ASURANSI
(At-Ta'min)
Oleh: M. Zamroni,
M.H.I
Asuransi adalah transaksi perjanjian antara dua pihak ; pihak yang
satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan
jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa
pihak pertama atau barang miliknya sesuai dengan perjanjian yang dibuat.
Pembahasan tentang asuransi tidak dijumpai dalam fiqih klasik, karena bentuk
transaksi ini baru muncul pada abad ke-13 dan ke-14 di Italia dalam bentuk
asuransi perjalanan laut.
Para ahli fiqih kontemporer, seperti Wahbah az-zuhaili (ahli fiqih dan
ushul fiqih asal Suria), mendefinisikan sesuai dengan pembagiannya. Menurutnya,
asuransi itu ada dua bentuk, yaitu at-ta’min at-ta’awuni. Asuransi ini
adalah kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti
rugi ketika salah seorang diantara mereka mendapat kemudaratan. Kemudaratan
yang menimpa para peserta asuransi ini dapat berbentuk kecelakaan, kematian,
kebakaran, kebanjiran, kecurian dan bentuk-bentuk kerugian lainnya sesuai
dengan kesepakatan bersama. Asuransi seperti ini dapat
juga berlaku bagi orang-orang yang pensiun, tua renta, dan tertimpa sakit.
Sedangkan at-ta’min biqist sabit (asuransi dengan pembagian tetap)
adalah aqad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak
asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila
peserta asuransi mendapatkan kecelakaan, ia diberi ganti rugi.
Lebih lanjut dikatakannya, bentuk asuransi yang berkembang saat ini
adalah at-ta’min biqist sabit. Sifat akad ini mengikat kedua belah
pihak. Perbedaan antara kedua asuransi ini, menurut Mustafa al-Buga (guru besar
fiqih islam di Universitas Damascus, Suria), terletak pada tujuan
masing-masing. At-ta’min at-ta’awuni pada dasarnya tidak mencari
keuntungan, tetapi semata-mata untuk kepentingan bersama ketika terjadi
kemudaratan atas diri salah seorang anggotanya. Tidak ada perbedaan pendapat
diantara ulama tentang hukum kebolehan at-ta’mn at-ta’wuni, karena dasar
dari jenis asuransi ini sejalan dengan prinsip Islam. Allah SWT dalam surah
Al-maidah ayat 2 berfirman : “ …Dan tolong-menolong lah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran…”. Menurut
Wahbah az-zuhaili, at-ta’min at-ta’awuni boleh dilakukan, namun asuransi
seperti ini jarang sekali dijumpai dalam kenyataan. Adapun tujuan utama at-ta’min
bi qist sabit adalah mendapatkan keuntungan disamping melakukan beberapa
jaminan terhadap para pesertanya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai at-ta’min biqist sabit. Untuk
melihat lebih jauh asuransi ini perlu diperinci pembagiannya sesuai dengan
objek asuransi itu sendiri. Mustafa al-Buga memperinci bentuk-bentuk asuransi
dilihat dari objeknya sebagai berikut ;
1) Asuransi kerugian. Asuransi yang akan diterima oleh pesertanya ketika ia
ditimpa oleh suatu kerugian yang disebabakan oleh peristiwa-peristiwa tertentu.
Bentuk asuransi ini ada dua, yaitu : a) asuransi kerugian harta yang
disebabkan oleh kebakaran, kebanjiran, kecurian, dan sejenisnya, dan b)
asuransi yang menjamin kerugian yang timbul akibat tanggung jawabnya, seperti
menabrak orang atau pekerja/pegawainya mendapat kecelakaan kerja.
2)
Asuransi pribadi. Dalam asuransi ini, peserta mendapatkan
sejumlah uang jika ia mendapat
suatu kerugian, baik ia masih hidup maupun mati. Asuransi pribadi ini ada dua bentuk, a) asuransi yang berkaitan
dengan kehidupan peseta, terdiri atas tiga bentuk ;
1). Asuransi kematian, berupa transaksi yang mewajibkan peserta untuk
membayarkan sejumlah uang secara periodik kepada perusahaan asuransi dan pihak
perusahan wajib memberikan sejumlah uang ketika peserta meninggal. Uang ini
dapat diserahkan kepada orang yang ditunjuk oleh peserta atau ahli warisnya. 2).
Asuransi dalam jangka waktu teretentu, berupa transaksi yang mewajibkan peserta
membayarkan sejumlah uang secara periodik kepada perusahaan asuransi dan pihak
perusahaan wajib membayar sejumlah uang kepada peserta jika tenggang waktunya
telah datang dan peserta masih hidup. Peserta asuransi tidak mendapatkan uang
ganti rugi jika ia meninggal sebelum tenggang waktu datang. 3). Asuransi
yang sifatnya peserta menerima sejumlah uang dari pihak perusahaan asuransi
pada waktu-waktu tertentu jika ia masih hidup atau diberikan kepada oarang yang
ditunjuk peserta atau ahli warisnya jika ia telah meninggal. Dalam asuransi
bentuk terakhir ini uang yang dibayarkan peserta secara periodik lebih besar
dari pada asuransi sebelumnya. b). Asuransi kecelakaan apabila peserta
menderita kecelakaan badan.
Berbeda dengan at-ta’min
at-ta’awuni, hukum asuransi ini dengan segala bentuknya yang disebutkan diatas
masih diperselisihkan para ulama. Ulama pertama yang membicarakan masalah
asuransi dalam fiqih islam adalah Ibnu Abidin (1784-1836), ahli fiqih Mazhab Hanafi
yang dibicarakannya itu adalah asuransi keselamatan barang yang diangkut oleh
kapal laut. Dalam asuransi ini, pemilik barang berkewajiban membayar upah atas
kapal yang dipergunakan untuk mengangkut barang tersebut. Disamping itu
pedagang ini pun berkewajiban membayarkan sejumlah uang kepada pihak perusahaan
asuransi sebagai jaminan atas kerusakan yang mungkin terjadi terhadap barang
tersebut, seperti kapal itu kebakaran, tenggelam atau dibajak orang. Apabila
hal itu terjadi, maka pihak perusahaan akan membayar kerugiaan yang diderita
pedagang itu. Dalam hal ini Ibnu Abidin berpendapat bahwa tidak halal bagi
pedagang itu mengambil uang ganti rugi atas barang-barangnya yang telah musnah,
karena akad seperti itu ‘’ mewajibakan sesuatu yang tidak wajib ‘’. Menurut
ketentuan dalam bermuamalah, apabila ada satu pihak menderita kerugian yang
tidak disebabkan oleh perbuatan pihak lain yang berakad, maka yang kedua itu
tidak boleh dikenakan tanggung jawab untuk mengganti kerugian, karena transaksi
seperti ini mengandung garar (penipuan) yang dilarang syariat (hukum
islam). Oleh sebab itu Wahbah Zuhaili meletakkan pembahasan asuransi dalam
pembahasan ‘aqad al-garar (akad yang mengandung penipuan).
Para ulama fikih mengemukakan
beberapa analisis dalam membahas hukum at-ta‘min biqist sabit, sebagai
berikut ;
Akad ini
sesuatu yang tidak mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan, karena tidak ada
syar’i (hukum) yang mengacu kepada kewajiban seseorang membayar ganti rugi.
Ganti rugi dalam fikih muamalah hanya dapat diberlakukan jika kerugian ditimbul
oleh suatu sikap permusuhan atau tindakan seweng-wenang dari pihak lain
terhadap jiwa dan harta benda seseorang. Asuransi sulit untuk dimasukkan
kedalam akad penipuan semata-mata, karena asuransi tidak bermaksud menipu pesertanya.
Namun, pihak asuransi juga tidak dapat memastikan barang peserta asuransi. Jika
pihak asuransi dan pemilik barang mengetahui secara pasti akan terjadi suatu
bahaya atau kecelakaan, maka boleh diberlakukan ganti rugi.
Asuransi bukan salah satu bentuk akad Wadi’ah
(titipan) yang dapat dituntut ganti rugi apabila pemegang titipan lalai dengan
kewajibannya. Dalam asuransi, barang yang ditanggung tidak ada berada ditangan
pihak penanggung (perusahaan asuransi). Dalam kasus asuransi keselamatan barang
seperti dibicarakan diatas, pihak penanggung adalah pemilik kapal laut.
Statusnya ketika itu dikatagorikan kedalam akad mudlarabah (tabungan
berjangka), yaitu ada dua penyebab ; a) Setoran wajib yang dibayarkan
peserta asuransi menjadi milik peruasahaan asuransi dan pihak perusahaan bebas
menggunakan uang tersebut, sedangkan peserta tidak mendapatkan apapun jika ia tidak ditimpa kecelakaan atau
kerugian. b) Salah satu syarat dalam mudarabah adalah keuntungan yang diperoleh
dibagi antara pemilik modal dan pekerja sesuai dengan kesepakatan mereka,
sedangkan dalam asuransi tidak demikian. Kalaupun ada bagian yang dapat
diterima dari perusahaan asuransi tersebut, maka jumlahnya sudah ditentukan,
yaitu 3% atau 4%.
Berkaitan dengan itu, Wahbah Zuhaili menyimpulkan bahwa asuransi
termasuk ‘aqad al-garar yang dilarang Rasulullah SAW. Akan tetapi
Muhammad abduh (pembaharu dari Mesir 1849-1905) mengatakan bahwa asuransi jiwa
termasuk kedalam akad mudarabah, karena bersifat tolong-menolong. Oleh karena
itu, ia memebolehkan akad asuransi jiwa dalam fatwanya. Muhammad abduh orang
yang pertama kali memfatwakan masalah asuransi jiwa.
Pendapat lain datang dari Syekh
Muhammad Bahis al-Muti (1854-1935), ia berpendapat bahwa menurut hukum Islam jaminan
atas harta benda ada kalanya dengan cara kafalah (tanggungan) atau ta’addii
itlaf (perbuatan sewenang-wenang dari orang lain). Dalam masalah asuransi,
jaminan dengan cara kafalah tidaklah cocok. Karena, dalam akad kafalah ada
utang yang harus dibayar dan benda yang dijadikan jaminan yang sepenuhnya
diserahkan kepada penjamin. Jika benda itu musnah, maka pihak penjamin wajib
menggantinya dengan barang yang sejenis atau dengan nilai yang sama. Dalam
asuransi tidak ditemukan proses seperti ini. Adapun ganti rugi yang harus
dibayar oleh orang yang berbuat seenaknya terhadap barang orang lain,
prinsipnya seuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-baqarah ayat 194 yang
artinya : ‘’…barang sisapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia
seimbang dengan serangannya terhadapmu… ‘’. Dalam asuransi, perusahaan
tentunya tidak melakukan tindakan ta’addi itlaf terhadap barang tersebut. Bahkan kecelakaan
yang menimpa barang atau orang yang menjadi peserta asuransi sama sekali tidak
terkait dengan perusahaan. Oleh sebab itu asuransi pun tidak dapat dikatagorikan kedalam cara ini.
Dalam seminar
fiqih Islam (1960) Di Damascus, Syria, Ahmad Mustafa az-Zarqa(guru besar usul
fiqh dan fiqh di Universitas Damascus) mengemukakan pendapatnya tentang
asuransi sebagai berikut ;
- Masalah asuransi adalah masalah baru,
tidak ada nashnya.
- Asuransi tidak termasuk kedalam
jenis pertaruhan atau untungan. Menurutnya, unsur tolong menolong-menolong yang
ada dalam asuransi membuat akad ini berada jauh dari akad untung-untungan.
Kedua pihak yang berakad dalam asuransi memperoleh manfaat yang pasti. Pihak
perusahaan asuransi mendapat keuntungan dan peserta merasa aman terhadap bahaya
yang dikhawatirkannya, disamping mendapat ganti rugi, akad ini juga tidak
mengandung jahalah (kesamaran). Oleh sebab itu hukum asuransi halal
menurut syara’. Pendapat senada juga dikemukakan oleh As-Sadiq Muhammad Amin
Ad-Darir {guru besar fiqih islam di Universitas khartum Sudan}dan at-Tayyib
Hasan an-Najar, Bahgat Ahmad Hilmy, serta Dr.M. Umruddin (dekan fakultas
sastraUniversitas Aligra, India)dalam kesempatan itu dia tidak mengemukakan
pendapatnya secara tegas. Tapi hanya menganjurkan umat Islam menghindarkan diri
dari asuransi, karena bagaimnapun juga asuransi itu terkait dengan riba.
Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah
dalam konfrensinya (389H/ 965M)di Cairo, Mesir, tidak memberikan kesimpulan
final tentang hukum asuransi. Lembaga ini hanya menyatakan bahwa asuransi yang
diselenggarakan oleh badan-badan perkumpulan dengan tujuan tolong-menolong.
Seperti at-t’min at-ta’awuni, hukumnya boleh. Demikian juga halnya
dengan asuransi pensiun bagi pegawai negri yang diselenggarakan oleh
pemerintah. Akan tetapi asuransi yang berkembang saat ini seperti asuransi
kecelakaan, pertanggung jawaban tertanggung, dan asuransi jiwa, oleh konfrensi
diputuskan harus diteliti lebih jauh dengan melibatkan berbagai ahli yang
terkait.
Menaggapi
masalah asuransi dengan segala bentuknya yang berkembang saat ini dan masih
diperselisihkan, KH Ali Yafie, mengatakan bahwa asuransi itu diciptakan di
dunia barat dan diatur oleh hukum barat, sehingga mempunyai watak, bentuk,
sifat dan tujuan yang berbeda dari wujud muamalah yang dikenal dalam fiqih di
dunia Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar