafalkan akad maka tidak sah melakukan akad transaksi dengan menggunakan kitabah atau risalah.

WHAT IS GREEN ECONOMICS?

WHAT IS GREEN ECONOMICS?
Oleh: M. Zamroni, M.H.I

Green economics is the economics of the real world—the world of work, human needs, the Earth’s materials, and how they mesh together most harmoniously.  It is primarily about “use-value”, not “exchange-value” or money.  It is about quality, not quantity for the sake of it.  It is about regeneration---of individuals, communities and ecosystems---not about accumulation, of either money or material. 
The industrial or capitalist definition of wealth has always been about the accumulation of money and matter.  Any use-values generated (i.e. social needs met) have been secondary—a side-effect, by-product, spin-off or trickle-down—to the primary goal of monetary accumulation.    For two centuries, the quest to accumulate money or capital drove a powerful industrialization process that actually did spin off many human benefits, however unfairly distributed.  But blind material and monetary growth has reached a threshold where it is generating more destruction than real wealth.  A postindustrial world requires an economics of quality, where both money and matter are returned to a status of means to an end.  Green economics means a direct focus on meeting human and environmental need.
Tinkering with money, interest rates, or even state regulation is insufficient in creating sensible economies.  One can scarcely imagine a more inefficient, irrational and wasteful way to organize any sector of the economy than what we actually have right now.  Both the form and the content of sustainable agriculture, of green manufacturing, of soft energy, etc. are diametrically opposed to their current industrial counterparts, which are intrinsically wasteful.   There is no justifiable rationale to be producing vast quantities of toxic materials; or generating more deskilled than skilled labour; or displacing labour rather than resources from production; or extending giant wasteful loops of production & consumption through globalization.  These are economic inefficiencies, economic irrationalities that can only be righted by starting from scratch—to look at the most elegant and efficient ways of doing everything.  As green economist Paul Hawken writes, our social and environmental crises are not problems of management, but of design.  We need a system overhaul.
Green economics is not just about the environment.  Certainly we must move to harmonize with natural systems, to make our economies flow benignly like sailboats in the wind of ecosystem processes.  But doing this requires great human creativity, tremendous knowledge, and the widespread participation of everyone.  Human beings and human workers can no longer serve as cogs in the machine of accumulation, be it capitalistic or socialistic.  Ecological development requires an unleashing of human development and an extension of democracy.  Social and ecological transformation go hand-in-hand. 
            Green economics and green politics both emphasize the creation of positive alternatives in all areas of life and every sector of the economy. Green economics does not prioritize support for either the "public" or the "private" sector. It argues that BOTH sectors must be transformed so that markets express social and ecological values, and the state becomes merged with grassroots networks of community innovation. For this to happen, new economic processes must be designed, and new rules of the game written, so that incentives for ecological conduct are built into everyday economic life. The state can then function less as a policeman, and more as a coordinator. This is a very different kind of "self-regulation" than current profit- and power- driven market forces. The basis for self-regulation in a green economy would be community, and intelligent design which provides incentives for the right things.
Green economic conversion must be radical, but it must also be incremental and organic. How is this possible? Rodale cites the need for a kind of economic succession which mimics ecological landscape change. We need "pioneer enterprises" which can thrive in today's hostile economic landscape, but also prepare the ground for more ecological and egalitarian enterprises to come. A vision of what each sector of the economy would look like in an ecological economy--based on the specifics of each place--is a starting point. This vision must be coupled with practical action in each of these sectors, gradually moving toward this vision. Enough practical activity can eventually generate the impetus for state action to level the playing field for ecological alternatives.


Hijau ekonomi adalah ekonomi dari dunia nyata-dunia kerja, kebutuhan manusia, bahan bumi, dan bagaimana mereka jala bersama-sama yang paling harmonis. Hal ini terutama tentang "nilai guna", bukan "nilai tukar" atau uang. Ini adalah tentang kualitas, bukan kuantitas untuk kepentingan itu. Ini adalah tentang regenerasi --- individu, komunitas dan ekosistem --- bukan tentang akumulasi, baik uang atau materi.
Definisi industri atau kapitalis kekayaan selalu tentang akumulasi uang dan materi. Setiap penggunaan-nilai yang dihasilkan (yaitu kebutuhan sosial terpenuhi) telah sekunder-efek samping, oleh-produk, spin-off atau trickle down-dengan tujuan utama dari akumulasi moneter. Selama dua abad, upaya untuk mengumpulkan uang atau modal mengendarai sebuah proses industrialisasi yang kuat yang benar-benar melakukan spin off manfaat manusia banyak, namun tidak adil didistribusikan. Namun materi buta dan pertumbuhan moneter telah mencapai ambang batas di mana ia menghasilkan kerusakan lebih dari kekayaan riil. Sebuah dunia membutuhkan ekonomi pasca kualitas, di mana uang dan materi adalah kembali ke status alat untuk mencapai tujuan. Hijau ekonomi berarti fokus langsung pada memenuhi kebutuhan manusia dan lingkungan.
Bermain-main dengan uang, suku bunga, atau bahkan peraturan negara tidak cukup dalam menciptakan ekonomi yang masuk akal. Satu hampir tidak bisa membayangkan cara yang lebih efisien irasional dan mubazir untuk mengatur setiap sektor ekonomi daripada apa yang sebenarnya kita miliki sekarang. Baik bentuk dan isi dari pertanian berkelanjutan, manufaktur hijau, energi lembut, dll yang bertentangan dengan rekan-rekan mereka saat ini industri, yang secara intrinsik boros. Tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk memproduksi sejumlah besar bahan beracun, atau menghasilkan lebih deskilled dari tenaga kerja terampil, atau menggusur tenaga kerja daripada sumber daya dari produksi, atau memperluas loop boros raksasa produksi & konsumsi melalui globalisasi. Ini adalah inefisiensi ekonomi, irasionalitas ekonomi yang hanya dapat dikoreksi dengan memulai dari awal-untuk melihat cara yang paling elegan dan efisien melakukan segalanya. Sebagai ekonom Paul Hawken hijau menulis, krisis sosial dan lingkungan tidak masalah manajemen, tetapi desain. Kita perlu merombak sistem.
Hijau ekonomi bukan hanya tentang lingkungan. Tentu kita harus bergerak untuk menyelaraskan dengan sistem alam, untuk membuat aliran ekonomi kita ramah seperti perahu layar di angin proses ekosistem. Tapi melakukan ini membutuhkan kreativitas manusia yang besar, pengetahuan yang luar biasa, dan partisipasi luas semua orang. Manusia dan pekerja manusia dapat tidak lagi berfungsi sebagai roda penggerak dalam mesin akumulasi, baik itu kapitalis atau sosialis. Pengembangan ekologi membutuhkan pelepasan pembangunan manusia dan merupakan perpanjangan dari demokrasi. Transformasi sosial dan ekologis pergi tangan-di-tangan.
            Ekonomi hijau dan politik hijau baik menekankan penciptaan alternatif positif di semua bidang kehidupan dan setiap sektor ekonomi. Hijau ekonomi tidak memprioritaskan dukungan baik untuk "publik" atau sektor "swasta". Ini berpendapat bahwa KEDUA sektor harus diubah sehingga pasar mengekspresikan nilai-nilai sosial dan ekologi, dan negara menjadi bergabung dengan jaringan akar rumput inovasi masyarakat. Agar hal ini terjadi, proses ekonomi baru harus dirancang, dan aturan baru dari game ditulis, sehingga insentif untuk melakukan ekologi yang dibangun ke dalam kehidupan ekonomi sehari-hari. Negara kemudian dapat berfungsi kurang sebagai polisi, dan lebih sebagai koordinator. Ini adalah jenis yang sangat berbeda dari "swa-regulasi" daripada laba dan arus listrik yang digerakkan oleh kekuatan pasar. Dasar untuk pengaturan-diri dalam ekonomi hijau akan masyarakat, dan desain cerdas yang memberikan insentif untuk hal-hal yang benar.
Konversi hijau ekonomi harus radikal, tetapi juga harus tambahan dan organik. Bagaimana mungkin? Rodale mengutip kebutuhan untuk semacam suksesi ekonomi yang meniru mengubah lanskap ekologi. Kita perlu "perusahaan pelopor" yang dapat berkembang dalam lanskap bermusuhan ekonomi saat ini, tetapi juga mempersiapkan dasar bagi perusahaan yang lebih ekologis dan egaliter yang akan datang. Sebuah visi dari apa yang masing-masing sektor ekonomi akan terlihat seperti dalam perekonomian ekologi - yang didasarkan pada spesifikasi masing-masing tempat - adalah titik awal. Visi ini harus dibarengi dengan tindakan praktis dalam masing-masing sektor, secara bertahap bergerak menuju visi ini. Aktivitas yang cukup praktis pada akhirnya dapat menghasilkan dorongan untuk tindakan negara untuk tingkat lapangan bermain untuk alternatif ekologis.

Indonesia

Indonesia
Oleh. M. Zamroni, M.H.I

BETAPA pun besarnya manfaat dari membaca buku, jika masyarakatnya kurang memiliki kesadaran tentang pentingnya membaca buku, terciptanya suatu peradaban yang lebih baik menjadi suatu keniscayaan. Disamping faktor lain yang menjadi penyebab kurangnya minat baca, di antaranya budaya menonton lebih mendominasi dari pada budaya baca, mahalnya harga kertas yang berimbas harga-harga buku menjadi mahal, dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang pentingnya membaca buku.

Berdasarkan hasil survei lembaga internasional yang bergerak dalam bidang pendidikan, United Nation Education Society and Cultural Organization (UNESCO), minat baca penduduk Indonesia jauh di bawah negara-negara Asia. Indonesia tampaknya harus banyak belajar dari negara-negara maju yang memiliki tradisi membaca cukup tinggi.

Jepang, Amerika, Jerman, dan negara maju lainnya yang masyarakatnya punya tradisi membaca buku, begitu pesat peradabannya. Masyarakat negara tersebut sudah menjadikan buku sebagai sahabat yang menemani mereka kemana pun mereka pergi, ketika antre membeli karcis, menunggu kereta, di dalam bus, mereka manfaatkan waktu dengan kegiatan produktif yakni membaca buku. Di Indonesia kebiasaan ini belum tampak.

Menumbuhkan kebiasaan membaca harus dimulai dari keluarga. Orang tua berperan penting dalam menumbuhkan kegemaran membaca buku anak-anaknya. Untuk menjadikan anak memiliki kegemaran membaca, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pepatah Inggris mengatakan we first make our habits, then our habits make us. Sebuah watak akan muncul, bila kita membentuk kebiasaan terlebih dahulu. Artinya, bila orang tua ingin anaknya mempunyai kegemaran membaca buku, maka membaca buku perlu dibiasakan sejak kecil. Disamping perlunya keteladanan dari orang tua sendiri.

Saat ini, biaya pendidikan kian membumbung. Hanya kalangan tertentu saja yang dapat menikmati pendidikan formal sampai jenjang perguruan tinggi. Bagi mereka yang belum beruntung dari aspek ekonomi, sehingga tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi, mestinya tidak berkecil hati. Membaca buku menjadi alternatif untuk bisa menjadi terpelajar layaknya orang yang mengikuti pendidikan formal.Dengan adanya Perpustakaan Daerah yuk mari ramai ramai budayakan membaca.

Facebook

Facebook
Oleh. M. Zamroni, M.H.I


Facebook is a social networking service and Web site launched in February 2004, operated and privately owned by Facebook, Inc. As of July 2011[update], Facebook has more than 800 million active users. Users may create a personal profile, add other users as friends, and exchange messages, including automatic notifications when they update their profile. Facebook users must register before using the site. Additionally, users may join common-interest user groups, organized by workplace, school or college, or other characteristics, and categorize their friends into lists, e.g. "People From Work", or "Really Good Friends". The name of the service stems from the colloquial name for the book given to students at the start of the academic year by university administrations in the United States to help students get to know each other. Facebook allows any users who declare themselves to be at least 13 years old to become registered users of the Web site.
Facebook was founded by Mark Zuckerberg with his college roommates and fellow computer science students Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz and Chris Hughes. The Web site's membership was initially limited by the founders to Harvard students, but was expanded to other colleges in the Boston area, the Ivy League, and Stanford University. It gradually added support for students at various other universities before opening to high school students, and, finally, to anyone aged 13 and over. However, based on ConsumersReports.org on May 2011, there are 7.5 million children under 13 with accounts, violating the site's terms.
A January 2009 Compete.com study ranked Facebook as the most used social networking service by worldwide monthly active users, followed by MySpace. Entertainment Weekly included the site on its end-of-the-decade "best-of" list, saying, "How on earth did we stalk our exes, remember our co-workers' birthdays, bug our friends, and play a rousing game of Scrabulous before Facebook?" Quantcast estimates Facebook has 138.9 million monthly unique U.S. visitors in May 2011. According to Social Media Today, in April 2010 an estimated 41.6% of the U.S. population had a Facebook account. Nevertheless, Facebook's market growth started to stall in some regions, with the site losing 7 million active users in the United States and Canada in May 2011.
Facebook is a social networking website, which began as a way for students to get to know each other. It is now made up of many networks where a wide variety of individuals and groups connect.
Facebook is a social networking website that was originally designed for college students, but is now open to anyone 13 years of age or older. Facebook users can create and customize their own profiles with photos, videos, and information about themselves. Friends can browse the profiles of other friends and write messages on their pages.
Each Facebook profile has a "wall," where friends can post comments. Since the wall is viewable by all the user's friends, wall postings are basically a public conversation. Therefore, it is usually best not to write personal messages on your friends' walls. Instead, you can send a person a private message, which will show up in his or her private Inbox, similar to an e-mail message.
Facebook allows each user to set privacy settings, which by default are pretty strict. For example, if you have not added a certain person as a friend, that person will not be able to view your profile. However, you can adjust the privacy settings to allow users within your network (such as your college or the area you live) to view part or all of your profile. You can also create a "limited profile," which allows you to hide certain parts of your profile from a list of users that you select. If you don't want certain friends to be able to view your full profile, you can add them to your "limited profile" list.
Another feature of Facebook, which makes it different from MySpace, is the ability to add applications to your profile. Facebook applications are small programs developed specifically for Facebook profiles. Some examples include SuperPoke (which extends Facebook's "poke" function) and FunWall (which builds on the basic "wall" feature). Other applications are informational, such as news feeds and weather forecasts. There are also hundreds of video game applications that allow users to play small video games, such as Jetman or Tetris within their profiles. Since most game applications save high scores, friends can compete against each other or against millions of other Facebook users.
Facebook provides an easy way for friends to keep in touch and for individuals to have a presence on the Web without needing to build a website. Since Facebook makes it easy to upload pictures and videos, nearly anyone can publish a multimedia profile. Of course, if you are a Facebook member or decide to sign up one day, remember to use discretion in what you publish or what you post on other user's pages. After all, your information is only as public as you choose to make it!
Facebook is a popular free social networking website that allows registered users to create profiles, upload photos and video, send messages and keep in touch with friends, family and colleagues. The site, which is available in 37 different languages, includes public features such as:
  • Marketplace - allows members to post, read and respond to classified ads.
  • Groups - allows members who have common interests to find each other and interact.
  • Events  - allows members to publicize an event, invite guests and track who plans to attend.
  • Pages - allows members to create and promote a public page built around a specific topic.
  • Presence technology - allows members to see which contacts are online and chat.
Within each member's personal profile, there are several key networking components. The most popular is arguably the Wall, which is essentially a virtual bulletin board. Messages left on a member's Wall can be text, video or photos. Another popular component is the virtual Photo Album. Photos can be uploaded from the desktop or directly from a cell phone camera. There is no limitation on quantity, but Facebook staff will remove inappropriate or copyrighted images.  An interactive album feature allows the member's contacts (who are called generically called "friends") to comment on each other's photos and identify (tag) people in the photos. Another popular profile component is Status Updates, a microblogging feature that allows members to broadcast short Twitter-like announcements to their friends. All interactions are published in a newsfeed, which is distributed in real-time to the member's friends. 
Facebook offers a range of privacy options to its members.  A member can make all his communications visible to everyone, he can block specific connections or he can keep all his communications private. Members can choose whether or not to be searchable, decide which parts of their profile are public, decide what not to put in their newsfeed and determine exactly who can see their posts. For those members who wish to use Facebook to communicate privately, there is a message feature, which closely resembles email.
In May 2007, Facebook opened up its developers' platform to allow third-party developers to build applications and widgets that, once approved, could be distributed through the Facebook community. In May 2008, Facebook engineers announced Facebook Connect, a cross-site initiative that allows users to publish interactions on third-party partner sites in their Facebook newsfeed.
Twitter is an online social networking and microblogging service that enables its users to send and read text-based posts of up to 140 characters, informally known as "tweets".
Twitter was created in March 2006 by Jack Dorsey and launched that July. Twitter rapidly gained worldwide popularity, with 200 million users as of 2011, generating over 200 million tweets and handling over 1.6 billion search queries per day. It is sometimes described as the "SMS of the Internet."
Twitter Inc., the company that operates the service and associated website, is based in San Francisco, with additional servers and offices in San Antonio, Boston, and New York City.

Jim Morrison

Jim Morrison
Oleh: M. Zamroni, M.H.I

(Lahir di Melbourne, Florida, Amerika Serikat, 8 Desember 1943 – meninggal di Paris, Perancis, 3 Juli 1971 pada umur 27 tahun) adalah seorang vokalis dan pengarang lagu dari kelompok musik The Doors. Keunikan musik The Doors yang digabungkan dengan lirik bernuansa gelap karangan Morisson menjadikan band tersebut salah satu kelompok musik terbesar dalam dunia rock and roll. Menurut majalah Rolling Stone, Jim Morrisson merupakan salah satu dari 100 penyanyi terbesar sepanjang masa.
Salah satu kontroversi besar yang telah dilakukan Jim Morrison adalah saat ia tampil di Dinner Key Auditorium, Miami, pada 1 Maret 1969. Dia menunjukkan bagian tubuhnya yang vulgar kepada para penonton. Pada Agustus 1970, Jim menyerahkan diri ke FBI dan dinyatakan bersalah atas penggaran minor berupa mabuk-mabukan dan berbuat asusila (melalui bahasa dan kelakuan). Namun, menurut penabuh drum The Doors, Jim tidak melakukan perbuatan tersebut di konser Miami itu.

Jim Morrison meninggal dalam 27 tahun di Paris, pada 3 Juli 1971. Pacar Jim, Pamella Courson menemukan jenazah Jim di dalam bak mandi. Diduga penyebab kematian Jim Morriso adalah akibat serangan jantung. Beberapa kemungkinan penyebab kematian Jim telah dikemukakan berbagai sumber. Salah satunya berasal dari Sam Bernett, seorang pengelola klub malam di Paris, menyatakan bahwa ia menyaksikan Jim meninggal akibat overdosis heroin di toilet klub miliknya.Berhubung tidak dilakukan otopsi pada jenazahnya, maka penyebab kematian sebenarnya tersebut tidak pernah diketahui secara pasti. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Pére-Lachaise, Paris.

Shifting Social and Cultural Tourism

Shifting Social and Cultural Tourism
By: M. Zamroni, M.H.I

Paradigm of development in many countries is now more oriented to the development of services and industry sectors, including the tourism industry. Similarly, taking place in Indonesia in the last three decades, the tourism sector activity has been encouraged and responded to positively by the government in hopes of replacing oil and gas sector which has been excellent in the foreign exchange income. The tourism sector is quite promising to assist in raising foreign exchange reserves and pragmatically also able to increase incomes. National situation is now beginning to show progress toward political stability, especially in the field of security and trust will provide guarantees to foreign tourists to enter the territory of Indonesia.
Prospect of Indonesia's tourism industry predicted the WTO will be more brilliant, with estimates in 2010 will grow up to 4.2% per year. Besides the national tourism industry sector contributing to national development programs. For example, in 1999 the tourism sector directly generate foreign exchange amounting to U.S. $ 4.7 million, and accounted for 9.61% of GDP and absorbs 8% of the national workforce (6.6 million people) in the same year. In addition to the factors above, the tourism industry also has a unique character, that the tourism sector provides a chain effect (multiplier effect) of the income distribution of the population in the area around tourism, elastic to the national crisis that occurred in the sense of not being too affected by the financial crisis in the country, environmentally friendly as well as the fact that the tourism industry is an industry that non-conflict.
Interaction and Social Change.
Tourism is sosiolosis consists of three interactions namely business interactions, the interaction of political and cultural interaction (B. Sunaryo, 2000). Business interactions are interactions where economic activity is the material basis and the measures it uses are the measures that are economic. Political interactions are interactions in which culture can create a dependency relationship from one culture to another culture or in other words can lead to dependency of a nation against another nation that is triggered by the activities of tourism activity contiguity with a state of existential activity. While cultural interaction is a form of relationship in which the socio-cultural base which became their capital. In the cultural dimension of interaction made possible a meeting between two or more residents of the supporting elements of different cultures. This meeting resulted in mutual touch, mutual influence and reinforce each other so they can form a new culture, without ignoring the existence of the interaction of business and political interaction.
Departing from the understanding that the model used for the development of tourist areas are open model it means it was likely to come into contact with the tourism activities of community activities around the area of ​​tourism. These contacts can not be limited by any power let alone supported by the means of support that allows mobility of society. Contacts are most likely to occur is the contact between the surrounding community with visitors or tourists. Communities around the role as providers of services the needs of tourists.
Contact this event will lead to massive keterpengaruhan on behavior, life style and culture of local communities. According Soekandar Wiraatmaja (1972) is a social change is the change in social processes or the structure of society. While cultural change is more spacious and include all aspects of culture, such as beliefs, knowledge, language, technology, etc.. Changes made easier by the existence of contacts with other cultures which will eventually happen diffusion (mixing of cultures). We see for example how a shift in cultural life of communities around the area of ​​Borobudur temple which was originally based in an agrarian life activities (farming) shifted into the community of traders and sellers services.
Thus in terms of dimensions of cultural tourism can foster an interaction between a traditional agrarian society to modern industrial society. Through the process of interaction that then allows the existence of a pattern of mutual influence that will ultimately affect the structure or patterns of cultural life of society, especially communities that host. From the structural dimensions of culture, tourism industries activity allows the occurrence of a change in cultural patterns resulting from the acceptance of society will beyond cultural patterns brought by the traveler. Patterns outside this culture expressed through behavior, dress, language usage and consumption patterns adopted from the tourists who come to visit.
If the level of tourist arrivals massifitas is high enough then there is the possibility of "marriage" between two elements of different cultures. Of meetings or communications between supporters of different cultures, will appear impersonator-impersonator certain behaviors or certain patterns of behavior emerge. Mimic the actions of others is the reasonableness of a human being. This action could be born because of a particular purpose, and can be driven by aspects of awareness or because the impulses that are emotional. That is, an individual may imitate the behavior of another person just because he saw that the behavior displayed by the other person look beautiful or look more modern. Imitate actions or commonly referred to as action imitation can occur if there is imitated. Here the dominant emotional factors play because someone will not think about whether such behavior imitated agree or disagree with her circumstances. In other words, the person does not have time to think about the appearance-appearance is most likely to come to the surface, which is important for him is "I want like a tourist because I thought it was cool tourist".
Subsequent contact between tourists with host communities is verbal communication. Contacts between host communities and tourists requires an intermediary or conduit or tool that is able to establish understanding between both parties, intermediaries or media is language, language becomes the determinant factor. Finally, the community re-motivated to be a foreign language. Encouragement comes not merely because of motifs related to such correspondence or another, but rather due to economic factors, to be communicative in marketing their wares (both souvenir products, services of a guide, etc.). This means there has been a pattern of cultural change towards a positive direction is to enrich the ability of communities, especially in the field of language.
Similarly the emergence of hotels, cafes, and souvenir shops around the tourist area is a variable that helped explain what the cause of social change and cultural attractions around the area. With the various support facilities for tourism, the community must be aware of the existence of a pattern / system of a commercial inn, with the cafes and shops, traditional market logic will be slightly displaced from the sales pattern bargaining model with a model of fixed prices.
Social and Cultural Resilience
Thus more or less a shift in culture and social order in communities around the tourist area. This means that the old cultures that undergo a process of adaptation caused by the interaction with the traveler is. This is possibly also due to the nature of culture itself dynamically to changes that occur.
Tourism with all this activity has indeed been able to provide a significant influence for change in society, both economically, socially and culturally. It requires more attention from policy makers to reconsider the tourism sector development patterns around the tourist areas so that people can feel the benefits more. In other words how to make a tourist area that is able to open opportunities as a subject of active public involvement in the activities of the tourism industry not just as an object. As well as a note, that the human factor and the local cultural entities should not be overlooked, that public life should not be uprooted from their cultural roots only because of the emphasis on commercial aspects of tourism. At any rate, not to ignore the emphasis on economic aspects of other dimensions such as socio-cultural dimensions of resilience, because of recent developments from the world of tourism is a massive shift of interest of tourists from tourism to etnic tourism, unique tours are very concerned with the original character of the local community.

Pariwisata dan Pergeseran Sosial Budaya
Oleh: M. Zamroni, M.H.I
Paradigma pembangunan di banyak negara kini lebih berorientasi kepada pengembangan sektor jasa dan industri, termasuk di dalamnya adalah industri pariwisata. Demikian juga halnya yang berlangsung di Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir, aktivitas sektor pariwisata telah didorong dan ditanggapi secara positif oleh pemerintah dengan harapan dapat menggantikan sektor migas yang selama ini menjadi primadona dalam penerimaan devisa negara.  Sektor pariwisata memang cukup menjanjikan untuk turut membantu menaikkan cadangan devisa dan secara pragmatis juga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Situasi nasional yang kini mulai memperlihatkan perkembangan ke arah kestabilan khususnya dalam bidang politik dan keamanan akan memberikan jaminan kepercayaan kepada wisatawan asing untuk masuk ke wilayah Indonesia.
Prospek industri pariwisata Indonesia diprediksikan WTO akan semakin cemerlang, dengan perkiraan pada tahun 2010 akan mengalami pertumbuhan hingga 4,2% per tahun. Selain itu sektor industri pariwisata nasional memberikan kontribusi nasional bagi program pembangunan. Sebagai contoh, pada tahun 1999 sektor pariwisata menghasilkan devisa langsung sebesar US$ 4,7 juta, serta menyumbang 9,61% pada PDB dan menyerap 8% angkatan kerja nasional (6,6 juta orang) pada tahun yang sama. Selain faktor-faktor di atas, industri pariwisata juga memiliki karakter unik, bahwa sektor pariwisata memberikan efek berantai (multiplier effect) terhadap distribusi pendapatan penduduk di kawasan sekitar pariwisata, elastis terhadap krisis nasional yang terjadi dalam arti tidak terlalu terpengaruh oleh krisi keuangan dalam negeri, ramah lingkungan serta kenyataan bahwa industri pariwisata merupakan industri yang nir konflik.
Interaksi dan Perubahan Sosial
Pariwisata secara sosiolosis terdiri atas tiga interaksi yaitu interaksi bisnis, interaksi politik dan interaksi kultural (B. Sunaryo, 2000).  Interaksi bisnis adalah interaksi di mana kegiatan ekonomi yang menjadi basis materialnya dan ukuran-ukuran yang digunakannya adalah ukuran-ukuran yang bersifat ekonomi.  Interaksi politik adalah interaksi di mana hubungan budaya dapat membuat ketergantungan dari satu budaya terhadap budaya lain atau dengan kata lain dapat menimbulkan ketergantungan suatu bangsa terhadap bangsa lain yang dipicu oleh kegiatan persentuhan aktivitas pariwisata dengan aktivitas eksistensial sebuah negara.  Sedangkan interaksi kultural adalah suatu bentuk hubungan di mana basis sosial budaya yang menjadi modalnya. Dalam dimensi interaksi kultural dimungkinkan adanya pertemuan antara dua atau lebih warga dari pendukung unsur kebudayaan yang berbeda.  Pertemuan ini mengakibatkan saling sentuh, saling pengaruh dan saling memperkuat sehingga bisa terbentuk suatu kebudayaan baru, tanpa mengabaikan keberadaan interaksi bisnis dan interaksi politik.
Berangkat dari pemahaman bahwa model yang digunakan untuk pengembangan kawasan wisata adalah model terbuka maka berarti tidak tertutup kemungkinan akan terjadi kontak antara aktivitas kepariwisataan dengan aktivitas masyarakat sekitar kawasan wisata.  Kontak-kontak ini tidak bisa dibatasi oleh kekuatan apapun apalagi ditunjang dengan adanya sarana pendukung yang memungkinkan mobilitas masyarakat.  Kontak yang paling mungkin terjadi adalah kontak antara masyarakat sekitar dengan pengunjung atau wisatawan.  Masyarakat sekitar berperan sebagai penyedia jasa kebutuhan wisatawan.
Kontak ini apabila terjadi secara massif akan mengakibatkan keterpengaruhan pada perilaku, pola hidup dan budaya masyarakat setempat. Menurut Soekandar Wiraatmaja (1972) yang dimaksud dengan perubahan sosial adalah perubahan proses-proses sosial atau mengenai susunan masyarakat.  Sedangkan perubahan budaya lebih luas dan mencakup segala segi kebudayaan, seperti kepercayaan, pengetahuan, bahasa, teknologi, dsb.  Perubahan dipermudah dengan adanya kontak dengan lain-lain kebudayaan yang akhirnya akan terjadi difusi (percampuran budaya). Kita lihat misalnya bagaimana terjadinya pergeseran kultur kehidupan masyarakat sekitar kawasan Candi Borobudur yang semula berbasis dengan aktivitas kehidupan agraris (bertani) bergeser menjadi masyarakat pedagang dan penjual jasa.
Dengan demikian pariwisata ditinjau dari  dimensi kultural dapat menumbuhkan suatu interaksi antara masyarakat tradisional agraris dengan masyrakat modern industrial. Melalui proses interaksi itu maka memungkinkan adanya suatu pola saling mempengaruhi yang pada akhirnya akan mempengaruhi struktur kehidupan atau pola budaya masyarakat khususnya masyarakat yang menjadi tuan rumah.  Dari dimensi struktural budaya, aktivitas industri pariwisata  memungkinkan  terjadinya suatu perubahan pola budaya masyarakat yang diakibatkan oleh penerimaan masyarakat akan pola-pola kebudayaan luar yang dibawa oleh para pelancong. Pola-pola kebudayaan luar ini terekspresikan melalui tingkah laku, cara berpakaian, penggunaan bahasa serta pola konsumsi yang diadopsi dari wisatawan yang datang berkunjung.
Apabila tingkat massifitas kedatangan turis ini cukup tinggi maka ada kemungkinan terjadi “perkawinan” antara dua unsur kebudayaan yang berbeda. Dari pertemuan atau komunikasi antar pendukung-pendukung kebudayaan yang berbeda tersebut, akan muncul peniru-peniru perilaku tertentu atau muncul pola perilaku tertentu.  Meniru tindakan orang lain adalah kewajaran dari seorang manusia.  Tindakan ini bisa lahir karena tujuan-tujuan tertentu, dan bisa jadi karena terdorong oleh aspek kesadaran ataupun karena dorongan-dorongan yang sifatnya emosional. Artinya, seseorang individu  bisa saja meniru perilaku orang lain hanya karena dia melihat bahwa perilaku yang ditampilkan oleh orang lain tersebut nampak indah atau nampak lebih modern.  Tindakan meniru atau yang biasa disebut dengan tindakan imitasi bisa terjadi jika ada yang ditiru. Di sini faktor emosional dominan bermain karena seseorang tidak akan memikirkan apakah perilaku yang ditiru tersebut sesuai atau tidak dengan keadaaan dirinya. Dengan kata lain, orang tersebut tidak sempat lagi untuk memikirkan kenampakan-kenampakan yang paling mungkin untuk muncul ke permukaan, yang penting bagi dia adalah “aku ingin seperti turis itu karena aku menganggap turis itu keren”.
Kontak selanjutnya antara wisatawan dengan masyarakat tuan rumah adalah komunikasi verbal. Kontak antara masyarakat tuan rumah dengan wisatawan membutuhkan suatu perantara atau media atau alat yang mampu menjalin pengertian antara kedua belah pihak, perantara atau media tersebut adalah bahasa, bahasa menjadi faktor determinan. Akhirnya masyarakat kembali terdorong untuk bisa berbahasa asing. Dorongan itu muncul bukan semata-mata karena motif ingin berhubungan misalnya korespondensi atau yang lain, melainkan lebih disebabkan karena faktor ekonomi, untuk dapat komunikatif dalam memasarkan dagangannya (baik produk souvenir, jasa menjadi guide, dll). Ini berarti telah terjadi pola perubahan budaya masyarakat menuju ke arah yang positif yaitu memperkaya kemampuan masyarakat khususnya dalam bidang bahasa.
Demikian pula kemunculan hotel, cafe, maupun toko-toko cinderamata di sekitar kawasan wisata adalah variabel yang turut membantu menjelaskan apa yang menjadi penyebab terjadinya perubahan sosial budaya masyarakat sekitar kawasan wisata.  Dengan adanya berbagai sarana penunjang pariwisata itu masyarakat menjadi paham akan adanya pola / sistem penginapan yang bersifat komersial,  dengan adanya cafe dan toko, logika pasar tradisional akan sedikit tergeser dari pola penjualan dengan model tawar-menawar menjadi model harga pas.
Ketahanan Sosial Budaya
Dengan demikian sedikit banyak telah terjadi pergeseran budaya dan tatanan sosial di masyarakat sekitar kawasan wisata.  Artinya budaya-budaya lama itu mengalami proses adaptasi yang diakibatkan oleh adanya interaksi dengan para pelancong tersebut.  Hal itu dimungkinkan juga karena sifat dari budaya itu sendiri yang dinamis terhadap perubahan yang terjadi.
Pariwisata dengan segala aktivitasnya memang telah mampu memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi perubahan masyarakat baik secara ekonomi, sosial maupun budaya.  Hal itu menuntut adanya perhatian yang lebih dari para pengambil kebijakan sektor pariwisata untuk mempertimbangkan kembali pola  pengembangan kawasan wisata agar masyarakat sekitar lebih dapat merasakan manfaatnya.  Dengan kata lain bagaimana membuat suatu kawasan wisata yang mampu membuka peluang pelibatan aktif masyarakat sebagai subyek dalam kegiatan industri pariwisata bukan hanya sekedar sebagai obyek.  Sekaligus menjadi catatan, bahwa faktor kemanusiaan dan entitas budaya lokal tidak boleh diabaikan, artinya kehidupan masyarakat tidak boleh tercerabut dari akar budayanya hanya karena adanya penekanan segi komersial dari tourism. Pun juga, jangan sampai penekanan pada aspek ekonomi mengabaikan dimensi lain seperti dimensi ketahanan sosial budaya, karena perkembangan mutakhir dari dunia kepariwisataan adalah beralihnya minat wisatawan dari massive tourism ke  etnic tourism, wisata-wisata unik yang sangat peduli pada karakter asli masyarakat setempat.

DREAM

DREAM COME TRUE
Oleh: M. Zamroni, M.H.I


Dreams are successions of images, ideas, emotions, and sensations that occur involuntarily in the mind  during certain stages of sleep.

Mimpi adalah suksesi gambar, ide, emosi, dan sensasi yang terjadi tanpa sengaja dalam pikiran selama tahap-tahap tertentu dari tidur.

The habit of delay from time to time, can make someone who was originally excited to dream, to lose the passion, direction, goals and ran away from what's become of his dreams. Therefore, the actual delay will only bury the opportunities that exist for a chance to realize the dream.

Therefore, the ideal would be a mirage forever if we do not start with a plan! And, above all, a plan without action is also only going to be a mere hoax.

Come, while there is still time, use the best time to arrange our lives and seize the opportunity, for the sake of reaching aspiration.

Kebiasaan menunda dari waktu ke waktu, dapat membuat seseorang yang pada awalnya bersemangat bermimpi, akan kehilangan gairah, arah, tujuan dan berlari menjauh dari apa yang menjadi impiannya. Sebab, menunda sebenarnya hanya akan mengubur kesempatan demi kesempatan yang ada untuk mewujudkan impian.

Karena itu, cita-cita selamanya akan menjadi khayalan belaka jika kita tidak memulainya dengan rencana! Dan, yang utama, rencana tanpa tindakan nyata juga hanya akan jadi bualan semata.

Mari, selagi masih ada waktu, gunakan sebaik-baiknya waktu kita untuk menyusun kehidupan dan meraih kesempatan, demi menggapai cita-cita.



As we know, since some time in elementary school to finally sit at the high school, said the ideals in public most of us are hard to mention it. Unlike most of us when TK is more daring to mention it.

According to Ari Wibowo, an alumni of my high school which is currently occupied, it's natural. Since the time when the kindergarten, our imagination more than the elementary-school play.

When kindergarten we were taught drawing and all kinds so that our right brain develops. When in elementary-high school, left brain tends to be more developed. We learn to count, mengahafal, and some left-brain development activities.

These ideals are a dream, and dreams, it is necessary. Because dreams, will also affect what we think and we are doing in the process of achievement.

Ari Kak also gave me one of the success formula, ie do x be = have. Where do is what we do, be is what we think, and have the results we have. The larger do and be, the greater the results that we have.

Stay always remember your ideals (right brain continues to develop), do not be afraid to mention it.

Seperti kita ketahui, semenjak agak lama di SD sampai akhirnya duduk di SMA, menyebutkan cita-cita di depan umum kebanyakan dari kita sukar menyebutkannya. Berbeda saat TK kebanyakan kita lebih berani menyebutkannya.

Menurut Ari Wibowo, alumni SMA yang saya duduki saat ini, wajar saja. Karena saat ketika TK, imajinasi kita lebih bermain ketimbang SD-SMA.

Ketika TK kita diajari gambar dan segala macam sehingga otak kanan kita berkembang. Ketika di SD-SMA, otak kiri cenderung lebih dikembangkan. Kita belajar menghitung, mengahafal, dan beberapa kegiatan pengembangan otak kiri.

Cita-cita itu adalah sebuah impian, dan impian, itu perlu. Karena impian, akan juga berpengaruh dengan apa yang kita pikirkan dan kita lakukan dalam proses pencapaiannya.
Kak Ari juga memberi saya salah satu rumus sukses, yaitu do x be = have. Dimana do adalah apa yang kita lakukan, be adalah yang kita pikirkan, dan have adalah hasil yang kita miliki. Semakin besar do dan be, maka semakin besar hasil yang kita miliki.

Tetap ingat selalu cita-cita anda (kembangkan terus otak kanan), jangan takut-takut untuk menyebutkannya.

According to John, the difference between the ideals and dreams are the ideals of a dream which is accompanied by action, and also in the given time limit. So if we dream to become a successful netpreneur, yes ... must be accompanied actions do not just wishing it. And do not forget to give a target date, so we have a timeline when it is we want terealiasasi. While the dream is a wish that no follow-up.

John provides a feature for people who only had a dream but not serious to make it happen. The most dominant characteristic is the person usually use the word "Hope", "Someday" when talking about the desire or dream.

Well I was thinking, "I was among those who where you?". Keliatannya I am also just a dreamer who only had a desire without being accompanied action.

Menurut John, beda antara cita-cita dan impian adalah cita-cita merupakan Impian yang disertai dengan tindakan dan juga di berikan batas waktu. Jadi kalau kita bermimpi untuk menjadi netpreneur yang sukses, ya… harus di sertai tindakan jangan cuma berandai-andai saja. Serta jangan lupa di berikan target waktu sehingga kita punya timeline kapan hal tersebut kita inginkan terealiasasi. Sedangkan impian adalah sebuah keinginan yang tidak ada tindak lanjutnya.

John memberikan satu ciri buat orang-orang yang hanya mempunyai mimpi tapi tidak serius untuk mewujudkannya. Ciri yang paling dominan adalah orang tersebut biasanya memakai kata “Saya harap”, “Suatu hari nanti” ketika membicarakan keinginan atau impiannya.

Wah saya pun jadi berpikir, “Saya ini termasuk orang yang mana ya?”. Keliatannya saya juga hanya seorang pemimpi yang hanya mempunyai keinginan tanpa di sertai tindakan.

Rencana Proses Perkuliahan

RENCANA PROSES PERKULIAHAN

Mata Kuliah                : Filsafat Modern
Komponen                  : Mata Kuliah Inti
Fakultas                      : Usuluddin
Jurusan/Prodi              : Aqidah-Filsafat
Program                      : Strata Satu (S.1)
Bobot                         : 2 SKS
Pertemuan ke              : -2
Pengampu                   : Muhamad. Zamroni, M.H.I

A. Kompetensi Dasar :
Memahami  dan menjelaskan karakteristik filsafat modern
B. Hasil Belajar
Mahasiswa mampu memahami
1. Karakter rasional dalam filsafat modern
2. Karakter empiris dalam filsafat modern
3. Karakter kritis dalam filsafat modern
4. Karakter posotif dalam filsafat modern
5. Karakter objektif dalam filsafat modern
C. Indikator
Mahasiswa  dapat
1. Menerangkan prinsip-prinsip dasar karakter rasional dalam filsafat modern
2. Menerangkan prinsip-prinsip dasar karakter empiris dalam filsafat modern
3. Menerangkan prinsip-prinsip dasar karakter kritis dalam filsafat modern
4. Menerangkan prinsip-prinsip dasar karakter positif dalam filsafat modern
5. Menerangkan prinsip-prinsip dasar karakter objektif dalam filsafat modern
D. Materi Pokok
I. Prinsip-prinsip dasar karakter rasional dalam filsafat modern
II. Prinsip-prinsip dasar karakter empiris dalam filsafat modern
III. Menerangkan prinsip-prinsip dasar karakter kritis dalam filsafat modern
IV. Menerangkan prinsip-prinsip dasar karakter positif dalam filsafat modern
V. Menerangkan prinsip-prinsip dasar karakter objektif dalam filsafat modern
E. Strategi dan Metode Pembelajaran
Dalam kuliah Filsafat Modern ini digunakan strategi dan metode pembelajaran yang dititik beratkan pada kuliah aktif, pembacaan dan kajian teks, diskusi, penugasan, dan riset perpustakaan.
F. Sumber Belajar 
I. Sumber pokok
1. Buku buku filsafat
2. Jurnal-jurnal filsafat
3. Hand Out
4. Power Point
G. Penilaian :
1. UTS
2. Tugas Makalah
3. UAS
4. Diskusi

Kompetensi Dasar :
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan ruang lingkup studi Islam
Materi Pokok    :   Pengertian studi Islam, baik secara etimologis dan terminologis; Islam sebagai obyek kajian, serta Islam normatif dan Islam historis
Referensi           :  M. Amin Abdullah dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural
                              M. Amin Abdullah dkk, Studi Agama : Normativitas-Historisitas
Atho' Mudzhar, Metodologi Studi Islam
Richard Martin, Approaches to Islam and Religious Studies
Stephen Humpreys, Islamic History.: A Framework for Inquiry
Taufiq Abdullah dan Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama : Sebuah Pengantar
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek
Issa J. Boullata (ed.), An Antology of Islamic Studies
Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam
Kuliah II.
Kompetensi Dasar :
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan sejarah perkembangan studi Islam.

Materi Pokok    :   Perkembangan studi Islam di Dunia Islam, perkembangan studi Islam di Dunia Barat, dan perkembangan studi Islam di Indonesia

Referensi           :  M. Amin Abdullah dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural
                              M. Amin Abdullah dkk, Studi Agama : Normativitas-Historisitas
Atho' Mudzhar, Metodologi Studi Islam
Richard Martin, Approaches to Islam and Religious Studies
Stephen Humpreys, Islamic History.: A Framework for Inquiry
Taufiq Abdullah dan Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama : Sebuah Pengantar
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek
Issa J. Boullata (ed.), An Antology of Islamic Studies
Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam

Kuliah III
Kompetensi Dasar :
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan sumber studi Islam.
Materi Pokok    :   al-Qur'an dan as-Sunnah

Referensi           :   M. Amin Abdullah dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural
                              M. Amin Abdullah dkk, Studi Agama : Normativitas-Historisitas
Atho' Mudzhar, Metodologi Studi Islam
Richard Martin, Approaches to Islam and Religious Studies
Stephen Humpreys, Islamic History.: A Framework for Inquiry
Taufiq Abdullah dan Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama : Sebuah Pengantar
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek
Issa J. Boullata (ed.), An Antology of Islamic Studies
Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam
Kuliah IV.
Kompetensi Dasar :
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan disiplin keilmuan dalam Islam dalam rumpun Bayani

Materi Pokok    :   Ilmu Bahasa, fiqih, usul fiqih, dan Kalam

Referensi           :   M. Amin Abdullah dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural
                              M. Amin Abdullah dkk, Studi Agama : Normativitas-Historisitas
Atho' Mudzhar, Metodologi Studi Islam
Richard Martin, Approaches to Islam and Religious Studies
Stephen Humpreys, Islamic History.: A Framework for Inquiry
Taufiq Abdullah dan Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama : Sebuah Pengantar
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek
Issa J. Boullata (ed.), An Antology of Islamic Studies
Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam
Kuliah V.
Kompetensi Dasar :
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan disiplin keilmuan dalam Islam dalam rumpun Burhani

Materi Pokok    :   Filsafat, Ilmu-ilmu Kealaman, Ilmu Riyadliyat, Ilmu Falak, Geografi, Ilmu-ilmu Sosial

Referensi          :   M. Amin Abdullah dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural
                              M. Amin Abdullah dkk, Studi Agama : Normativitas-Historisitas
Atho' Mudzhar, Metodologi Studi Islam
Richard Martin, Approaches to Islam and Religious Studies
Stephen Humpreys, Islamic History.: A Framework for Inquiry
Taufiq Abdullah dan Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama : Sebuah Pengantar
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek
Issa J. Boullata (ed.), An Antology of Islamic Studies
Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam
Kuliah VI.
Kompetensi Dasar
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan disiplin keilmuan dalam Islam dalam rumpun Irfani

Materi Pokok    :   Tasawuf dan Akhlaq

Referensi           :  M. Amin Abdullah dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural
                              M. Amin Abdullah dkk, Studi Agama : Normativitas-Historisitas
Atho' Mudzhar, Metodologi Studi Islam
Richard Martin, Approaches to Islam and Religious Studies
Stephen Humpreys, Islamic History.: A Framework for Inquiry
Taufiq Abdullah dan Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama : Sebuah Pengantar
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek
Issa J. Boullata (ed.), An Antology of Islamic Studies
Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam
Kuliah VII.
Kompetesi Dasar
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pendekatan studi Islam

Materi Pokok    :   Pendekatan Normatif, Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora, serta Pendekatam Imterdisipliner

Referensi           :  M. Amin Abdullah dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural
                              M. Amin Abdullah dkk, Studi Agama : Normativitas-Historisitas
Atho' Mudzhar, Metodologi Studi Islam
Richard Martin, Approaches to Islam and Religious Studies
Stephen Humpreys, Islamic History.: A Framework for Inquiry
Taufiq Abdullah dan Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama : Sebuah Pengantar
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek
Issa J. Boullata (ed.), An Antology of Islamic Studies
Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam     
      Kuliah VIII
Kompetesi Dasar
Mahasiswa mampu mengaplikasikan pendekatan studi Islam dalam isu-isu aktual

Materi Pokok    :   Isu-isu aktual

Referensi           :  M. Amin Abdullah dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural
                              M. Amin Abdullah dkk, Studi Agama : Normativitas-Historisitas
Atho' Mudzhar, Metodologi Studi Islam
Richard Martin, Approaches to Islam and Religious Studies
Stephen Humpreys, Islamic History.: A Framework for Inquiry
Taufiq Abdullah dan Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama : Sebuah Pengantar
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek
Issa J. Boullata (ed.), An Antology of Islamic Studies
Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam
Kuliah IX-XII.
Evaluasi Tengah Semester

Kuliah X-XII.
Seminar Kelas

Kuliah XIII.
Review dan Evaluasi Perkuliahan

Kuliah XIV.
Evaluasi Akhir Semester


                                                                 Dosen Pengampu



                                                                 Muhamad. Zamroni, M.H.I