Aturan-Aturan Permainan
Ekonomi Islam
Oleh: M.
Zamroni, M. H.I
Konsep
Ekonomi Islam Allah telah menetapkan batas-batas tertentu terhadap perilaku
manusia sehingga menguntungkan individu tanpa mengorbankan hak-hak individu
lainnya. Perilaku mereka yang ditetapkan dalam Hukum Allah (Syari’ah) harus
diawasi oleh masyarakat secar keseluruhan, berdasarkan aturan Islam.
Penjelasan
Yang kami maksud dengan istilah ini adalah perangkat perintah dan aturan
sosial, politik, agama, moral dan hukum yang mengikat masyarakat.
Lembaga-lembaga sosial disusun sedemikian rupa untuk mengarahkan
individu-individu sehingga mereka secara baik melaksanakan aturan-aturan ini
dan mengontrol serta mengawasi penampilan ini. Berlakunya aturan-aturan ini
membentuk lingkungan di mana para individu melakukan kegiatan ekonomik mereka.
Aturan-aturan itu sendiri bersumber pada kerangka konseptual masyarakat dalam
hubungannya dengan Kekuatan Tertinggi (Tuhan), kehidupan, sesama manusia,
dunia, sesama makhluk dan tujuan akhir manusia. Di sini hanya akan meneliti beberapa
aturan "permainan" ekonomi Islam itu tanpa mendalami berbagai
implikasi yang timbul daripadanya, karena (hal itu) berada di luar cakupan
uraian ini.
Alam
semesta, termasuk manusia, adalah milik Allah, yang memiliki kemahakuasaan
(kedaulatan) sepenuhnya dan sempurna atas makhluk-makhluk-Nya. Manusia, tanpa
diragukan, merupakan tatanan makhluk tertinggi diantara makhluk-makhluk yang
telah dicipta-Nya, dan segala sesuatu yang ada di muka bumi dan di langit
ditempatkan di bawah perintah manusia. Dia diberi hak untuk memanfaatkan
semuanya ini sebagai khalîfah atau pengemban amanat Allah. Manusia diberi
kekuasaan untuk melaksanakan tugas kekhalifahan (khilâfah) ini dan untuk
mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuannya
dari barang-barang ciptaan Allah ini.
Allah
telah menetapkan batas-batas tertentu terhadap perilaku manusia sehingga
menguntungkan individu tanpa mengorbankan hak-hak individu-individu lainnya.
Dia telah menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu terhadap manusia; penampilan
(perilaku) mereka yang ditetapkan dalam Hukum Allah (Syari'ah) harus diawasi
oleh masyarakat secara keseluruhan, berdasarkan aturan Islam hak-hak yang
diterima oleh manusia dari Allah dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan
sosial merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap umat Muslim.
Semua
manusia tergantung pada Allah. Semakin ketat ketergantungan manusia kepada
Allah maka dia semakin dicintai-Nya. Setiap orang secara pribadi bertanggung
jawab atas pengembangan masyarakat dan atas lenyapnya kesulitan-kesulitan yang
mereka hadapi, individu ini pada akhirnya bertanggung jawab atas setiap
kegagalan usaha masyarakat dalam bekerjasama dan melakukan kerja kolektif .
Status
khalîfah atau pengemban amanat Allah itu berlaku umum bagi semua manusia; tidak
ada hak istimewa bagi individu atau bangsa tertentu sejauh berkaitan dengan
tugas kekhalifahan itu. Namun ini tidak berarti bahwa umat manusia selalu atau
harus memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keuntungan dari alam semesta
itu. Mereka memiliki kesamaan hanya dalam kesempatannya, dan setiap individu
bisa mendapatkan keuntungan itu sesuai dengan kemampuannya. Individu-individu
dicipta (oleh Allah) dengan kemampuan yang berbeda-beda sehingga mereka secara
instinktif diperintah untuk hidup bersama, bekerja bersama, dan saling
memanfaatkan keterampilan mereka masing-masing. Namun demikian ini tidak
berarti (bahwa Islam) memberikan superioritas (kelebihan) kepada majikan
terhadap pekerjanya dalam kaitannya dengan harga dirinya sebagai manusia atau
dengan statusnya dalam hukum. Hanya kadang-kadang saja bahwa pada saat tertentu
seseorang menjadi majikan dan (pada saat lain) menjadi pekerja. Pada saat lain
situasinya bisa berbalik dan mantan majikan bisa menjadi majikan, dan
sebagainya; dan hal serupa juga bisa diterapkan terhadap budak dan majikan.
Individu-individu
memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai manusia. Tidak ada pembedaan bisa
diterapkan atau dituntut berdasarkan warna kulit, ras, kebangsaan, agama, jenis
kelamin atau umur. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban ekonomik setiap individu
disesuaikan dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya dan dengan
peranan-peranan normatif masing-masing dalam struktur sosial. Berdasarkan hal
inilah beberapa perbedaan muncul antara orang-orang dewasa, di satu pihak, dan
orang jompo atau remaja, di pihak lain, atau antara laki-laki dan perempuan.
Kapan saja ada perbedaan-perbedaan seperti ini, maka hak-hak dan
kewajiban-kewajiban mereka harus diatur sedemikian rupa sehingga tercipta
keseimbangan.
