Secara
fitri, manusia dikaruniai Allah Swt gharizah an-nau’. Diantara
perwujudannya berupa kecintaan pada ibu, bapak, anak dan istri. Dengan naluri
itu pula, secara fitri manusia akan terdorong untuk melakukan mencari pasangan
dan melahirkan keturunan. Itu pula yang terjadi pada diri Nabiyullah Ibrahim
as. Sebagai manusia, beliau juga menginginkan kehadiran seorang anak. Meski
usianya kian senja, Nabi Ibrahim as terus berdoa memohon diberikan anak yang
shalih. Allah Swt pun berkenan mengabulkan doa beliau.
رَبِّ هَبْ لِي
مِنَ الصَّالِحِينَ (100) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيمٍ (101)
‘Ya Rabb,
anugrahkanlah kepadaku [seorang anak] yang termasuk orang shaleh’. Maka Kami
beri kabar dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (TQS ash-Shaffat
[37]: 100-101)
Bagi Ibrahim as, Ismail adalah buah hati, harapan dan
kecintaannya, yang telah sangat lama didambakan. Ismail bak satu-satunya pohon
hijau yang tumbuh di kebun gersang milik seorang petani tua. Ismail
mendatangkan kebahagiaan dalam hidup Ibrahim. Ismail pun merasakan penuhnya
kasih sayang dan cinta ayahnya. Akan tetapi, di tengah rasa bahagia itu,
turunlah perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih putera kesayangannya
itu. Allah Swt berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ
مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ
فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى
“Maka tatkala
anak itu telah sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: hai anakku, sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu” (TQS ash-Shaffat
[37]: 102)
Menghadapi
perintah itu, Ibrahim menghadapi dua pilihan: mengikuti perasaan hatinya dengan
”menyelamatkan” Ismail atau menaati perintah Allah dengan ”mengorbankan” putra
kesayangannya. Buat Ibrahim, di hadapannya terbentang dua pilihan,
mengedepankan kecintaan yang tinggi (al-mahabbatul ulya), yakni
kecintaan kepada Allah atau lebih mengutamakan kecintaan yang rendah (al-mahabbatul
adna), yakni kecintaan kepada anak, harta, dan dunia. Tetap menyadari anak
yang dicintainya itu sebagai karunia Allah atau malah menjadikannya sebagai أَنْدَداً , pesaing–pesaing Allah yang dicintai sama
atau bahkan melebihi kecintaan kepada Allah.
Sekarang,
bayangkan ada sesuatu yang kita cintai, yang deminya kita rela mengorbankan apa
saja. Itulah “Ismail”-mu. “Ismail”-mu adalah setiap sesuatu yang
dapat melemahkan imanmu dan dapat menghalangi dirimu menuju taat kepada Allah.
Setiap sesuatu yang dapat membuat dirimu tidak mendengarkan perintah Allah dan
menyatakan kebenaran. “Ismail”-mu adalah setiap sesuatu menghalangimu
untuk melaksanakan kewajiban-kewajibanmu. Setiap sesuatu yang menyebabkan
engkau mengajukan alasan-alasan untuk menghindar dari perintah Allah SWT.
Di
dalam hidup ini kita harus mengidentifikasi dan menemukan apa atau siapakah “Ismail”
kita itu. Mungkin sekali “Ismail”-mu adalah seorang manusia; bisa anak,
istri, suami, orang tua atau siapa saja. Bisa pula harta benda, pangkat,
jabatan atau kedudukan. Bisa juga “Ismail”-mu berupa ideologi dan
pandangan hidup sekuler, seperti kapitalisme dan sosialisme atau komunisme, dan
ideologi lain yang tidak bersumber dari nilai-nilai tauhid.
“Ismail”-nya
Ibrahim as adalah Ismail as, anaknya sendiri, buah hatinya. Dan saat Ibrahim
dihadapkan pilihan sulit itu, setan dengan cepat memanfaatkan kesempatan. Dalam
rupa seorang lelaki tua –seperti riwayat Ibn Katsir dalam Tafsirnya dari Abu
Hurairah ra- setan berusaha menggoda Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail agar
mengabaikan perintah Allah itu. Ibrahim yang tahu bahwa lelaki tua itu adalah
setan, segera mengusirnya.
Ketegasan
Ibrahim mengusir setan yang terus menggoda itulah spirit yang semestinya
diresapi oleh para jamaah haji saat melempar jumrah di Mina yang melambangkan
kebencian dan perlawanan terhadap pengaruh setan. Di Mina jutaan jamaah haji
telah menegaskan pendirian: menolak dominasi setan.
Sayangnya
perlawanan terhadap setan itu seolah hanya terjadi di Mina saja. Buktinya
adalah fakta di Indonesia, negara yang paling banyak jumlah jamaah hajinya,
hingga kini tetap tegak ideologi dan sistem sekuler kapitalisme, paling banyak
korupsi dan bentuk kejahatan lain, yang itu sebagiannya dilakukan oleh mereka
yang sudah pernah berhaji. Sepulang dari haji bukan hanya tidak meneruskan
perlawanan terhadap setan, tapi telah menjadi kawan atau malah hamba setan.
Perintah
amat berat itu pun disambut dengan Ismail as dengan penuh kesabaran. Dia pun
mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan mengatakan:
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ
سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Wahai ayahanda,
lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya’a Allah engkau akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (TQS ash-Shaffat
[37]: 102)
Dan tepat ketika
pisau tajam itu menyentuh kulit leher Ismail, Allah dengan kekuasaan-Nya
menggantinya dengan seekor domba.
فلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ
(103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا
إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاَءُ
الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
”Tatkala
keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya,
(nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggil dia, hai Ibrahim sesungguhnya
engkau telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar
suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang
besar” (TQS
ash- Shaffat [37]: 103 – 107)
Inilah
teladan yang diberikan oleh Ibrahim yang membawa semangat tauhid. Inilah
teladan seorang anak manusia yang menyadari posisinya sebagai makhluq di
hadapan Sang Khaliq, sebagai hamba dihadapan al-Ma’bûd, Allah SWT.
Inilah teladan dari manusia yang dengan semangat tauhid berhasil merealisasi
kecintaan yang tinggi (al-mahabbatul ulya) yaitu kecintaan kepada
Allah, dan saat yang sama menghindarkan diri dari kecintaan yang rendah (al-mahabbatul
adna) terhadap setiap sesuatu yang bisa menghalanginya untuk taat kepada
Allah SWT. Teladan seorang manusia yang berhasil membuktikan keteguhan dalam
menjalankan perintah Allah dan ketegasan menepis segala bujuk rayu setan yang
terkutuk.
Semangat
tauhid yang telah ditunjukkan kepada kita oleh Nabiyullah Ibrahim as itu,
sangatlah relevan dan amat kita perlukan dalam menjalani kehidupan yang penuh
tantangan saat ini. Kehidupan modern yang serba bendawi, amat mudah membawa
kita terjerumus kepada pragmatisme sekuler yang menjadikan kenikmatan jasmani
dan semua yang serba material menjadi fokus dari capaian hidup tanpa lagi
mengindahkan tolok ukur halal dan haram.
Semangat
tauhid itu sangat kita perlukan supaya kita berhasil mewujudkan kecintaan
hakiki yang tinggi yakni kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya yang mewujud
dalam sikap tunduk, patuh dan terikat kepada ketentuan syariah-Nya. Ketundukan,
kepatuhan dan keterikatan kita kepada syariah Allah itu dipastikan akan membawa
berkah bagi semua, berbuah cinta Allah kepada kita dan ampunan dari-Nya atas
dosa kita. Allah berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah,
jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai
dan mengampuni dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (TQS Ali-Imran
[3]: 31).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar