Senin, 15 April 2013

Fitrah

Secara fitri, manusia dikaruniai Allah Swt gharizah an-nau’. Diantara perwujudannya berupa kecintaan pada ibu, bapak, anak dan istri. Dengan naluri itu pula, secara fitri manusia akan terdorong untuk melakukan mencari pasangan dan melahirkan keturunan. Itu pula yang terjadi pada diri Nabiyullah Ibrahim as. Sebagai manusia, beliau juga menginginkan kehadiran seorang anak. Meski usianya kian senja, Nabi Ibrahim as terus berdoa memohon diberikan anak yang shalih. Allah Swt pun berkenan mengabulkan doa beliau.
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (100) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيمٍ (101)
‘Ya Rabb, anugrahkanlah kepadaku [seorang anak] yang termasuk orang shaleh’. Maka Kami beri kabar dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (TQS ash-Shaffat [37]: 100-101)
 Bagi Ibrahim as, Ismail adalah buah hati, harapan dan kecintaannya, yang telah sangat lama didambakan. Ismail bak satu-satunya pohon hijau yang tumbuh di kebun gersang milik seorang petani tua. Ismail mendatangkan kebahagiaan dalam hidup Ibrahim. Ismail pun merasakan penuhnya kasih sayang dan cinta ayahnya. Akan tetapi, di tengah rasa bahagia itu, turunlah perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih putera kesayangannya itu. Allah Swt berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى
“Maka tatkala anak itu telah sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: hai anakku, sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu” (TQS ash-Shaffat [37]: 102)
Menghadapi perintah itu, Ibrahim menghadapi dua pilihan: mengikuti perasaan hatinya dengan ”menyelamatkan” Ismail atau menaati perintah Allah dengan ”mengorbankan” putra kesayangannya. Buat Ibrahim, di hadapannya terbentang dua pilihan, mengedepankan kecintaan yang tinggi (al-mahabbatul ulya), yakni kecintaan kepada Allah atau lebih mengutamakan kecintaan yang rendah (al-mahabbatul adna), yakni kecintaan kepada anak, harta, dan dunia. Tetap menyadari anak yang dicintainya itu sebagai karunia Allah atau malah menjadikannya sebagai أَنْدَداً , pesaing–pesaing Allah yang dicintai sama atau bahkan melebihi kecintaan kepada Allah.
Sekarang, bayangkan ada sesuatu yang kita cintai, yang deminya kita rela mengorbankan apa saja. Itulah “Ismail”-mu. “Ismail”-mu adalah setiap sesuatu yang dapat melemahkan imanmu dan dapat menghalangi dirimu menuju taat kepada Allah. Setiap sesuatu yang dapat membuat dirimu tidak mendengarkan perintah Allah dan menyatakan kebenaran. “Ismail”-mu adalah setiap sesuatu menghalangimu untuk melaksanakan kewajiban-kewajibanmu. Setiap sesuatu yang menyebabkan engkau mengajukan alasan-alasan untuk menghindar dari perintah Allah SWT.
Di dalam hidup ini kita harus mengidentifikasi dan menemukan apa atau siapakah “Ismail” kita itu. Mungkin sekali “Ismail”-mu adalah seorang manusia; bisa anak, istri, suami, orang tua atau siapa saja. Bisa pula harta benda, pangkat, jabatan atau kedudukan. Bisa juga “Ismail”-mu berupa ideologi dan pandangan hidup sekuler, seperti kapitalisme dan sosialisme atau komunisme, dan ideologi lain yang tidak bersumber dari nilai-nilai tauhid.
Ismail”-nya Ibrahim as adalah Ismail as, anaknya sendiri, buah hatinya. Dan saat Ibrahim dihadapkan pilihan sulit itu, setan dengan cepat memanfaatkan kesempatan. Dalam rupa seorang lelaki tua –seperti riwayat Ibn Katsir dalam Tafsirnya dari Abu Hurairah ra- setan berusaha menggoda Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail agar mengabaikan perintah Allah itu. Ibrahim yang tahu bahwa lelaki tua itu adalah setan, segera mengusirnya.
Ketegasan Ibrahim mengusir setan yang terus menggoda itulah spirit yang semestinya diresapi oleh para jamaah haji saat melempar jumrah di Mina yang melambangkan kebencian dan perlawanan terhadap pengaruh setan. Di Mina jutaan jamaah haji telah menegaskan pendirian: menolak dominasi setan.
Sayangnya perlawanan terhadap setan itu seolah hanya terjadi di Mina saja. Buktinya adalah fakta di Indonesia, negara yang paling banyak jumlah jamaah hajinya, hingga kini tetap tegak ideologi dan sistem sekuler kapitalisme, paling banyak korupsi dan bentuk kejahatan lain, yang itu sebagiannya dilakukan oleh mereka yang sudah pernah berhaji. Sepulang dari haji bukan hanya tidak meneruskan perlawanan terhadap setan, tapi telah menjadi kawan atau malah hamba setan.
Perintah amat berat itu pun disambut dengan Ismail as dengan penuh kesabaran. Dia pun mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan mengatakan:
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Wahai ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya’a Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (TQS ash-Shaffat [37]: 102)

Dan tepat ketika pisau tajam itu menyentuh kulit leher Ismail, Allah dengan kekuasaan-Nya menggantinya dengan seekor domba.
فلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاَءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
”Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggil dia, hai Ibrahim sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (TQS ash- Shaffat [37]: 103 – 107)
Inilah teladan yang diberikan oleh Ibrahim yang membawa semangat tauhid. Inilah teladan seorang anak manusia yang menyadari posisinya sebagai makhluq di hadapan Sang Khaliq, sebagai hamba dihadapan al-Ma’bûd, Allah SWT. Inilah teladan dari manusia yang dengan semangat tauhid berhasil merealisasi kecintaan yang tinggi (al-mahabbatul ulya) yaitu kecintaan kepada Allah, dan saat yang sama menghindarkan diri dari kecintaan yang rendah (al-mahabbatul adna) terhadap setiap sesuatu yang bisa menghalanginya untuk taat kepada Allah SWT. Teladan seorang manusia yang berhasil membuktikan keteguhan dalam menjalankan perintah Allah dan ketegasan menepis segala bujuk rayu setan yang terkutuk.
Semangat tauhid yang telah ditunjukkan kepada kita oleh Nabiyullah Ibrahim as itu, sangatlah relevan dan amat kita perlukan dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan saat ini. Kehidupan modern yang serba bendawi, amat mudah membawa kita terjerumus kepada pragmatisme sekuler yang menjadikan kenikmatan jasmani dan semua yang serba material menjadi fokus dari capaian hidup tanpa lagi mengindahkan tolok ukur halal dan haram.
Semangat tauhid itu sangat kita perlukan supaya kita berhasil mewujudkan kecintaan hakiki yang tinggi yakni kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya yang mewujud dalam sikap tunduk, patuh dan terikat kepada ketentuan syariah-Nya. Ketundukan, kepatuhan dan keterikatan kita kepada syariah Allah itu dipastikan akan membawa berkah bagi semua, berbuah cinta Allah kepada kita dan ampunan dari-Nya atas dosa kita. Allah berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (TQS Ali-Imran [3]: 31).