Minggu, 29 April 2012

HATI


Hati yang Malu
Oleh: M. Zamroni

Suatu hari, demikian dikisahkan, seorang lelaki mendatangi Imam Hambali (780-855). Ia lelaki yang banyak bergelimang maksiat. Tiba-tiba ia datang ke majelis pengajian Imam Hambali untuk menceritakan mimpinya.
Dalam mimpi itu, kata lelaki itu, ia merasa tengah berada dalam kerumunan manusia yang ada di hadapan Rasulullah SAW. Rasul tampak berada di tempat yang agak tinggi. Satu per satu, orang-orang mendatangi Rasul dan berkata, "Do'a_kan saya ya Rasulullah." Rasul pun mendoakan orang-orang itu.
"Akhirnya tinggal aku sendiri," kata lelaki yang menceritakan mimpinya itu. "Aku pun sangat ingin mendatangi beliau, tapi aku malu atas berbagai maksiat yang telah kulakukan. Rasul lalu berkata,"Mengapa kau tidak datang kepadaku dan minta kudo'a_kan?"
"Wahai Rasulullah," kata lelaki itu, "Aku terhalang oleh rasa malu akibat perbuatan-perbuatan burukku di masa lalu." "Kalau engkau merasa terhalang oleh rasa malu, berdirilah dan mintalah agar aku mendo'akanmu. Bukankah engkau tak pernah menghina para sahabatku," jawab Rasul dalam mimpi tersebut.
Itu hanya sebuah kisah kecil dari pergulatan panjang umat manusia meninggalkan kemaksiatan untuk hijrah ke bumi kebaikan. Perjumpaan serta dialog dengan Rasul pun hanya ada dalam mimpi, bukan dalam kenyataan. Mimpi bukanlah dasar yang kukuh untuk dijadikan pegangan, walau para pecinta sejati Rasulullah meyakini bahwa mimpi bertemu Rasulullah adalah sama dengan pertemuan yang sebenarnya, dan mimpi seperti itu hanya mungkin dialami oleh mereka yang mendapat syafaat.
Tapi Imam Hambali menghargai keterangan lelaki pendosa tersebut. Laki-laki itu punya rasa malu atas perbuatan-perbuatan buruknya. Rasa malu itu yang mencegahnya terperosok semakin dalam ke jurang kemaksiatan, dan malah mengangkatnya ke dataran kebaikan. Mimpi itu adalah jalan yang mengantarkannya menuju pertobatan dengan menemui Imam Hambali. Maka, Imam Hambali pun berkata pada lelaki itu untuk menyebarkan kisah tersebut agar memberi kemanfaatan pada orang-orang lain.
Di dalam perjalanan manusia sebagai hamba untuk mendekat pada Sang Kekasih, Allah Azza Wajalla, rasa malu baru merupakan tangga yang pertama. Masih sangat jauh dari perwujudan rasa cinta yang semestinya. Tapi, apa yang membuat kita dapat mencapai tangga ke-99 bila tangga pertama pun kita tak sanggup menapakinya? Bukankah kita tak melupakan petunjuk Rasulullah bahwa "Malu adalah sebagian dari iman."
Rasul sekalipun menggenggam rasa malu di hadapan Allah Sang Maha Penyayang. Setidaknya itu tercetus dalam kisah Mi'raj, saat Muhammad SAW menerima perintah secara langsung agar umatnya menegakkan salat. Konon, mula-mula Allah memerintahkan salat 50 kali dalam sehari. Rasulullah sempat menyanggupi, namun Rasul lain yang ditemui dalam perjalanan gaib tersebut mengingatkannya bahwa tugas itu terlalu berat bagi umat Muhammad.
Rasul pun meminta keringanan sehingga tugas diturunkan lima kali. Masih terlalu berat, Rasul meminta keringanan lagi. Demikian terus-menerus hingga kewajiban salat hanya lima kali sehari. Saat itu, Muhammad SAW diingatkan bahwa lima kali sehari masih terlampau berat. Namun, Rasul telah malu hati untuk kembali mengajukan keringanan pada Allah SWT.
Hanya Allah yang Mahatahu seberapa benar kisah tersebut, tapi kisah itu telah menunjukkan peran malu dalam kehidupan ruhaniah Rasul. Punyakah kita rasa malu karena mengabaikan salat? Malukah kita karena hanya punya sedikit tabungan kebaikan dalam kehidupan ini.
Allah menyaksikan setiap langkah kita. Maka semestinya kita malu berbuat hal yang mubazir, apalagi maksiat, di hadapan-Nya. Semestinya kita malu tak cukup beribadah kepada-Nya. Semestinya kita malu bila tidak berkerja keras menyelesaikan amanat-masing-masing.
Semestinya kita malu tidak mensyukuri nikmat, menuntut kenaikan gaji dengan mengumpat-umpat bukan dengan meningkatkan kualitas kerja sendiri. Semestinya kita malu bila menjadi atasan tak mampu mengangkat nasib bawahan, dan sebagai pemimpin gagal menyejahterakan rakyat yang kita pimpin. Lazimnya, kita hanya malu untuk urusan duniawi di hadapan manusia lain, bukan urusan kebaikan di hadapan Tuhan.
Tokoh sufi Rabi'ah Al-Adawiyah juga mengungkapkan rasa malunya. Suatu saat, ia ditanya mengapa tidak minta pertolongan materi dari sahabat-sahabatnya. Rabi'ah menjawab tenang. "Aku malu kalau harus minta materi pada Allah, padahal Dialah pemilik segala materi. Apakah aku harus minta materi pada orang yang jelas bukan pemilik materi itu."
Suatu do'a acap dikumandangkan sebagai pujian di lingkungan pesantren. "Tuhanku, aku merasa tak pantas untuk mendapat surga-Mu. Tapi akupun tak sanggup menanggung azab neraka-Mu. Maka terimalah tobatku, maafkan segala dosaku. Sungguh Engkau adalah Pengampun Yang Maha Besar."
Rasa malu telah membuat seorang wali Allah memanjatkan do'a itu. Tidakkah kita malu bila tak mengikuti jalan yang telah ditempuh Rasulullah dan para wali Allah untuk menuju ke haribaan-Nya.

Sabtu, 28 April 2012

WANITA


WANITA :- AKAL SETIPIS RAMBUTNYA
Oleh: M. Zamroni, M.H.I

Jangankan lelaki biasa, Nabi pun terasa sunyi tanpa wanita.
Tanpa mereka, fikiran dan perasaan lelaki akan resah.
Masih mencari walau ada segalanya.
Apa yang tiada dalam syurga?
Namun adam tetap rindukan hawa.

Dijadikan wanita daripada tulang rusuk yang bengkok.
Untuk diluruskan oleh lelaki.
Tetapi seandainya lelaki itu sendiri tidak lurus,
Mana mungkin kayu yang bengkok menghasilkan bayang yang lurus.

Luruskanlah wanita dengan jalan yang ditunjuk oleh Allah,
Kerana mereka diciptakan sebegitu rupa oleh Allah.
Didiklah mereka dengan panduan darinya.
Jangan coba menjinakkan mereka dengan harta, kerana nantinya mereka semakin liar.
Janganlah hibur mereka dengan kecantikan, kerana nantinya mereka akan semakin derita.
Kenalkan mereka kepada Allah, zat yang kekal. Di situlah puncak kekuatan dunia.

Akal setipis rambutnya, tebalkanlah ia dengan ilmu.
Hati serapuh kaca, kuatkanlah ia dengan iman...
Perasaan selembut sutera, hiasilah ia dengan akhlak.


Suburkanlah ia kerana dari situlah nantinya...
Mereka akan melihat nilai dan keadilan Rab...
Bisikkan ke telinga mereka bahawa kelembutan bukan suatu kelemahan..
Ia bukan diskriminasi Allah...sebaliknya di situlah kasih dan sayang Allah...

Wanita yang lupa hakikat kejadiannya...
Pasti tidak akan terhibur, dan tidak akan menghiburkan...
Tanpa iman, ilmu dan akhlak..mereka tidak akan lurus...
Bahkan akan semakin membengkok...
Itulah hakikatnya andai wanita tidak kenal Rabbnya...

Bila wanita menjadi durhaka...pasti dunia lelaki akan menjadi huru hara....
Lelaki pula janganlah mengharapkan ketaatan semata-mata...
Tapi binalah kepemimpinan...
Pastikan sebelum wanita menuju ilahi, pimpinlah diri kepadanya...
Jinakkan diri kepada Allah...
Niscaya akan jinaklah segala-galanya di bawah pimpinanmu...
Janganlah mengharapkan isteri semulia Fatimah Az-Zahra'
Seandainya dirimu tidak sehebat saidina Ali karamallahuwajhah

Wallahua'lam..

PSIKOLOGI

HUKUMLAH ANAK, TETAPI…
Oleh: M. Zamroni, M.H.I
MUKADDIMAH
Segala puji hanya milik Allah Pencipta semesta alam, shalawat serta salam untuk Rasulullah Saw. terucap siang dan malam.
Dalam proses pendisiplinan dan pemberian hukuman kepada anak melahirkan masalah baru. Orang tua yang perhatian terhadap pendidikan anaknya akan terus berpikir tentang cara yang tepat untuk mendidik anaknya. Begitu juga mereka akan mencari cara yang paling berhasil dalam pemberian hukuman ketika anak berbuat salah dan kapan cara tersebut harus digunakan. Juga sejauh mana hukuman tersebut berpengaruh pada diri anak.
Berhubungan dengan permasalah itulah maka “Hukumlah Anak Tetapi...”. di dalamnya membahas tentang menghukum anak ketika berbuat salah, bagaimana pandangan Islam tentang hal tersebut, dan tentang tingkat hukuman. Semoga bermanfaat.

