Minggu, 29 Desember 2013

MENCARI RIZKI


MENCARI RIZKI
Oleh: M. Zamroni, M.H.I
Di antara hal yang menyibukkan hati dan pikiran kaum muslimin adalah mencari rizki. Dan menurut pengamatan, sebagian besar kaum muslimin memandang bahwa berpegang dengan Islam akan mengurangi rizki mereka. Kemudian tidak hanya sebatas itu, bahkan lebih parah dan menyedihkan bahwa ada sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewajiban syari’at Islam tetapi mengira bahwa jika ingin mendapatkan kemudahan di bidang materi dan kemapanan ekonomi hendaknya menutup mata dari hukum-hukum Islam, terutama yang berkenaan dengan hukum halal dan haram.
Mereka itu lupa atau berpura-pura lupa bahwa Allah men-syari’atkan agamaNya hanya sebagai petunjuk bagi ummat manusia dalam perkara-perkara kebahagiaan di akhirat saja. Padahal Allah mensyari’atkan agama ini juga untuk menunjuki manusia dalam urusan kehidupan dan kebahagiaan mereka di dunia.
Sebagaimana Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas Radhiallaahu anhu , Rasulullah Bersabda:
كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ النَّبِيِّ: رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
Sesungguhnya do’a yang sering diucapkan Nabi adalah, “Wahai Tuhan Kami’ karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api Neraka”. (Shahihul Al-Bukhari).
Allah dan RasulNya tidak meninggalkan umat Islam tanpa petunjuk dalam kegelapan dan keraguan dalam usaha mencari penghidupan. Tapi sebaliknya, sebab-sebab mendapat rizki telah diatur dan dijelaskan. Sekiranya ummat ini mau memahami dan menyadarinya, niscaya Allah akan memudahkan mencapai jalan-jalan untuk mendapatkan rizki dari setiap arah, serta akan dibukakan untuknya keberkahan dari langit dan bumi. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini kami ingin menjelaskan tentang berbagai sebab di atas dan meluruskan pemahaman yang salah dalam usaha mencari rizki .
Di antara sebab terpenting diturunkannya rizki adalah istighfar (memohon ampun) dan taubat kepada Allah. Sebagaimana firman Allah tentang Nuh yang berkata kepada kaumnya:
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10)  يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12) [نوح/,10 12]
Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohon ampunlah kepada Tuhanmu’, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12)
Yang dimaksud istighfar dan taubat di sini bukan hanya sekedar diucap di lisan saja, tidak membekas di dalam hati sama sekali, bahkan tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Tetapi yang dimaksud dengan istighfar di sini adalah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ar-Raghib Al-Asfahani adalah “Meminta (ampun) dengan disertai ucapan dan perbuatan dan bukan sekedar lisan semata.”
Imam An-Nawawi menjelaskan: “Para ulama berkata. ‘Bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga:
  1. Hendaknya ia harus menjauhi maksiat tersebut.
  2. Ia harus menyesali perbuatan (maksiat) nya.
  3. Ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi.
Jika salah satu syarat hilang, maka taubatnya tidak sah.
Jika taubatnya berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada empat, yaitu ketiga syarat di atas ditambah satu, yaitu hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang lain. Jika berupa harta benda maka ia harus mengembalikan, jika berupa had (hukuman) maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalas atau meminta maaf kepadanya dan jika berupa qhibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf.
Imam Al-Qurtubi menyebutkan dari Ibnu Shabih, bahwasannya ia berkata: “Ada seorang laki-laki mengadu kepada Al-Hasan Al-Bashri tentang kegersangan (bumi) maka beliau berkata kepadanya, Beristighfarlah kepada Allah! Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan, maka beliau berkata kepadanya, Beristighfarlah kepada Allah! Yang lain lagi berkata kepadanya, ’Do’akanlah (aku) kepada Allah, agar ia memberiku anak!!’ maka beliau mengatakan kepadanya, ‘Beristighfar kepada Allah! Dan yang lainnya lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan (pula),’Beristighfarlah kepada Allah!.
Ma'asyirol Muslimin Jama’ah Jum’at rahimakumullah ...
Kemudian di ayat yang lain Allah yang menceritakan tentang seruan Hud kepada kaumnya agar beristighfar.
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ (52) [هود/52]
Dan (Hud berkata),’Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepadaNya, niscaya Dia kan menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan membawa kekuatan kepada kekuatanmu dan juga janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (Hud: 52)
Dan pada surat Hud di ayat yang lain Allah juga berfirman:
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ (3) [هود/3]
Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya (jika kamu mengerjakan yang demikian (niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai pada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut akan ditimpa siksa hari kiamat.” (Hud: 3).
Imam Al-Qurthubi mengatakan:”Inilah buah istighfar dan taubat. Yakni Allah akan memberikan kenikmatan kepada kalian dengan berbagai manfaat berupa kelapangan rizki dan kemakmuran hidup serta Allah tidak akan menyiksa kalian sebagaimana yang dilakukanNya terhadap orang-orang yang dibinasakan sebelum kalian.”
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas ia berkata, Rasulullah bersabda:
مَنْ أَكْثَرَ اْلاِسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَمِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ.
Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan dan Allah akan memberikan rizki (yang halal) dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Al-Hadis)
Dalam hadist yang mulia ini, Nabi menggambarkan tentang tiga hasil yang dapat dipetik oleh orang yang memperbanyak istighfar. Salah satunya yaitu, bahwa Allah Yang Maha Esa, Yang memiliki kekuatan akan memberi rizki dari arah yang tidak disangka-sangka dan tidak pernah diharapkan serta tidak pernah terbersit dalam hati.
Karena itu, kepada orang yang mengharapkan rizki hendaklah ia bersegera untuk memperbanyak istighfar, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Dan hendaklah kita selalu waspada! dari melakukan istighfar hanya sebatas dengan lisan tanpa perbuatan. Sebab ia adalah pekerjaan para pendusta.

BAHTSUL MASA'IL

Bahtsul Masa’il
Oleh: Muhammad Zamroni, M.H.I

1.      Bolehkah menerima sumbangan dari non muslim?
Wakaf atau pemberian non muslim yang berkaitan dengan urusan dunia maupun urusan akhirat hukumnya sah, karena persyaratan wakaf adalah dengan sukarela dan dari orang yang sah melakukan amal. Karena yang diperhatikan pada wakaf ini adalah akadnya bukan tujuannya.  Oleh karena itu, pemberian (wakaf atau hadiyah) non muslim diperbolehkan dikalangan ulama’ Syafi’iyyah demi kemaslahatan kaum muslimin. Akan tetapi jika pemberian itu dilakukan ketika kaum muslimin dalam kondisi berperang dengan non muslim, maka pemberian itu disebut gonimah (harta rampasan perang).
فتح الوهاب - (ج 1 / ص 306)
كتاب الوقف هو لغة الحبس وشرعا حبس مال يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف في رقبته على مصرف مباح، والاصل فيه خبر مسلم: إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له بعد موته والصدقة الجارية محمولة عند العلماء على الوقف. (أركانه) أربعة: (موقوف وموقوف عليه وصيغة وواقف، وشرط فيه) أي في الواقف (كونه مختارا) والتصريح به من زيادتي (أهل تبرع) فيصح من كافر ولو لمسجد، ومن مبعض لا من مكره ومكاتب ومحجور عليه بفلس أو غيره ولو بمباشرة وليه.
روضة الطالبين وعمدة المفتين - (ج 4 / ص 35)
لو أهدى مشرك إلى الأمير أو إلى الإمام هدية والحرب قائمة فهي غنيمة بخلاف ما لو أهدى قبل أن يرتحلوا عن دار الإسلام فإنه للمهدى إليه.
حاشيتا قليوبي - وعميرة - (ج 16 / ص 357)
كتاب النذر بالمعجمة هو لغة الوعد بشرط أو التزام ما ليس بلازم أو الوعد بخير أو بخير أو شر وشرعا التزام قربة لم تتعين أي شأنه ذلك ، فلا يرد أن نذر اللجاج مكروه وعلم من ذلك أن أركانه ثلاثة ناذر ومنذور وصيغة ، وشرط الناذر إسلام واختيار ونفوذ تصرفه ، فيما ينذره فيصح نذر سكران وسفيه مهمل ولو في الأموال ورقيق كضمانه ، ولا يصح نذر صبي ومجنون ومحجور سفه وكافر ومكره مطلقا ، ولا محجور فلس في عين ماله وإنما صح وقف الكافر لعدم اعتبار القربة في الوقف ، وشرط الصيغة لفظ يشعر بالتزام وفي معنى اللفظ إشارة الأخرس ، والكتابة مع النية ولو من ناطق فلا يصح بالنية وتقدم شرط المنذور في الحج .
نيل الأوطار - (ج 6 / ص 75)
وعن علي أيضا عند الشيخين إن أكيدر دومة الجندل أهدى إلى النبي صلى الله عليه وآله وسلم ثوب حرير فأعطاه عليا فقال شققه خمرا بين الفواطم . وعن أبي حميد الساعدي عند البخاري قال غزونا مع رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم تبوك وأهدى ابن العلماء للنبي صلى الله عليه وآله وسلم بردا وكتب له ببحرهم وجاء إلى رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم صاحب ايلة كتاب وأهدى إليه بغلة بيضاء . الحديث وفي مسلم أهدى فروة الجذامى إلى رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم بغلة بيضاء ركبها يوم حنين . وعن بريدة عند إبراهيم الحربي وابن خزيمة وابن أبي عاصم ان أمير القبط أهدى إلى رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم جاريتين وبغلى فكان يركب البغلة بالمدينة وأخذ إحدى الجاريتين لنفسه فولدت له إبراهيم ووهب الأخرى لحسان وفي كتاب الهدايا لأبراهيم الحربي أهدى يوحنا ابن رؤبة إلى النبي صلى الله عليه وآله وسلم بغلته البيضاء . وعن أنس أيضا عند البخاري وغيره أن يهودية أتت النبي صلى الله عليه وآله وسلم بشاة مسمومة فأكل منها الحديث . والأحاديث المذكورة في الباب تدل على جواز قبول الهدية من الكافر.
صحيح البخاري - (ج 2 / ص 923)
حدثنا عبد الله بن عبد الوهاب حدثنا خالد بن الحارث حدثنا شعبة عن هشام بن زيد عن أنس بن مالك رضي الله عنه : أن يهودية أتت النبي صلى الله عليه و سلم بشاة مسمومة فأكل منها فجيء بها فقيل ألا نقتلها ؟ قال ( لا ) . فما زلت أعرفها في لهوات رسول الله صلى الله عليه و سلم.  [ ش أخرجه مسلم في السلام باب السم رقم 2190 . ( يهودية ) اسمها زينب واختلف في إسلامها . ( أعرفها ) أعرف أثرها . ( لهوات ) جمع لهاة وهي ما يبدو من الفم عند التبسم وقيل هي اللحمة التي بأعلى الحنجرة من أقصى الفم ]
صحيح البخاري - (ج 2 / ص 922)
حدثنا عبد الله بن محمد حدثنا يونس بن محمد حدثنا شيبان عن قتادة حدثنا أنس رضي الله عنه قال : أهدي للنبي صلى الله عليه و سلم جبة سندس وكان ينهى عن الحرير فعجب الناس منها فقال ( والذي نفس محمد بيده لمناديل سعد بن معاذ في الجنة أحسن من هذا ).  وقال سعيد عن قتادة عن أنس إن أكيدر دومة أهدى إلى النبي صلى الله عليه و سلم.
2.      Wajibkah zakat hasil tanah waqaf?
Wakaf yang diserahkan kepada seseorang yang ditentukan dan orang tersebut memperoleh hasil 1 nishab dari tanah wakaf  tersebut, maka wajib baginya mengeluarkan zakat dari hasil barang wakaf tersebut. Karena orang itu yang memiliki hasil dari barang wakaf itu. Berbeda halnya kalau wakaf itu untuk umum, seperti untuk orang-orang  miskin, masjid dan untuk orang-orang fakir, maka tidak ada zakat baginya. Walaupun hasil tanah wakaf tersebut menghasilkan lebih dari 1 nishab.
أسنى المطالب  - (ج 4 / ص 438)
أجير التعهد نخيله بثمرة نخلة بعينها بعد خروج تمرتها وقبل بدو صلاحها وشرط القطع ( فلم يقطعها حتى بدا الصلاح ) وبلغ ما في الحائط نصابا ( لزمه عشر ثمرة النخلة ) أو نصف عشرها قاله من زيادته ( هكذا نصوا عليه وهو مشكل إلا إن اتحد الجرين ونحوه ) مما مر فلا إشكال ولا ريب أن هذا مرادهم ( وإن وقف على معينين حائط ) أي نخل حائط ( فأثمر خمسة أوسق ) فأكثر ( لزمتهم الزكاة ) لأنهم يملكون ربع الموقوف ملكا تاما ( لا إن وقفت عليهم أربعون شاة ) أو نصاب من سائر ما تجب الزكاة في عينه فلا تلزمهم الزكاة لعدم الملك أو ضعفه في الموقوف ونتاج النعم الموقوفة كالثمر فيما مر أما غير المعينين فلا تلزمهم الزكاة مطلقا كما سيأتي.
حاشيتا قليوبي - وعميرة - (ج 5 / ص 84)
باب زكاة النبات إلخ النبات يكون مصدرا ويكون اسما للنابت ، وهو المراد هنا وينقسم إلى شجر ، وهو ما له ساق وإلى نجم وهو ما لا ساق له وشجره قوله : ( أي النابت ) دفع به توهم إرادة المصدر. قوله : ( من شجر وزرع ) دفع به إرادة اسم المصدر وشمل كلامه النابت في الأرض الخراجية وهي التي فتحت عنوة ، ثم تعوضها الإمام من الغانمين ووقفها على المسلمين ، وضرب لها خراجا معلوما كأرض مصر أو فتحت صلحا بشرط كونها لنا ، وأسكنها الكفار بخراج وهو أجرة لا تسقط بإسلامهم ، وكل ما جرت العادة بأخذ خراجه فهو جائز سواء علم صحة أخذه أو لا ، إذ الظاهر أنه بحق ، كما أن الظاهر من وضع الأيدي جواز البيع والرهن وغيرهما ، ولو أخذ الإمام الخراج بدلا عن العشر كان كأخذ القيمة في الزكاة فلا يجزئ إلا إن كان باجتهاد منه فيسقط به الفرض حينئذ ، وإن نقص عن قدر الواجب نعم لا زكاة في الموقوف على المساجد والفقراء والجهات العامة ، ولا في النخيل المباحة ونحو ذلك لعدم صلاحية الملك بخلاف الوقف على معين .
مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج  - (ج 5 / ص 107)
تنبيه : ضم في الحاوي إلى الإسلام والحرية شرطين آخرين : أحدهما : كونه لمعين فلا زكاة في الموقوف على جهة عامة ، وتجب في الموقوف على معين .
الثاني : كونه متيقن الوجود فلا زكاة في مال الحمل الموقوف له بإرث أو وصية على الأصح ، إذ لا ثقة بحياته ، فلو انفصل الجنين ميتا فيتجه كما قال الإسنوي عدم الوجوب على الورثة لضعف ملكهم ، ويمكن كما قال الولي العراقي الاحتراز عن هذا الشرط بقوله : وتجب في مال الصبي .
نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج - (ج 9 / ص 200)
وشرط وجوبها أيضا أن يكون المالك معينا فلا زكاة في الموقوف على جهة عامة وتجب في الموقوف على معين وأن يكون متيقن الوجود ، فلا زكاة في مال الحمل الموقوف له بإرث أو وصية لعدم الثقة بحياته.
نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج - (ج 9 / ص 202)
( قوله : فلا زكاة في الموقوف على جهة عامة ) ظاهره وإن كانوا محصورين عند حولان الحول ويوجه بأن تعينهم عارض ويحتمل خلافه لملكهم له .[ فرع ] استحق نقدا قدر نصاب مثلا في وقف معلوم وظيفة باشرها ومضى حول من حين استحقاقه من غير قبض فهل ذلك من قبيل الدين على جهة الوقف وله حكم الديون حتى تلزمه الزكاة ولا يلزمه الإخراج إلا أن قبضه أولا بل هو شريك في أعيان ريع الوقف بقدر ما شرط له الواقف ، فإن كانت الأعيان زكوية لزمته الزكاة وإلا فلا ؟ فيه نظر ا هـ سم على بهجة ، واعتمد مر الأول .( قوله : وتجب في الموقوف على معين ) أي وإن لم يخص كل واحد من المعينين نصاب للشركة ، وصورته أنه يقف بستانا ويحصل من ثمرته ما يجب فيه الزكاة .

3.      Bolehkah lomba puyuh?
Hukum disyaratkan ‘iwad (hadiah) dalam perlombaan menjadikan hukum perlombaan di tafsil, yaitu boleh ketika sarat ‘iwad itu bukan dari peserta lomba atau ‘iwad dari salah satu peserta lomba dengan berkata kepada peserta lomba lainnya “jika kalian menang, maka saya akan memberikan hadiah untuk kalian”. Akan tetapi kalau ‘iwad itu diperoleh dari uang pendaftaran seluruh peserta lomba, maka hukum perlombaan itu tidak diperbolehkan (haram).
الاقناع في حل ألفاظ أبي شجاع - (ج 2 / ص 448)
ويجوز شرط العوض من غير المتسابقين وسواء أكان من الإمام أم من غيره كأن يقول الإمام من سبق منكما فله في بيت المال كذا أوله علي كذا ويكون ما يخرجه من بيت المال من سهم المصالح كما قاله البلقيني أو الأجنبي من سبق منكما فله علي كذا لأنه بذل مال في طاعة ولا شك أن حكم إخراج أحد المتناضلين العوض وإخراجهما معا حكم المسابقة فيما سبق من غير فرق وصورة إخراج أحدهما أن يقول أحدهما ترمي كذا فإذا أصبت أنت منها كذا فلك علي كذا وأن أصبتها أنا فلا شيء لأحدنا على صاحبه وصورة إخراجهما معا أن يشترط كل واحد على صاحبه عوضا إن أصاب ولا يجوز هذا إلا بمحلل بينهما كما سبق خاتمة لو تراهن رجلان عل اختبار قوتهما بصعود جبل أو إقلال صخرة أو أكل كذا فهو من أكل أموال الناس بالباطل وكله حرام.
مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج  - (ج 18 / ص 253)
( ويجوز شرط المال ) أي إخراجه في المسابقة ( من غيرهما ) أي المتسابقين ( بأن يقول الإمام أو أحد الرعية ) وأخصر وأشمل من ذلك أو أجنبي ( من سبق منكما فله في بيت المال ) كذا هذا مقول الإمام ، ويكون ما يخرجه من بيت المال من سهم المصالح كما قاله البلقيني ( أو ) من سبق منكما ( فله علي كذا ) هذا مقول أحد الرعية فهو من باب اللف والنشر المرتب ، وإنما صح هذا الشرط لما فيه من التحريض على تعلم الفروسية وإعداد أسباب القتال ؛ ولأنه بذل مال في طاعة .

4.      Bolehkah menyusukan seorang anak tanpa izin sohibu al-laban?
Hukum menyusui seorang anak tanpa adanya izin suami adalah tidak boleh. Karena seluruh waktunya istri dihabiskan untuk hak suami.
أسنى المطالب  - (ج 12 / ص 121)
( فصل لو أجرت ) حرة ( نفسها ) إجارة عين لإرضاع أو غيره ( بغير إذن الزوج لم يجز ) لأن أوقاتها مستغرقة لحقه نعم لو كان غائبا غيبة بعيدة أو طفلا فأجرت نفسها لعمل بمنزلها بحيث يظن فراغها منه قبل تمكنه من التمتع بها فتتجه الصحة قاله الأذرعي أما بإذنه فيجوز ( وإن تزوجها مستأجرة لم يمنعها الإيفاء ) لما التزمته كما لو أجرت نفسها بإذنه ( وليس لمستأجر المرضعة ) أو غيرها المفهوم بالأولى ( منع الزوج وطأها بعد فراغها ) أي في أوقاته ، ولا نظر إلى توقع حبلها الذي ينقطع به اللبن أو يقل لأن حبلها متوهم فلا يمنع به الوطء المستحق .
5.      Bolehkah memanfaatkan marhun tanpa izin rohin?
Tidak boleh bagi murtahin memanfaatkan marhun tanpa adanya izin rohin.
روضة الطالبين وعمدة المفتين - (ج 2 / ص 20)
فصل ليس للمرتهن في المرهون إلا حق الإستيثاق وهو ممنوع من جميع التصرفات القولية والفعلية ومن الإنتفاع. فلو وطىء المرهونة بغير إذن الراهن فكوطء غيرها فإن ظنها زوجته أو أمته فلا حد وعليه المهر والولد نسيب حر وعليه قيمته للراهن وإن لم يظن ذلك ولم يدع جهلا فهو زان يلزمه الحد كما لو وطء المستأجر المستأجرة ويجب المهر إن كانت مكرهة وإن طاوعته فلا على الأصح.

Senin, 15 April 2013

Fitrah

Secara fitri, manusia dikaruniai Allah Swt gharizah an-nau’. Diantara perwujudannya berupa kecintaan pada ibu, bapak, anak dan istri. Dengan naluri itu pula, secara fitri manusia akan terdorong untuk melakukan mencari pasangan dan melahirkan keturunan. Itu pula yang terjadi pada diri Nabiyullah Ibrahim as. Sebagai manusia, beliau juga menginginkan kehadiran seorang anak. Meski usianya kian senja, Nabi Ibrahim as terus berdoa memohon diberikan anak yang shalih. Allah Swt pun berkenan mengabulkan doa beliau.
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (100) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيمٍ (101)
‘Ya Rabb, anugrahkanlah kepadaku [seorang anak] yang termasuk orang shaleh’. Maka Kami beri kabar dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (TQS ash-Shaffat [37]: 100-101)
 Bagi Ibrahim as, Ismail adalah buah hati, harapan dan kecintaannya, yang telah sangat lama didambakan. Ismail bak satu-satunya pohon hijau yang tumbuh di kebun gersang milik seorang petani tua. Ismail mendatangkan kebahagiaan dalam hidup Ibrahim. Ismail pun merasakan penuhnya kasih sayang dan cinta ayahnya. Akan tetapi, di tengah rasa bahagia itu, turunlah perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih putera kesayangannya itu. Allah Swt berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى
“Maka tatkala anak itu telah sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: hai anakku, sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu” (TQS ash-Shaffat [37]: 102)
Menghadapi perintah itu, Ibrahim menghadapi dua pilihan: mengikuti perasaan hatinya dengan ”menyelamatkan” Ismail atau menaati perintah Allah dengan ”mengorbankan” putra kesayangannya. Buat Ibrahim, di hadapannya terbentang dua pilihan, mengedepankan kecintaan yang tinggi (al-mahabbatul ulya), yakni kecintaan kepada Allah atau lebih mengutamakan kecintaan yang rendah (al-mahabbatul adna), yakni kecintaan kepada anak, harta, dan dunia. Tetap menyadari anak yang dicintainya itu sebagai karunia Allah atau malah menjadikannya sebagai أَنْدَداً , pesaing–pesaing Allah yang dicintai sama atau bahkan melebihi kecintaan kepada Allah.
Sekarang, bayangkan ada sesuatu yang kita cintai, yang deminya kita rela mengorbankan apa saja. Itulah “Ismail”-mu. “Ismail”-mu adalah setiap sesuatu yang dapat melemahkan imanmu dan dapat menghalangi dirimu menuju taat kepada Allah. Setiap sesuatu yang dapat membuat dirimu tidak mendengarkan perintah Allah dan menyatakan kebenaran. “Ismail”-mu adalah setiap sesuatu menghalangimu untuk melaksanakan kewajiban-kewajibanmu. Setiap sesuatu yang menyebabkan engkau mengajukan alasan-alasan untuk menghindar dari perintah Allah SWT.
Di dalam hidup ini kita harus mengidentifikasi dan menemukan apa atau siapakah “Ismail” kita itu. Mungkin sekali “Ismail”-mu adalah seorang manusia; bisa anak, istri, suami, orang tua atau siapa saja. Bisa pula harta benda, pangkat, jabatan atau kedudukan. Bisa juga “Ismail”-mu berupa ideologi dan pandangan hidup sekuler, seperti kapitalisme dan sosialisme atau komunisme, dan ideologi lain yang tidak bersumber dari nilai-nilai tauhid.
Ismail”-nya Ibrahim as adalah Ismail as, anaknya sendiri, buah hatinya. Dan saat Ibrahim dihadapkan pilihan sulit itu, setan dengan cepat memanfaatkan kesempatan. Dalam rupa seorang lelaki tua –seperti riwayat Ibn Katsir dalam Tafsirnya dari Abu Hurairah ra- setan berusaha menggoda Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail agar mengabaikan perintah Allah itu. Ibrahim yang tahu bahwa lelaki tua itu adalah setan, segera mengusirnya.
Ketegasan Ibrahim mengusir setan yang terus menggoda itulah spirit yang semestinya diresapi oleh para jamaah haji saat melempar jumrah di Mina yang melambangkan kebencian dan perlawanan terhadap pengaruh setan. Di Mina jutaan jamaah haji telah menegaskan pendirian: menolak dominasi setan.
Sayangnya perlawanan terhadap setan itu seolah hanya terjadi di Mina saja. Buktinya adalah fakta di Indonesia, negara yang paling banyak jumlah jamaah hajinya, hingga kini tetap tegak ideologi dan sistem sekuler kapitalisme, paling banyak korupsi dan bentuk kejahatan lain, yang itu sebagiannya dilakukan oleh mereka yang sudah pernah berhaji. Sepulang dari haji bukan hanya tidak meneruskan perlawanan terhadap setan, tapi telah menjadi kawan atau malah hamba setan.
Perintah amat berat itu pun disambut dengan Ismail as dengan penuh kesabaran. Dia pun mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan mengatakan:
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Wahai ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya’a Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (TQS ash-Shaffat [37]: 102)

Dan tepat ketika pisau tajam itu menyentuh kulit leher Ismail, Allah dengan kekuasaan-Nya menggantinya dengan seekor domba.
فلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاَءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
”Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggil dia, hai Ibrahim sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (TQS ash- Shaffat [37]: 103 – 107)
Inilah teladan yang diberikan oleh Ibrahim yang membawa semangat tauhid. Inilah teladan seorang anak manusia yang menyadari posisinya sebagai makhluq di hadapan Sang Khaliq, sebagai hamba dihadapan al-Ma’bûd, Allah SWT. Inilah teladan dari manusia yang dengan semangat tauhid berhasil merealisasi kecintaan yang tinggi (al-mahabbatul ulya) yaitu kecintaan kepada Allah, dan saat yang sama menghindarkan diri dari kecintaan yang rendah (al-mahabbatul adna) terhadap setiap sesuatu yang bisa menghalanginya untuk taat kepada Allah SWT. Teladan seorang manusia yang berhasil membuktikan keteguhan dalam menjalankan perintah Allah dan ketegasan menepis segala bujuk rayu setan yang terkutuk.
Semangat tauhid yang telah ditunjukkan kepada kita oleh Nabiyullah Ibrahim as itu, sangatlah relevan dan amat kita perlukan dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan saat ini. Kehidupan modern yang serba bendawi, amat mudah membawa kita terjerumus kepada pragmatisme sekuler yang menjadikan kenikmatan jasmani dan semua yang serba material menjadi fokus dari capaian hidup tanpa lagi mengindahkan tolok ukur halal dan haram.
Semangat tauhid itu sangat kita perlukan supaya kita berhasil mewujudkan kecintaan hakiki yang tinggi yakni kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya yang mewujud dalam sikap tunduk, patuh dan terikat kepada ketentuan syariah-Nya. Ketundukan, kepatuhan dan keterikatan kita kepada syariah Allah itu dipastikan akan membawa berkah bagi semua, berbuah cinta Allah kepada kita dan ampunan dari-Nya atas dosa kita. Allah berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (TQS Ali-Imran [3]: 31).