MAKNA SEBUAH HUKUMAN
Apakah hukuman itu?
Hukuman adalah sesuatu yang tidak diinginkan menimpa badan atau jiwa baik secara kongkrit maupun abstrak, langsung ataupun tidak langsung, dengan tujuan untuk mendorong anak untuk melakukan sesuatu yang baik, meninggalkan sesuatu yang jelek, untuk merubah anak atau pun meluruskannya, sesuai dengan yang diajarkan syariat. Dan sekiranya hukuman itu tidak diberikan, anak akan terus melakukan kesalahan dan tidak menjadi sadar.
Pemberian hukuman terdapat dalam syariat. At-Thabrani meriwayatkan:
أَنَّ رَجُلاً يُقَالُ لَهُ حَرِيٌّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُلَ اللهِ، إنَّ أَهْل] يَعْصِمُونِي.. فَبِمَ أُعَاقِبُهُمْ؟ قَالَ: تَعفُو، ثُمَّ قَالَ الثَانِيَّةَ حَتَّى قَالَها ثَلاَثًا.. قال: إنْ عَاقَبْتَ فَعَاقِبْ بِقَدْرِ الذَّنْبِ و اتَّقِ الوَجْهَ.
bahwa seseorang yang bernama Hariy datang kepada Nabi Saw. kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, keluarga saya menentang saya, dengan apa saya harus hukum mereka?”, beliau menjawab, “Maafkan saja”. Hariy pun mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali. Rasulullah Saw. menjawab, “Jika kamu ingin menghukumnya, maka hukumlah sesuai dengan kesalahan yang diperbuat dan jauhilah wajah”.
Sahabat tersebut bertanya kepada Nabi Saw. mengenai hukuman untuk anak atau isitrinya yang diperbolehkan oleh syariat Islam. Maka Nabi Saw menganjurkannya untuk memaafkan dan toleran terhadap kesalahan mereka. Tetapi jika ingin tetap menghukum, maka beliau memerintahkan untuk memberi hukuman yang sesuai dengan kesalahan yang dilakukan dengan syarat tidak dikenakan pada anggota badan yang terhormat yaitu wajah.

Pendapat mereka tentang hukuman
Ibnu Khaldun berkata di dalam bukunya Muqaddimah, “Orang yang dididik dengan kekerasan yang membuatnya tertekan justru (hukuman yang keras tersebut) akan menghilangkan semangatnya dan membuatnya menjadi malas. Mendorongnya untuk berbohong karena takut akan siksaan yang bisa menimpanya. Mengajarkan untuk menipu. Yang akhirnya itu semua menjadi akhlak buruk yang tertanam dalam dirinya sehingga hilanglah sifat kemanusiaan yang ada pada dirinya”.
Ibnu Sahnun berkata, “Hindarilah memberi hukuman berupa pukulan terutama pada kepala anak atau wajahnya, dan jangan pernah menghukum anak dalam keadaan marah”.
Sejarah pun mencatat, Khalifah Harus Ar-Rasyid pernah meminta kepa guru anaknya, “Didiklah dia sekuat tenagamu dengan lemah lembut. Namun jika dengan cara itu dia tidak mentaatimu, didiklah dia dengan tegas”.
Walupun hukuman itu dibolehkan sebagai metode dalam mendidik di dalam Islam, tetapi kita tidak boleh lupa bahwa yang utama ketika berinteraksi dengan anak-anak adalah penuh kasih sayang dan lemah lembut. Bukankah Allah Swt. telah berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”.(QS. 3:159).
قال رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَلِّمُوا وَ لاَ تَعْنفُوا فَإِنَّ المُعَلِّمَ خَيْرٌ مِنَ المعنف.
Rasulullah Saw. bersabda, "Mengajarlah dengan cara yang baik dan janganlah berbuat kekerasan, karena pengajar itu lebih baik dari pada pelaku kekerasan".

Amerika tanpa hukuman
Hukuman adalah wasilah untuk memperbaiki umat, mengobati penyakit bangsa, dan untuk mengevaluasi diri pribadi. Umat yang hidup tanpa memberikan hukuman kepada yang berbuat salah adalah umat yang rusak. Dan contoh yang paling tepat adalah bangsa Amerika. Para ahli pendidikan di sana sangat menghindari hukuman dan sangat tidak menyukainya. Hasilnya Presiden Kenedy pada tahun1962 meneriakkan, bahwa masa depan Amerika berada di ujung tanduk, karena para pemudanya telah rusak dan tenggelam dalam hawa nafsu dan tidak mampu untuk memikul tanggung jawab di pundaknya. Dari setiap tujuh orang yang ikut wajib militer, enam di antaranya berprilaku tidak baik. Karena terlepas dari tanggung jawab dan tuntutan moral membuat mereka rusak baik dari sisi fisik dan psikisnya.

Hal yang harus diperhatikan dalam pemberian hukuman
Dalam menggunakan berbagai macam metode hukuman kita harus ingat bahwa setiap anak mempunyai pribadi yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang cukup dengan isyarat saja, ada yang tidak takut kecuali dipelototi, ada yang bisa berubah setelah didiamkan (tidak ditanya.diajak bicara) beberapa lama, dan ada juga yang harus diberi hukuman dalam bentuk pukulan. Orang tualah yang paling tahu hukuman yang cocok untuk anaknya dari pengalaman selama berinteraksi dengan anak.
Demikian juga, kita tidak boleh lupa bahwa hukuman itu bermacam-macam sesuai dengan kesalahan yang dilakukan anak. Sebagian kesalahan, ada yang tidak layak untuk dihukum dan ada juga yang memang harus dihukum dengan hukuman yang keras agar kesalahannya tidak terulang kembali.



Jangan seperti ini
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، ((شَرُّ النَّاسِ الضَّيِّقُ عَلَى أَهْلِهِ)). قالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، و كَيْفَ يَكُونُ ضَيِّقًا عَلَى أَهْلِهِ؟ قَالَ: الرَجُلُ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ خَشِعَتْ امرَأَتَهُ وَ هَرَبَ وَلَدَهُ وَفَرَّ، فَإِذَا خَرَجَ ضَحِكَتْ امرَأَتَهُ وَ اسْتَأْنَسَ أَهْلُ بَيْتِهِ.
Rasulullah Saw. besabda, "Seburuk-buruknya manusia adalah orang yang membuat sempit terhadap keluarganya". Para sahabat bertanya, "Bagaimana seseorang bisa berbuat sempit terhadap keluarganya senidri , wahai Rasulullah?", beliau menjawab, "Seseorang yang apabila masuk ke rumahnya membuat istrinya merasa takut dan anaknya menjauh. Dan jika ia keluar rumah, istri dan anggota rumahnya merasa senang".
Itulah gambaran seorang ayah yang berwajah garang dan berhati keras yang membangun pemisah antara dirinya dengan anak-anaknya melalui sifat kerasnya itu. Setiap hari suasana di rumah selalu tegang. Dan Nabi Saw. mensifati orang yang seperti itu sebagai manusia yang paling jelek. Sedangkan orang tersebut menyangka bahwa dengan caranya yang keras itu bisa mendidik anak-anaknya untuk bisa serius dan sungguh-sungguh, padahal hasil apa yang akan di dapat dengan kekerasan seperti itu?
Ingat bahwa balasan dari perbuatan itu sesuai dengan perbuatannya. Karenanya, kekerasan hanya akan menghasilkan kebencian anak-anak. Dan ketika mereka tumbuh dewasa mereka akan membalasnya dengan cara yang lebih kasar.

Agar hukuman Anda membuahkan hasil
Jika Anda ingin hukuman yang Anda berikan membuahkan hasil, maka Anda harus memperhatikan beberapa hal di bawah ini:
-               Janganlah Anda melakukan sesuatu yang Anda larang untuk anak Anda, karena anak akan merasa disakiti dan hilang percaya dirinya.
-               Jangan hukum anak Anda di depan teman-temannya.
-               Jangan terlalu banyak mengancam hukuman tanpa pernah ada yang dilakukan karena anak akan menganggap remeh arti hukuman.
-               Jangan larang anak Anda menangis ketika dikenakan hukuman.
-               Jangan mengancam anak dengan sesuatu yang abstrak atau tidak ada, seperti menakut-nakutinya dengan hantu.
-               Anda harus terangkan kepada anak agar ia mengerti kenapa dirinya harus dihukum. Sehingga ia bisa menangkap adanya hubungan antara hukuman sebagai akibat dengan suatu pelanggaran sebagai sebab.
-               Jangan hukum anak Anda karena melakukan sesuatu yang tidak penting.
-               Tidak ada alasan untuk menghukum anak jika kejadiannya sudah terjadi lama.
-               Jangan pernah menantang anak ketika ia sedang dihukum sampai ia menunjukkan kekuatannya ketika menjalani hukuman karena itu bisa melahirkan sifat sombong.

Hati-hati dari mendoakan kejelekan untuk anak
Sebagian ibu ada yang menghukum anak mereka dengan mendoakan kejelekan untuk mereka, terlebih lagi dalam keadaan emosi dan marah yang sangat, atau juga saat tidak ada lagi pilihan hukuman dengan cara yang lain. Para ibu itu tidak sadar kalau Allah bisa saja mengabulkan doanya tersebut.
قال صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَ لاَ تَدْعُوا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ وَ لاَ تَدْعُوا عَلَى خَدَمِكُمْ وَ لاَ تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ، وَ لاَ تُوَافِقُوا مِنَ اللهِ سَاعَةً نِيْلَ فِيْهَا عَطَاءٌ، فَيَسْتَجِيْبُ لَكُمْ.
Rasulullah Saw. bersabda, "Janganlah kalian mendoakan yang jelek terhadap diri kalian sendiri, jangan juga kepada anak-anak kalian, pembantu kalian, dan harta yang kalian miliki. Karena bisa saja doa kalian itu terjadi pada waktu yang Allah jadikan mustajabnya doa, sehingga Dia mengabulkan doa kalian itu".

Apa yang harus dilakukan setelah hukuman?
Apabila orang tua melihat setelah anak diberi hukuman ia menjadi berubah (baik), maka orang tua harus bersikap ramah dan lemah lembut kepada anak. Orang tua harus mengganti hukuman yang telah diberikannya itu dengan rasa kasih sayang dan belaian yang menunjukkan bahwa mereka mencintainya. Itulah juga yang dicontohkan oleh Nabi Saw. saat Ka'ab bin Malik selesai menjalani hukuman atas ketidakikutsertaannya dalam perang Tabuk tanpa adanya halangan. Hukuman tersebut berupa diasingkan—tidak boleh diajak bicara ataupun menjawab omongannya—selama 50 hari. Maka ketika diumumkan bahwa Ka'ab telah diterima taubatnya (setelah selesai 50 hari). Orang-orang berduyun-duyun mengucapkan selamat kepadanya, ketika ia sedang dalam perjalanan menuju Rasulullah Saw.. Setelai sampai, ia mendapati Rasulullah dengan wajah berseri-seri dan penuh rasa bahagia. Beliau berkata kepada Ka'ab, "Aku beritakan kabar gembira untukmu bahwa hari hukumanmu telah berakhir".

Di bawah ini beberapa bentuk hukuman yang disyariatkan:
  1. Teguran
  2. Memberikan pengertian
  3. Menjauhkan apa yang disenangi anak
  4. Celaan
  5. Mendiamkan anak (tidak diajak bicara)
  6. Pukulan

TEGURAN YANG BAIK
Teguran adalah bentuk hukuman yang paling ringan. Imam Al-Ghazali pernah menerangkan hukuman dalam bentuk teguran ini sebagai cara untuk memperbaiki kesalahan anak, "Hendaklah orang tua menghukum anaknya tidak di hadapan orang lain. Dan katakanlah kepada anak, 'kamu tidak boleh melakukan hal itu lagi'. Juga jangan terlalu sering memberi teguran atau pun peringatan, karena jika anak terlalu sering mendengar peringatan dan ancaman ia jadi merasa rendah diri dan minder".

عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ بِسْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: بضعَثَنِيْ أُمِّي إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِقَطْفٍ من عِنَبٍ فَأَكَلتُهُ، فَقَالَتْ أُمِّي لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: هَلْ أَتَاكَ عََبْدُ اللهِ بِقَطْفٍ؟ قَالَ: لاَ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا رآنِي قَالَ: غُدَرٌ غُدَرٌ.
Dari Abdullah bin Bisr ia berkata, "Ibuku pernah menyuruhku untuk membawakan setandan anggur untuk Rasulullah Saw.. Tetapi, anggur itu aku makan di jalan. Ibuku bertanya kepada Rasulullah Saw., "Apakah Abdullah sudah sampai kepadamu dengan membawa setandan anggur untukmu?", beliau mejawab tidak. Maka ketika Rasulullah melihatku, beliau menegurku dengan mengatakan, "ghudar, ghudar (pengkhianat)".
Apa yang dilakukan oleh Nabi Saw. tersebut adalah sebagai usaha untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan seorang anak bernama Abdullah bin Bisr. Ketika ibunya menyuruhnya untuk membawa amanat untuk Rasulullah berupa setandan anggur. Tetapi sang anak tidak menyampaikan amanat tersebut dan malah memakan semua anggur yang dibawanya itu. Lalu apakah yang dilakukan Nabi Saw.? Nabi Saw. menegur anak tersebut atas kesalahannya dengan bentuk sindiran yang menyerupai canda. Ghudar artinya pengkhianat, Nabi Saw. mengatakan kata-kata itu kepada anak tersebut agar ia mengerti bahwa apa yang dilakukannya itu salah dan supaya ia tidak mengulanginya untuk yang kedua kalinya.

Kekerasan tidak ada manfaatnya
Dari apa yang telah disebutkan sebelumnya, jelaslah bagi kita bahwa bersikap keras dan kasar, seperti sering memukul, semuanya itu tidak ada manfaatnya. Karena ada cara lain yang penuh dengan kelemahlembutan untuk memperingati anak dari kesalahannya  yaitu dengan cara menegur dan menyindir, atau juga dengan cara membiarkan anak tanpa mengajaknya bicara beberapa waktu. Kekeraan hanya akan menjauhkan kita dari suasana keluarga yang penuh dengan cinta kasih dan sayang.

MEMBERIKAN PENGERTIAN
عَنْ رَافِعٍ بنِ عَمْرٍو الغِفَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال: كُنتُ غُلاَمًا أَرْمِي نَخْلَ الأَنْصَارِ، فَأُتِيَ بِيْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ لِي: لِمَ تَرْمِي النَخْلَ؟ قُلْتُ: لآكُلَ، فَقَالَ: لاَ تَرْمِ النَّخْلَ وَ كُلْ مَا سَقَطَ فِي أَسْفَلِهَا ثُمَّ مَسَحَ رَأْسِي، وَ قَالَ: اللهُمَّ أَشْبِعْ بَطْنَهُ.
Dari Rafi bin Amr Al-Ghifari, ia berkata, "Ketika aku masih kanak-kanak, aku pernah melempari pohon kurma milik kaum Anshar. Maka aku dibawa menghadap Rasulullah Saw.. Beliau bertanya kepadaku, "Kenapa kamu melempari pohon kurma itu?", aku menjawab, "Karena aku ingin memakannya". Beliau berkata, "Janganlah kamu melemparinya, makan saja yang sudah terjatuh ke tanah", kemudian beliau mengusap kepalaku sambil berkata, "Ya Allah kenyangkanlah perut anak ini".
Beginilah cara Rasulullah Saw. menghadapi seorang anak yang berusaha mencuri.
1.      Permasalahan: Seorang anak yang kelaparan melempari pohon kurma dengan batu agar ia bisa mengambil sebagian buahnya untuk ia makan. Sebagian orang menganggap itu sebagi pencurian sehingga membawanya menghadap Nabi Saw. untuk memutuskan perkaranya.
2.               Langakah-langkah penyelesaian masalah:
-          Nabi Saw. menanyakan sebab anak tersebut melalukan perbuatannya itu.
-          Sang anak menjawab bahwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut adalah rasa lapar dan bukan tujuan untuk bertindak kriminal.
-          Nabi Saw. berpikir cara apa yang sesuai dengan masalah anak ini yang melempari pohon kurma bukan dengan niat mencuri akan tetapi dikarenakan kelaparan, maka Nabi Saw. memutuskan untuk menggunakan cara yang sesuai dengan keadaan anak tersebut sebagai solusi dari permasalahannya.
Cara yang ditempuh Rasulullah adalah memberikan pengertian kepada anak tersebut dengan cara yang penuh kasih sayang, beliau berkata kepada anak itu, "Janganlah kamu lempari pohon kurma itu makan saja apa yang sudah di tanah", kemudian beliau mengusap kepalanya sambil mendoakannya, "Ya Allah kenyangkanlah perut anak ini".

MENJAUHKAN ANAK DARI APA YANG DISENANGINYA
Cara ini dianggap sebagai salah satu cara yang sangat berpengaruh kepada anak yang dihukum, terlebih lagi ketika sesuatu yang dijauhkan itu adalah sesuatu yang sangat disenangi anak. Contohnya seperti, jika anak sangat senang bermain sepak bola, maka ketika ia dijauhkan dari sepak bola adalah hukuman yang berat baginya, bahkan mungkin lebih baik dihukum dengan pukulan daripada harus diajuhkan dari sepak bola.
Tetapi pelarangan ini akan berbeda antara satu anak dengan yang lainnya tergantung kepada tabiat anak tersebut. Kecuali ada beberapa hal yang sudah pasti disenangi semua anak seperti uang jajan dan bermain keluar rumah.

CELAAN
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَابَبْتُ رَجُلاً فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ- قَالَ لَهُ: يا ابْنَ السَودَاءِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَا أَبَا ذَرٍّ أ عَيَّرتَهُ بِأُمِّهِ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيْكَ جَاهِلِيَّةٌ.. إِخْوانُكُم خَوْلُكُمْ.. جَعَلَهُمُ اللهُ تَحْتَ أَيدِيْكُم.. فَمَنْ كَانَ أَخُوْهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَاْكُلُ.. وَ لِيَلْبَسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ.. وَ لاَ تُكَلِّفُوهُم من العَمَلِ مَا لا يُطِيْقُوْنَ.. إِنْ كَلَّفْتُمُوهُم فَأَعِيْنُوهُم.
Dari Abu Dzar, ia berkata, "Aku pernah menghina seseorang dengan menyebut nama ibunya". "Hai anak perempuan hitam". Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Wahai Abu Dzar kamu menghinanya dengan menyebut-nyebut nama ibunya, kamu adalah seorang yang masih mempunyai sifat jahailiyyah pada dirimu. Saudaramu adalah pembantumu yang Allah jadikan sebagai tanggung jawab untukmu. Maka barang siapa yang saudaranya menjadi tanggung jawab dirinya, hendaklah ia memberinya makan dari yang ia makan, memberinya pakaian dari yang ia pakai, dan janganlah kamu membebaninya dengan pekerjaan yang tidak mampu ia kerjakan. Dan jika memberi pekerjaan maka bantulah ia.
Nabi Saw. memperbaiki kesalahan sahabat tersebut dengan celaan "Kamu adalah seorang yang masih mempunyai sifat jahiliyyah pada dirimu".

Celalah mereka sebentar saja!
Para pendidik sering menggunakan celaan sebagai cara dalam mendidik, tetapi celaan yang dilakukan sebentar saja adalah cara yang paling berhasil. Dr. Spencer Jones mengatakan dalam bukunya, "Ayah one minute adalah jika anak Anda melakukan perbuatan salah, lihatlah langsung ke arah matanya dengan pandangan yang tajam. Kemudian, peringatilah dia dengan singkat atas apa yang telah dikerjakannya, jangan lebih dari beberapa detik saja. Buatlah anak sadar bahwa Anda sedang marah karena kelakuannya. Biarlah anak merasakan apa yang Anda rasakan selama setengah menit saja. Biarkan dia merasakan bahwa celaan yang Anda lontarkan hanya sekedar cara dan bukan tujuan. Setelah itu ambil nafas yang dalam, kemudian tenangkan diri Anda. Lalu, lihatlah ke arah anak Anda selama setengah menit juga dengan cara yang membuat dia tahu bahwa Anda menyayanginya tetapi tidak senang dengan kelakuannya saja. Beritahukan kepadanya bahwa dia anak yang baik, Anda menyenanginya, tetapi hanya tidak suka dengan tingkah lakunya itu. Dan Anda mencelanya karena sayang kepadanya. Selanjutnya rangkullah dia ke dalam pelukan Anda. Peluklah dia dengan kuat sampai dia merasa bahwa marah Anda sudah berakhir".

Perhatikan baik-baik!
Celaan yang sedang kita bicarakan di sini berbeda dengan cacian dan penghinaan. Celaan adalah cara yang lunak di dalam proses pendisiplinan anak yang sesuai dengan cara yang dilakukan Nabi Saw.. Adapun cacian dan penghinaan hanya akan melahirkan perasaan dan sifat jelek pada diri anak, seperti, minder, rendah diri, dan iri terhadap orang lain.
Contoh celaan yang baik seperti, "Masuk akal tidak nilai kamu seperti ini", "Kemanakan semua pelajaran yang telah kamu pelajari selama ini".
Contoh cacian dan hinaan yang jelek seperti, memanggil anak dengan ungkapan yang jelek di depan teman-temannya yang membuat anak merasa rendah diri dan minder. Contohnya seperti, hai tolol, hai dungu.

MEMBIARKAN ANAK DAN MENJAUHINYA
Membiarkan anak dan menjauhinya dianggap sebagai salah satu cara untuk menghukumnya berupa hukuman psikis. Sejauh mana cinta anak kepada orang tuanya, maka sejauh itu pula perasaan sedih yang dirasakan anak ketika diuhukum dengan cara tersebut. Dimana rasa sedih karena didiamkan itu bisa membuatnya merasa kehilangan rasa cinta dan sayang yang biasa dia dapatkan.
Al-Bukhari meriwayatkan:
أَنَّ كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ حِيْنَ تَخَلَّفَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِيْ تَبُوكٍ قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ كَلاَمِنَا وَ ذَكَرَ خَمْسِيْنَ لَيْلَةً حَتَّى أَنْزَلَ اللهُ تَوْبَتَهُم فِي القُرآنِ الكَرِيْمِ.
bahwa Ka'ab bin Malik ketika tidak ikut perang Tabuk bersama Nabi Saw. karena tertinggal, ia berkata, "Nabi Saw. melarang orang-orang untuk mengajakku bicara selama 50 malam sampai Allah menerima taubatnya melalui ayat Al-Qur'an yang turun".

Jangan terlalu lama mendiamkan anak!
Jangan terlalu lama mendiamkan anak Anda. Sebagaimana Nabi Saw. memerintahkan kita agar dalam melakukan pengasingan tidak lebih dari tiga hari. Dimana pengasingan tersebut jika melebihi batas membuat anak merasa bahwa keberadaannya sudah tidak diterima lagi oleh kedua orang tuanya, yang bisa mendorong lahirnya semangat permusuhan, senang balas dendam, iri, menentang, cemas dan pada akhirnya membuat anak menjadi tertutup. Dan anak tersebut menjadi senang mencari perhatian orang lain dengan cara yang tidak baik.
Semua itu bisa saja menimpa anak Anda jika Anda terlalu lama mengasingkannya sampai melebihi batas. Maka gunakanlah pengasingan sebagai hukuman dengan cara yang baik sehingga anak menyadari kesalahannya.
As-Suyuthi meriwayatkan, bahwa Abdullah bin Umar pernah mengasingkan (mendiamkannya) anaknya, karena dia tidak mengamalkan hadits yang pernah diceritakannya dari Rasulullah Saw. bahwa beliau melarang laki-laki untuk menghalangi istrinya pergi ke masjid.

Contoh mendiamkan anak
Contohnya seperti, kita mengatakan kepada anak, "Karena kamu tadi tidak mengerjakan shalat ashar, ayah tidak akan berbicara kepadamu seharian penuh".

PUKULAN
Pukulan dianggap sebagai jalan terakhir dalam memberikan hukuman. Karena pukulan adalah hukuman yang paling keras. Dan kita tidak boleh menggunakannya kecuali jika semua cara sebelumnya berakhir dengan kegagalan.
Mari kita camkan baik-baik, bahwa pukulan bisa membuat anak menjadi takut sekaligus bingung. Ingatlah perkataan ini, "Pukullah anakmu denga satu tangan saja, dan bermain-mainlah dengannya dengan kedua tangan". "Anak akan patuh hanya kepada perkataan tegas yang diwarnai cinta".

Katakan tidak untuk menjaid ayah yang galak!
Ayah yang bersikap galak di rumah terhadap istri maupun anak-anaknya menyebabkan perasaan takut yang tidak menentu pada diri anak, dan dirinya merasa harus selalu bersiap-siap mempertahankan diri dari segala kekerasan yang akan menimpanya.

Didiklah dengan cara yang baik!
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِنَّ مِنْ حَقِّ الوَلَدِ عَلَى الوَالِدِ أَنْ يُحْسِنَ اسْمَهُ وَ أَنْ يُحْسِنَ أَدَبَهُ.
Rasulullah Saw. bersabda, "Di antara hak anak yang menjadi kewajiban orang tuanya ialah memberikan nama yang bagus dan mendidiknya dengan baik". (H.R Baihaqi)
Cara mendidik yang baik adalah dengan melalui berbagai cara seperti memberikan pengajaran, toleransi, celaan, pengasingan. Baru yang paling akhir adalah pukulan. Pukulan memang tidak seperti yang dibayangkan sebagian orang, bahwa sebenarnya pukulan bisa menjadi hak anak di dalam pendidikan.

Pukulan Anda akan berhasil jika...
-               Tidak pernah memukul kecuali setelah menggunakan segala cara sebelumnya.
-          Tidak memukul ke wajah, kepala, dada, dan perut. Adapun wajah, sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.,"Dan janganlah memukul wajah". Adapun dada, karena terkadang bisa mengakibatkan kematian. Juga sebagaimana kaidah fiqih mengatakan laa dharar wa laa dhiraar (tidak boleh mendekati sesuatu yang membahayakan atau merugikan).
-          Jangan memukul hanya karena kesalahan sepele, hanya karena Anda sedang marah dan emosi. Karena biasanya dalam keadaan marah dan emosi, orang tua suka menghukum anak dengan alasan yang tidak jelas.
-               Jangan memukul anak di depan saudara atau teman-temannya.
-          Jangan memukul ketika anak melakukan perbuatan salah pertama kalinya. Ketika anak berbuat salah pertama kalinya, hendaklah Anda memberinya pengertian terlebih dahulu dan memaafkannya.
-          Janganlah Anda memukul anak dalam keadaan marah karena bisa membuat anak terluka.
-          Janganlah memukul anak lebih dari sepuluh kali. Sebagaimana yang diajarkan Rasulullah Saw. bahwa beliau tidak pernah memberi hukuman pukulan lebih dari sepuluh kali kecuali hukum had.
-          Janganlah ayah terus yang memukul anak, seharusnya ada pergantian peran dalam memberikan hukuman kepada anak, agar anak tidak merasa bahwa salah seorang dari orang tuanya tidak menyukainya lagi.

Penting sekali!
Alat yang digunakan untuk memukul haruslah memiliki kriteria sebagai berikut:
-               tidak keras
-               tidak tajam
-               tidak terlalu panjang atau besar

Hukuman harus pada tempatnya!
Ada sebagian kesalahan yang dilakukan anak, namun sayang kita terlalu cepat memberikan hukuman tanpa melihat sebabnya terlebih dahulu, mengapa kesalahan itu dilakukan anak. Inilah contoh-contohnya:
  1. Mencuri
Anak terkadang mencuri, namun di belakang itu ada beberapa sebabnya. Seperti tidak kebagian, senang memilikinya, ada juga karena ia tidak bisa membedakan mana yang menjadi miliknya dan mana yang bukan dan berbagai faktor pendorong lainnya.
Maka ketika anak melakukan perbuatan tersebut, kita harus terlebih dulu mencari penyebabnya, baru kemudian mencari hukuman yang sesuai dengan sebabnya itu. Mulai dari memberikan pengertian, celaan, pengasingan, atau menggunakan hukuman yang terakhir yaitu pukulan.
Ingatlah kisah ghudar dan kisah melempari pohon kurma. Hati-hati jangan sampai perbuatan salah anak mendorong Anda untuk menghukumnya di depan teman-temannya atau menggeledah barang-barangnya di hadapan anak.
  1. Berdusta
Demikian juga dengan berdusta, terkadang memiliki berbagai macam sebab, di antaranya: imajinasi anak yang membuatnya tidak bisa membedakan antara kenyataan dan khayalan. Dan yang seperti ini tidak bisa disebut bohong hakiki. Atau juga disebabkan karena takut terhadap sesuatu yang tidak disenanginya atau takut terkena hukuman. Terkadang sebagaian orang tua terlalu terburu-buru dalam memberikan hukuman terhadap anak karena takut anaknya menjadi pendusta. Padahal dengan cara memberikan imbalan berupa pujian atau barang karena kejujurannya akan lebih ampuh dari pada hukuman. Hukuman hanya membuat anak mengakui perbuatan salahnya di sebagain waktu saja.
  1. Mengompol
Dari masalah ini juga kita bisa belajar bahwa sebelum kita memberikan hukuman, kita harus mencari penyebabnya terlebih dulu. Contohnya seperti, terkadang mengompol ini disebabkan oleh kurang baiknya perlakuan orang tua terhadap anak atau membeda-bedakan antara satu anak dengan saudara-saudaranya yang lain. Hal tersebut terkadang disebabkan juga oleh datangnya adik baru sehingga ia merasa kehilangan kasih sayang dari orang tuanya sebagaimana sebelunya.
Yang penting kita harus terlebih dahulu mencari sebab terjadinya kesalahan anak dan memperbaikinya tanpa langsung memberikan hukuman yang keras yang terkadang menambah buruk permasalahan.

Jumat, 27 April 2012

GURU DALAM ISLAM

Hakikat Guru dalam Islam
Oleh: M. Zamroni
Hakikat Guru
Dalam pengertian yang sederhan, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di Masjid, di Surau atau Musholla, di Rumah dan sebagainya.
Hakikat guru atau pendidik dalam islam pada perinsipnya tidak hanya mereka yang mempunyai kualifikasi keguruan secara formal yang diperoleh dari bangku sekolah perguruan tinggi. Melainkan yang terpenting adalah mereka yang mempunyai kompetensi keilmuan tertentu dan dapat menjadikan orang lain pandai dalam matra kognitif, afektif, dan psikomotorik. Matra kognitif menjadikan peserta didik cerdas intelektualnya, matra afektif menjadikan siswa mempunyai sikap dan perilaku yang sopan, dan matra psikomotorik menjadikan siswa terampil dalam melaksanakan aktivitas secara efektif dan efesien, scara tepat guna.
Pendidik merupakan salah satu komponen penting dalam proses pendidikan. Di pundaknya terletak tanggung jawab yang besar dalam upaya mengantarkan peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang telah diciptakan. Secara umum pendidik adalah mereka yang memiliki tanggung jawab mendidik. Mereka adalah manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya melaksanakan proses pendidikan.
Menerut Ahmad Tafsir, pendidik dalam Islam adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik. Mereka harus dapat mengupayakan seluruh potensi peserta didik, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Potensi-potensi ini dikembangkan sedenmikian rupa dikembangkan secara seimbang sampai mencapai tingkat yang optimal berdasarkan ajran Islam.
Dalam kontek pendidikan Islam pendidik atau guru disebut dengan Murobbi, Mu’allim Dan Muaddib. Kata atau istilah “Murobbi”, misalnya, sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orang tua dalam membesarkan anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan pelanyanan secara penuh agar anaknya tumbuh dengan fisik yang sehat dan berkepribadian serta akhlak yang terpuji.
Sedangkan untuk istilah “Muallim”, pada umumnya dipakai dalam membicarakan aktivitas yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu pengetahuan, dari seorang yang tahu kepada seorang yang tidak tahu. Adapun istilah “Muaddib”, menurut Al-Attas, lebih lebih luas dari istilah “Muallim” dan lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam.
Peranan Guru
Dalam perspektif Islam keberadaan, peranan, dan fungsi guru merupakan keharusan yang tidak bisa diingkari. Tidak ada pendidikan tanpa "kehadiran" guru. Guru merupakan penentu arah dan sistematika pembelajaran mulai dari kurikulum, sarana, bentuk pola sampai kepada usaha bagaimana anak didik seharusnya belajar dengan baik dan benar dalam rangka mengakses diri akan pengetahuan dan nilai-nilai hidup. Guru merupakan resi yang berperan sebagai "Pemberi Petunjuk" kearah masa sepan anak didik yang lebih baik.
Peran dan tanggung jawab guru dalam proses pendidikan sangat berat. Apalagi dalam konteks pendidikan Islam, dimana semua aspek kependidikan dalam Islam terkait dengan nilai-nilai (value bound), yang melihat guru bukan hanya pada penguasaan material-pengetahuan, tetapi juga pada investasi nilai-nilai moral dan spiritual yang diembannya untuk ditransformasikan kearah pembentukan kepribadian anak didik. Sebagai komponen paling pokok dalam Islam, guru dituntut bagaimana membimbing, melatih, dan membiasakan anak didik berprilaku baik. Karena itu, eksistensi guru tidak saja mengajarkan tetapi sekaligus mempratekkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai kependidikan Islam.
Banyak peranan guru yang diperlukan dari guru sebagai pendidik, atau siapa saja yang telah yang menerjunkan diri menjadi guru. Semua peranan yang diharapkan dari guru seperti diuraikan dibawah ini.
a.       Korektor, Sebagai korektor, guru harus bisa membedakan mana nilai yang baik dan mana nilai yang buruk. Kedua nilai yang berbeda ini harus betul-betul dipahami dalam kehidupan di masyarakat. Kedua nilai ini mungkin telah anak didik miliki dan mungkin pula telah mempengaruhinya sebelum anak didik masuk sekolah. Latar belakang kehidupan anak didik yang berbeda-berbeda sesuai dengan sosio kultural masyarakat dimana anak didik tinggal akan mewarnai kehidupannya. Semua nilai yang baik harus guru perhatikan dan semua nilai yang buruk harus disingkirkan dari jiwa dan watak anak didik. Bila guru membiarkannya, berarti guru telah mengabaikan peranannya sebagai seorang korektor, yang menilai dan mengoreksi semua sikap, tingkah laku, dan perbuatan anak didik. Koreksi yang harus guru lakukan terhadap sikap dan sifat anak didik tidak hanya di sekolah. Tetapi diluar sekolahpun harus dilakukan. Sebab tidak jarang diluar sekolah anak didik justru lebih banyak melakukan pelanggaran terhadap norma-norma susila, moral, sosial dan agama yang hidup di masyarakat.
b.      Inspirator, Sebagai inspirator, guru harus dapat memberikan ilham yang baik bagi kemajuan belajar anak didik. Persoalan belajar adalah masalah utama anak didik. Guru harus dapat memberikan petunjuk (ilham) bagaimana cara belajar yang baik. Petunjuk itu tidak mesti harus bertolak dari teori-teori belajar, dari penaglaman pun bisa dijadikan petunjuk bagaimana cara belajar yang baik. Yang penting bukan teorinya, tapi bagaimana melepaskan masalah yang dihadapi anak didik.
c.       Informator, Sebagai informator, guru harus dapat memberikan informasi perkembangan ilmu pengeahuan dan teknologi, selain sejumlah bahan pelajaran untuk setiap mata pelajaran yang telah diprogramkan dalam kurikulum. Informasi yang baik dan efektif diperlukan dari guru. Kesalahan informasi adalah racun bagi anak didik. Untuk menjadi informator yang baik dan efektif, penguasaan bahasalah sebagai kuncinya, ditopang dengan bahan yang akan diberikan kepada anak didik.
d.      Organisator, sebagai organisator, adalah sisi lain dari peranan yang diperlukan dari guru. Dalam bidang ini guru memiliki kegiatan pengelolaan kegiatan akademik, menyusun tata tertib sekolah, menyusun kalender akademik dan sebagainya. Semuanya diorganisasikan, sehingga dapat mencapai efektivitas dan efesiensi belajar pada diri anak didik.
e.       Motivator, Sebagai motivator, guru hendaknya dapat mendorong anak didik agar bergairah dan aktif belajar. Dalam upaya memberikan motivasi, guru dapat menganalisis motif-motif yang melatar belakangi anak didik malas belajar dan menurun perestasinya di sekolah. Peranan guru sebagai motivator sangat penting dalam intrkasi edukatif, karena menyangkut esensi pekerjaan pendidik yang membutuhkan kemahiran sosial, menyangkut performance dalam personalisasi dan sosialisasi diri.
f.       Inisiator, dalam perannya sebagai inisiator, guru harus dapat menjadi pencetus ide-ide kemajuan dalam pendidikan pengajaran. proses intraksi edukatif yang ada sekarang harus diperbaiki sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pendidikan.
g.      Fasilitator, sebagai  fasilitator, guru hendaknya dapat menyediakan fasilitas yang memungkinkan kemudahan kegiatan belajar anak didik. Lingkungan belajar yang tidak menyenangkan, suasana ruang kelas yang pengap, meja dan kursi yang berantakan, fasilitas belajar yang kurang memadai. Menyebabkan anak didik malas belajar. Oleh karena itu menjadi tugas guru bagaimana menyediakan fasilitas, sehingga akan tercipata lingkungan belajar yang menyenangkan anak didik.
h.      Pembimbing, peranan guru yang tak kalah pentingnya dari semua peranan yang telah disebutkan di atas adalah sebagai pembimbing. Peranan ini harus lebih dipentingkan. Karena kehadiran guru di sekolah adalah untuk membimbing anak didik menjadi manusia dewasa. Tanpa bimbingan, anak didik akan mengalami kesulitan dalam menghadapi perkembangan dirinya.
i.        Demonstrator, dalam interaksi edukatif, tidak semua bahan pelajaran dapat anak didik pahami. Apalagi anak didik yang memiliki intelegensi yang sedang. Untuk bahan pelajaran yang sukar dipahami anak didik. Guru harus berusaha membantunya, dengan cara memperagakan apa yang diajarkan secara didaktis, sehingga apa yang guru inginkan sejalan dengan pemahaman anak didik, tidak terjadi kesalahan pengertian antara guru dan anak didik. Tujuan pengajaran pun dapat tercapai dengan efektif dan efisien.
j.        Pengelolaan Kelas, Sebagai pengelola kelas, guru hendaknya dapat mengelola kelas dengan baik, karena kelas adalah tempat berhimpun semua anak didik dan guru dalam rangka menerima bahan pelajaran dari guru. Kelas yang dikelola dengan baik akan menunjang jalannya interaksi edukatif. Sebaliknya, kelas yang tidak dikelola dengan baik akan menghambat kegiatan pengajaran. Kelas yang terlalu padat dengan anak didik, pertukaran udara kurang, penuh kegaduhan, lebih banyak tidak menguntungkan bagi terlaksananya interaksi edukatif yang optimal. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan umum dari pengelolaan kelas, yaitu menyediakan dan menggunakan fasilitas kelas bagi bermacam-macam kegiatan belajar mengajar agar nnencapai hasil yang baik dan optimal.
k.      Mediator, sebagai mediator, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang cukup tentang media pendidikan dalarn berbagai
bentuk dan jenisnya, baik media nonmaterial maupun materil. Media berfungsi sebagai alat komunikasi guna mengefektifkan proses interaksi edukatif. Keterampilan menggunakan semua media itu
diharapkan dari guru yang disesuaikan dengan pencapaian tujuan
pengajaran.
l.     Supervisor, Sebagai supervisor, guru hendaknya dapat membantu, memperbaiki, dan menilai secara kritis terhadap proses pengajaran. Teknik-teknik supervisi harus guru kuasai dengan baik agar dapat melakukan perbaikan terhadap situasi belajar mengajar menjadi lebih baik. Untuk itu kelebihan yang dimiliki supervisor bukan hanya karena posisi atau kedudukan yang ditempatinya, akan tetapi juga karena pengalamannya, pendidikannya, kecakapannya, atau keterampilan-keterampilan yang dimilikinya. atau karena memiliki sifat-sifat kepribadian yang menonjol daripada orang-orang yang disupervisinya. Dengan sernua kelebihan yang dimiliki, ia dapat melihat, menilai atau mengadakan pengawasan terhadap orang atau sesuatu yang disupervisi.
m.    Evaluator, Sebagai evaluator, guru dituntut untuk menjadi seorang evalu­ator yang baik dan jujur, dengan memberikan penilaian yang menyentuh aspek ekstrinsik dan intrinsik. Penilaian terhadap aspek intrinsik lebih menyentuh pada aspek kepribadian anak didik, yakni aspek nilai (values). Berdasarkan hal ini, guru harus bisa memberikan penilaian dalam dimensi yang luas. Penilaian terhadap kepribadian anak didik tentu lebih diutamakan daripada penilaian terhadap jawaban anak didik ketika diberikan tes. Anak didik yang berprestasi baik, belum tentu memiliki kepribadian yang baik. Jadi, penilaian itu pada hakikatnya diarahakan pada perubahan kepribadian anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap.
Syarat-Syarat  Guru
Tidak semabarang orang dapat melalasanakan tugas guru. Tugas itu menuntut banyak persyaratan, baik professional, biologis, psikologis, maupun pedagogig-didaktis. Al-ghazali menyusun pesyaratan yang harus dimiliki guru antara lain sebagai berikut:
·        Guru hendaknya memandang murid seperti anaknya sendiri. Rosulullah SAW. Mencontohkan hal ini dengan menyatakan posisinya di tengah-tengah para sahabat:
انماانا لكم مثل الوالد لولده
Artinya: Sesungguhnya aku bagi kamu seperti orang tua terhadap anaknya. (H.R Abu Daud Al-Nasai, Ibnu Majah, Dan Ibnu Hibban)
·        Tidak mengharap upah atau pujian, tapi harus mengharap keridoan allah dan berorientasi mendekatkan diri padanya.
·        Guru haendaknya memanfaatkan setiap peluang untuk memberi nasihat dan bimbingan kepada murid bahwa tujuan mnuntut imu ialah mendekatkan diri pada allah, bukan memperoleh kedudukan atau kebanggaan.
·                 Guru harus memperhatikan tehadap fase perkembangan berfikir murid agar dapat menyampaikan ilmu sesuai dengan kemampuan berfikir murid.
Sedangkan Abdurrahman an-Nahlawi mengemukakan persyaratan seorang pendidik agar seorang pendidik menjalankan fungsi sebagai pendidik atas tiga macam yaitu (1) Yang berkenaan dengan dirinya sendiri. (2) yang berkenaan dengan pelajaran, dan (3) Yang berkenaan dengan muridnya.
Pertama, syarat-syarat guru berhubungan dengan dirinya yaitu antara lain:
·         Hendaknya guru tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta, prestise, atau kebanggaan atas orang lain.
·         Hendaknya guru menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara', dan menjauhi situasi yang bisa mendatangkan fitnah dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan harga dirinya di mata orang banyak.
·         Guru Hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam pergaulannya dengan orang banyak dan menghindarkan diri dari akhlak yang buruk.
·         Guru hendaknya selalu belajar dan tidak merasa malu untuk menerima ilmu dari orang yang lebih rendah daripadanya, baik secara kedudukan ataupun usianya.
·         Guru hendaknya rajin meneliti, menyusun, dan mengarang dengan memperhatikan keterampilan dan keahlian.
Kedua, syarat-syarat guru berhubungan dengan pelajaran antara lain:
·         Hendaknya guru mengambil tempat pada posisi yang membuatnya dapat terlihat oleh semua murid. Artinya ia harus berusaha agar apa yang akan disampaikannya hendaklah diperkirakan dapat dinikmati oleh seluruh siswanya dengan baik.
·         Guru hendaknva mengajarkan bidang studi sesuai dengan hirarki nilai kemuliaan dan kepentingannya.
·         Hendaknya guru selalu mengatur volume suaranya agar tidak terlalu keras, hingga membisingkan ruangan, tidak pula terlalu rendah hingga tidak terdengar oleh murid atau siswa.
·         Hendaknya guru menjaga ketertiban majelis dengan mengarahkan pembahasan pada objek tertentu. Artinva dalam memberikan materi pelajaran, seorang guru memperhatikan tata cara penyampaian yang baik (sistematis), sehinga apa yang disampaikan akan mudah dicerna oleh murid.
·         Guru hendaknya menegur murid-murid yang tidak menjaga sopan santun dalam kelas, seperti menghina teman, tertawa keras, tidur, berbicara dengan teman atau tidak menerima kebenaran. Ini berarti bahwa seorang guru atau pendidik dituntut untuk selalu menanamkan dasar-dasar akhlak terpuji dan sopan santun baik di dalam ruangan ataupun di luar ruangan belajar.
·         guru hendaknya bersikap bijak dalam melakukan pembahasan, menyampaikan pelajaran, dan menjawab pertanyaan. Apabila ia ditanya tentang sesuatu yang ia tidak tahu, hendaklah ia mengatakan bahwa ia tidak tahu.
·         Guru hendaknya tidak mengasuh bidang studi yang tidak dikuasainya. Hal mi dimaksudkan agar tidak terjadi pelecehan ilmiah dan sebaliknya akan terjadi hal yang sifatnya untuk memuliakan ilmu dalam proses belajar mengajar.
Ketiga, kode etik guru di tengah-tengah para muridnya, antara lain:
·        Guru hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan ridha Allah, menyebarkan ilmu, menghidupkan syara' menegakkan kebenaran, dan metemupkan kebathilan serta memelihara kemaslahatan umat.
·        Guru hendaknya mencintai muridnya seperti ia mencintai dirinya sendiri Artinya, seorang guru hendaknya menganggap bahwa muridnya itu adalah merupakan bagian dari dirinya sendiri (bukan orang lain).
·        Guru hendaknp memotivasi murid untuk menuntut ilmu seluas mungkin.
·        Guru hendaknva menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dan berusaha agar muridnya dapat memahami pelajaran.
·        Guru hendaklah melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukannya. Hal ini dimaksudkan agar guru selalu memperhatikan tingkat pemahaman siswanya dan pertambahan keilmuan yang diperolehnya.
·        Guru hendaknya bersikap adil terhadap semua muridnya.
·     Guru hendaknva berusaha membantu memenuhi kemaslahatan murid.
·     Guru hendaknya terus memantau perkembangan murid, baik intelektual maupun akhlaknya. Murid yang saleh akan menjadi "tabungan" bagi guru baik di dunia, maupun di akhirat.
Tugas dan Tanggung Jawab Guru
Keutamaan seorang pendidik disebabkan oleh tugas mulia yang diembanmya Tugas yang diemban seorang guru hampir sama dengan tugas seorang Rasul. Dari pandangan itu dipahami, bahwa tugas pendidik sebagai "warasal al-anbiya" yang pada hakikatnya mengemban misi rahmat li al-alamin, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum­-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. kemudian misi ini dikembangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid. kreatif, beramal saleh dan bermoral tinggi.
Menurut al-Gazali, tugas pendidik yang utama adalah, menyempurnakan, membersihkan, menyucikan hati manusia untuk ber-taqarrub kepada Allah. Sejalan dengan ini Abd al-Rahman al-Nahlawi menyebutkan tugas pendidik. Pertama, fungsi penyucian yakni berfungsi sebagai pembersih, pemelihara, dan pengembang fitrah manusia. Kedua, fungsi pengajaran yakni menginternalisasikan dan mentransformasikan pengetahuan dan nilai-nilai agama kepada manusia.
Ada beberapa pernyataan tentang tugas pendidik yang dapat disebutkan di sini antara lain ialah:
a.       Mengetahui karakter murid.
b.      Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya, baik dalam bidang yang diajarkannya maupun dalam cara meng­ajarkannya.
c.       Guru harus mengamalkan ilmunya, jangan berbuat ber­lawanan dengan ilmu yang diajarkannya.
Al-Ghazali menjelaskan tugas pendidik, yang dapat di­simpulkan dengan ilmu yang diajarkannya.
a.    Mengikuti jejak Rasulullah dalam tugas dan kewajibannya.
b.    Menjadi teladan bagi anak didik.
c.    Menghormati kode etik guru
Kewibawaan Guru
·         Makna Dan Fungsi Kewibawaan
Kewibawaan dalam bahasa lain adalah “gezag” yang berasal dari kata “zegen” mepunyai arti “berkata”. Jadi, seorang guru pada perinsipnya adalah orang yang mempunyai kemampuan berkata dengan baik, sistematis, dan logis. Argumentasi ini sangat rasional berdasarkan fakta dilapangan (kelas) bahwa apa yang dihadapi guru adalah sama-sama manusia yang butuh keterampilan komunikasi verbal. Oleh karnanya, apabila guru tidak terampil bicara akan menjadikan siswa cepat jenuh dan bosan dalam mengikuti pembelajaran. Jadi seorang guru yang agitator, pandai dalam berbicara menjadi persyaratan tersendiri dalam proses belajar mengajar. Seorang agitator tidak hanya lancar atau fasih bicara semata, akan tetapi juga bersuara keras serta disertai intonasi tidak menoton, dan tidak kaku. Suaranya mampu membawa suasana kelas menjadi kondusif dan siswapun dinamis. Sebaliknya guru yang tidak bersuara keras akan memungkinkan siswa berbicara dengan temannya sendiri, apa lagi jika dalam kelas siswanya banyak.
Guru yang berwibawa adalah guru yang mampu mempengaruhi anak didik berperilaku sesuai dengan apa yang ia katakan dan ia lakukan. Dan kemauan siswa yang mau melakukan perintah guru ini bukan sebagai suatu keterpaksaan, ketakutan, namun atas kesadaran peribadi siswa dan dilakukannya dengan senang hati. Bahkan siswa beranggapan jika tidak melakukan perintah guru, maka ia merasa melakukan kesalahan besar. Inilah arti pentingnya guru yang berwibawa. Ia tidak pernah pusing, susah, dan sedih menghadapi siswa, karena dengan sendirinya siswa sudah melakukan sendiri meskipun dengan bahasa isyarat guru.
Perlu dipahami pula bahwa kewibawaan yang dimiliki seseorang ada yang berupa alamiah dan non alamiyah. Kewibawaan alamiah adalah kewibawaan yang diperoleh dari suatu keturunan, sepeti, kewibawaan orang tua (bapak/ibu), pada anaknya. Anak dan pendirinya merasa sungkan atau rikuh pada bapak-ibunya wawlaupun mereka tidak menjadi pejabat, tidak berpengetahuan, dan tidak pula berharta. Kewibawaan ini sudah menjadi sunnatullah (hukum alam) karena orang tua adalah yang melahirkan, merawat, dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang, pikiran, tenaga dan harta.
Kewibawaan non alamiah adalah kewibawaan yang berasal dari eksternal yaitu dari orang lain yang dianggap mempunyai makna penting dalam kehidupannya, seperti jabatan, usia lebih tua, harta, dan ilmu pengetahuan. Kewibawaan ini sebagai bentuk rasa terima kasih antar sesama manusia. Dan kewibawaan ini diciptakan sedemikian rupa dengan seperangkat persyaratan pendukung. Contoh kewibawaan guru karena ilmunya telah ditransfer pada anak didik ssehingga ia menjadi orang yang berguna, kewibawaan pejabat karena kekuasaannya yang dapat mengangkat dan menghambat karir staf atau bawahan, kewibawaan orang kaya karena dapat mengangkat atau memberi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dua macam sumber kewibawaan di atas sudah menjadi hak setiap manusia untuk dimilikinya, orang yang sudah tidak ingin memiliki kewibawaan ibarat orang hidup dalam kematian, ia tidak semangat dalam hidup, pasif, apatis, skeptis, putus asa dan stress. Demikian pula, apabila guru sudah tidak ingin berwibawa maka dalam mengajar, ia dapat dipastikan tidak rajin, suka bolos, tidak berwawasan berpengetahuan luas, tidak mau tahu kesulitan belajar anak didik, tidak ingin anak didiknya pandai, tidak mau tahu perkembangan siswa, dan ironis lagi adalah suka mencaci, membenci, mau menang sendiri dan memarahi peserta didiknya alasan yang tidak jelas.
·         Kewibawaan Guru Dalam Kelas
§   Kewibawaan sikap
Sikap merupakan gejala perilaku seseorang (siswa) ketika merespon stimulan yang sedang dihadapi. Wujud sikap siswa ketika merespon stimulan ada yang positif dan negatif, ada yang suka/gembira ada yang benci/sedih, ada yang semangat dan ada yang biasa-biasa saja, ada yang taat penuh dan ada yang terpaksa. Langeveld mendiskrepsikan sikap ketaatan siswa terhadap guru dengan istilah volgen dan gehoorzamen. Volgen, yaitu sikap menurut, mengakui kekusaan orang lain yang lebih besar karena paksaan atau takut. Dengan demikian ketaatan ini tidak merupakan ketaatan yang sebenarnya. Gehoorzamen adalah sikap menurut, mengakui kewibawaan orang lain yang memerintah dirinya dengan suatu ikatan dan kesadaran penuh. Jadi sikap ketaatan ini menunj ukkan kesungguhan karena kewibawaan orang lain pada dirinya.
Kewibawaan sikap merupakan bagian dari ranah afektif selain kemauan menerima, menanggapi, berkeyakinan, penerapan karya, dan ketekunan.
Menerima, berarti sikap yang berupa memperhatikan untuk memperoleh sesuatu dari obyek sebagai rangsangannya, seperti; menerima pendapat gagasan orang lain dari buku yang telah dibaca, menerima saran orang lain dengan baik, dan menerima perintah orang lain yang dapat memberi manfaat dirinya.
Menanggapi, adalah suatu sikap dalam mcrespon stimulan dengan penuh perhatian, antusias, proaktif, seperti; diskusi kelas, menyelesaikan tugas eksperimen di laboratorium, dan menjawab pertanyaan guru.
Berkeyakinan, adalah sikap untuk menerima sistem nilai, norma, dan etika, seperti memberi penghargaan, kepercayaan, atau kesungguhan dalam melakukan sesuatu yang lebih baik.
Penerapan karya, merupakan sikap menerima pada berbagai sistem nilai, moral, atau etika yang berbeda-beda berdasarkan suatu sistem nilai yang tinggi dan lebih baik.
Ketekunan, yaitu sikap yang memiliki sistem nilai, moral, atau etika paling tinggi untuk menyesuaikan diri dalam berperilaku dan dijadikan dasar dalam melihat sesutu secara obyektif.
Kewibawaan sikap tersebut, guru hendaknya mampu menanamkan kepada siswanya secara utuh, tidak sepotong­potong. Siswa mempunyai sikap saling menghargai antar teman, terutama kepada guru. Dengan kewibaan guru yang berbentuk sikap dalam kelas ini, tentu akan menjadikan proses pengajaran berjalan efektif dan efisien.
§   Kewibawaan Kognitif
Kognitif merupakan representasi dari kecerdasan intelektual untuk memiliki pengetahuan. Intelektual siswa diwujudkan dalam kemampuan otak yang menjadi ukuran untuk mampu mengetahui dan menerima bahan ajar untuk disimpan dalam otak. Dalam teori otak manusia dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu reptil, limbik dan neokorteks. Otak reptil, adalah otak sederhana (seperti jenis hewan reptil yang juga mempunyai otak) dengan tugas utamanya mempertahankan diri, seperti mampu menguasai detak jantung dan sistem perdaran darah secara otomatis. Otak limbik, yaitu otak sedang (tengah) yang fungsinya mengontrol emosi dan menyimpan informasi dalam waktu lama untuk dapat dipanggil lagi manakala dibutuhkan. Otak neokorteks, yakni otak tingkat tinggi yang tugas utamanya berbahasa, berpikir abstrak, memecahkan masalah, merencanakan ke depan, bergerak dengan baik, dan berkreasi.
Untuk itu, guru hendaknya berwibawa dalam kelas melalui penguasaan materi ajar dengari menggunakan kemampuan otak yang maksimal. Kewibawaan ini dapat ditempuh dengan langkah:
Pengetahuan, merupakan kumpulan dari obyek yang hendak diketahui oleh siswa. Pengetahuan ini dapat dijadikan siswa untuk menjadi orang pandai, kuat ingatan, atau berwawasan luas sebagai bahan kehidupan yang lebih baik. Oleh karenanya, sebelum guru menyampaikan pengetahuan kepada siswa hendaknya dipersiapkan secara matang sehingga siswa puas dapat termotivasi dan gurunya pun berwibawa.
Pemahaman, adalah aktivitas untuk memahami sesuatu dengan cara menginterpretasikan, menjelaskan, dan mampu membuat kesimpulan untuk dijadikan suatu konsep, prinsip, teori, atau dalil. Disinlah guru memegang peranan penting untuk dapat menafsirkan mata pelajaran, baik yang terdapat dalam hahan ajar (buku teks) maupun dalam menafsirkan lingkungan atau alam. Penerapan, adalah kemampuan untuk menjelaskan atau menafsirkan materi ajar yang sudah disampaikan kepada siswa untuk diterapkan dalam situasi baru, yaitu kemampuan menerapkan konsep, prinsip, teori atau dalil sesuai dengan kemampuan siswa masing-masing. Dengan demikian, guru benar-benar menjadi berwibawa di hadapan siswanya.
Analisis, yaitu kemmpuan guru dalam mengidentifikasi atau menjabarkan materi ajar menjadi bagian-bagian yang mempunyai hubungan antar satu dengan lainnya sehingga bagian-bagian tersebut menjadi utuh dan mudah dimengerti. Disinilah guru mempunyai tugas yang agak berat karena tingkat analisis siswa berbeda-beda.
Sintesis, yakni kemampuan guru dalam menyatukan bagian­bagian yang sudah terpisah sesuai sifat dan jenis masalah yang terdapat dalam materi pelajaran sehingga menjadi bagian yang utuh. Dalam hal ini guru menyajikan data, fakta dan informasi untuk diolah dan dirumuskan sehingga menjadi pola yang terstruktur dengan baik. Jadi, guru dalam kelas hendaknya mampu membentuk siswa berkemampuan kognitif-sintesis sehingga melahirkan kewibawaan guru itu sendiri.
Evaluasi, adalah kemampuan guru untuk mengadakan penilaian atas hasil belajar siswa berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan dalam bidang materi ajar. Kegiatan evaluasi ini mensyaratakan ketelitian guru terhadap tahapan-tahapan belajar siswa. Dengan evaluasi ini, guru diharapkan pula obyektif sehingga mampu menjadikan siswa percaya, taat, dan tunduk kepadanya dengan sungguh-sungguh, tidak hanya sekedar ketakutan yang terpaksa.
§   Kewibawaan Keterampilan
Keterampilan merupakan wujud siswa dalam menerapkan suatu teori. Artinya, siswa tidak hanya diharapkan pandai dalam ranah afektif (sikap), kognitif (intelektual) semata, akan tetapi keterampilan siswa dalam menerapkan sesuatu menjadi keniscayaan untuk menjadi siswa yang berhasil dalam belajar. Guru akan berwibawa dalam kelas apabila ia terampil menerapkan sesuatu yang sesuai dengan materi pelajaran kepada siswanya. Kewibawaan keterampilan guru ini dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut;
Persepsi, yaitu kesanggupan guru dalam memandang materi pelajaran dengan cara membuka peluang siswa untuk berpikir dan berbuat sesuai dengan bahan ajar yang akan dinelajari. Dalam hal ini guru menyruh siswa untuk menggunakan keterampilan indranya, seperti; tangan terampil memainkan alat musik, kaki terampil memainkan bola, mata terampil membaca, telinga terampil mendengankan mata pelajaran yang disampaikan pada guru, dan lain-lainnya.
Kesiapan, yakni guru mempersiapkan diri materi pelajaran sesuai dengan tujuan siswa untuk menjadi terampil. Kesiapan in i beraksentuasi pada melakukan kegiatan yang dilandasi kesiapan mental, kesiapan fisik, kesiapan, clan kesiapan emosional. Apabila guru mampu melakukan kesiapan tersebut, maka guru akan mudah menjadikan siswa terampil dalam melakukan kegiatan yang i:nbasnya adalah guru benar-benar berwibawa.
Mekanisme, merupakan bentuk kewibawaan guru di dalam kelas dengan cara terampil menanggapi bahan ajar yang telah disampaikan kepada siswa atas dasar pertanyaan dan permasalah siswa. Disinilah, guru membentuk kebiasaan siswa sehinggasecara mekanik-otomistis siswa mahir dan terampil menjalankan kegiatan pembelajaran.
Respon terbimbing, guru mengajar di dalam kelas untuk tahapan ini adalah memerintah anak untuk mengikuti dan mengulangi hingga sampai pada hasil keterampilan yang benar. Siswa pun disuruh untuk melakukan sesuatu yang berupa uji coba berdasarkan tanggapan dan kemampuan keterampilannya masing-masing dengan bimbingan seorang guru.
Kemahiran, yaitu guru mengajar di dalam kelas dengan tingkat kemapanan siswa. Artinya, siswa dibentuk keterampilannya untuk berbuat sesuatu sehingga hasilnya lebih baik dan waktunya lebih cepat. Disinilah kewibawaan guru akan menjadi bertambah di hahadapan siswa.
Adaptasi, yaitu guru mengajar di dalam kelas dengan menggunakan pendekatan individual siswa. Siswa diberi kesempatan untuk berkembang sendiri dengan cara mampu memodifikasi pola gerak, berbuat, dan bertindak sesuai dengan kebutuhannya.
Originasi, yaitu kewibawaan guru dalam mengajar di kelas untuk menjadikan siswa terampil dalam menciptakan sesuatu dengan sendirinya, tanpa bimbingan guru secara langsung. Seperti; siswa terampil membuat komputer, siswa terampil membuat pola pakaian, siswa terampil membuat desain rumah yang aman dan nyaman, clan lain sebagainya.
·         Kewibawaan Guru dalam Lingkungan
Guru disamping sebagai makhluk individu juga makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, ia mempunyai kewajiban untuk menata dirinya sendiri dengan tanpa melibatkan orang lain. Dan sebagai makhluk sosial, ia mampu berinteraksi ditengah-tengah masyarakatnya dengan baik dan benar serta diharapkan menjadi orang orang lain sebagaimana dirinya sendiri.
Lingkungan Keluarga kemasyarakatan adalah komunitas terkecil dalam setting kehidupan sosial. Maklum adanya, bahwa kehidupan keluarga selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan masyarakat global. Dulu peran ayah sangat dominan, sekarang peran ibu menuntut kesejajaran ayah. Dulu seorang bapak mencari nafkah sepenuhnya untuk memmenuhi kebutuhan keluarga, sekarang ibu pun tidak mau ketinggalan untuk menopang kebutuhan keluarga. Dulu, keluarga, bapak-ibu, tidak menjadi masalah dalam memproduksi anak sebanyak banyaknya, sekarang hal ini menjadi problematika besar.
Demikian pula, dulu guru mempunyai tempat yang terhormat di sekolah, keluarga, dan masyarakat, sekarang posisi tersebut sudah bergeser menjadi paradigma yang sudah biasa, tanpa kelebihan yang berarti. Dulu guru benar-benar dihormati siswa, sekarang banyak guru yang dibenci siswa. Untuk itulah, guru dituntut untuk membenahi keluarganya sendiri sebelum membenahi orang lain.
Kewibawaan guru dalam keluarga pada prinsipnya menjadi hak dan kewajiban guru itu sendiri, terutama guru laki-laki yang mernang menjadi pemimpin keluarga dalam perspektif sejarah dan agama, yaitu orang laki-laki menjadi pemimpin istri dan anak-anaknya walaupun situasi sekarang sudah tidak menghendaki seperti itu.
Dalam hal ini kewibawaan pendidikan dalam keluarga oleh seorang guru (bapak atau ibu) berarti berperan ganda, satu sisi sebagai kepala atau wakil kepala keluarga dan sisi lain sebagai guru bagi anggota keluarganya. Peraturan-peraturan dalam keluarga pun dibuat sedemikian rupa sehingga menghendaki semua aggota keluarga untuk mentaatinya. Walaupun peraturan dalam keluarga tidak begitu formal sebagaimana peraturan dalam pendidikan sekolah.