Islam
tidak mengakui adanya kelas-kelas sosio-ekonomik sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan prinsip persamaan maupun dengan prinsip persaudaraan
(ukhuwwah). Kekuatan ekonomik dibedakan dengan kekuatan sosio-politik, antara
lain, karena adanya fakta bahwa tujuan-tujuan besar dan banyak rinciannya
ditekankan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, dan karena dilestarikannya metode-metode
yang digunakan oleh umat Muslim untuk menetapkan hukum mengenai hal-hal rinci
yang tidak ditentukan sebelumnya.
Dalam
Islam bekerja dinilai sebagai kebaikan dan kemalasan dinilai sebagai kejahatan.
Dalam kepustakaan Islam modern orang bisa menemukan banyak uraian rinci
mengenai hal ini. Al-Qur'an mengemukakan kepada Nabi dengan mengatakan:
"... dan katakanlah (Muhammad kepada umat Muslim): Bekerjalah." Nabi
juga diriwayatkan telah melarang pengemisan kecuali dalam keadaan kelaparan.
Ibadat yang paling baik adalah bekerja, dan pada saat yang sama bekerja
merupakan hak dan sekaligus kewajiban. Kewajiban masyarakat dan badan yang
mewakilinya adalah menyediakan kesempatan-kesempatan kerja kepada para
individu. Buruh yang bekerja secara manual dipuji dan Nabi SAW diriwayatkan
pernah mencium tangan orang yang bekerja itu. Monastisisme dan asketisisme
dilarang; Nabi SAW diriwayatkan pernah bersabda bahwa orang-orang yang
menyediakan makanan dan keperluan-keperluan lain untuk dirinya (dan
keluarganya) lebih baik daripada orang yang menghabiskan waktunya untuk
beribadat tanpa mencoba berusaha mendapatkan penghasilan untuk menghidupinya
sendiri. Sebagai konsekuensinya, menjadi imam shalat dan berkhutbah dalam Islam
merupakan pekerjaan sukarela yang tidak perlu dibayar. Nabi SAW pernah memohon
kepada Allah SWT untuk berlindung diri agar beliau, antara lain, tidak
terjangkit penyakit lemah dan malas.
Kehidupan
adalah proses dinamik menuju peningkatan. Ajaran-ajaran Islam memandang
kehidupan manusia di dunia ini sebagai pacuan dengan waktu. Umur manusia sangat
terbatas dan banyak sekali peningkatan yang harus dicapai dalam rentang waktu
yang sangat terbatas ini. Kebaikan dan kesempurnaan sendiri merupakan
tujuan-tujuan dalam proses ini. Nabi SAW diceritakan pernah menyuruh seorang
penggali liang kubur untuk memperbaiki lubang yang dangkal di suatu kuburan
meskipun hanya permukaannya saja. Beliau menetapkan aturan bahwa "Allah
menyukai orang yang, bila dia melakukan sesuatu melakukannya dengan cara yang
sangat baik."
Jangan
membikin madarat (kesulitan) dan jangan ada madarat" adalah frasa yang
senantiasa diucapkan oleh Nabi SAW. Frasa ini berarti "madarat yang
direncanakan secara sadar dan dilakukan oleh seseorang untuk menyakiti, dan
juga yang dilakukan sekedar untuk melukai. Fakta mengenai madarat yang
menyakitkan seseorang perlu mendapatkan perhatian, baik yang disengaja oleh
pelakunya untuk maksud tersebut maupun yang tidak dimaksudkan untuk tujuan
tersebut. Madarat harus dilenyapkan tanpa mempertimbangkan niat yang
melatarbelakanginya. Namun kita harus cukup realistik dalam mengamati bahwa
menghilangkan "madarat" sama sekali dari kehidupan manusia adalah
tidak mungkin. Madarat itu sendiri selalu tidak diharapkan. Namun bila hal itu
merupakan syarat yang tidak dapat dielakkan adanya, maka ia bisa
dibenarkan."
Suatu
kebaikan dalam peringkat kecil secara jelas dirumuskan. Pelaksanaan kebaikan
ini diawasi oleh lembaga-lembaga sosial yang pada akhirnya mewajibkannya dengan
kekuatan hukum. Menurut Islam tidak cukup bila hanya mempercayakan kepada niat
baik seseorang untuk melakukan, katakanlah, perbuatan-perbuatan santun
(memberikan sadaqah). Sebaliknya, sebagian besar dari apa yang disebut santunan
sukarela dalam masyarakat non-Muslim harus didukung oleh hukum dalam masyarakat
Muslim. Setiap Muslim dihimbau oleh sistem etika (akhlak) Islam untuk bergerak
melampaui peringkat minim dalam beramal salih. Mematuhi ajaran-ajaran Islam
dalam semua aspeknya, oleh Islam dianggap sebagai sarana untuk mendapatkan
ridla Allah.
Ada
beberapa prinsip yang melandasi fungsi-fungsi pasar dalam masyarakat Muslim.
Semua harga, baik yang terkait dengan faktor-faktor produksi maupun produknya
sendiri bersumber pada mekanisme ini, dan karena itu diakui sebagai harga-harga
yang adil atau wajar. Barangkali hal ini tidak sejalan dengan konsep
"harga yang adil" menurut Siddîqî yang didasarkan atas ongkos
produksi. Karena itu dalam kajian ini lebih baik digunakan istilah "harga
yang sesuai," bukan "harga yang adil." Sebagai konsekuensinya,
istilah yang kami gunakan ini lebih sesuai dengan berbagai tradisi dalam Hukum
(Fiqh) Islam dan dapat mengekspresikan isi konseptual istilah tersebut secara
lebih memuaskan. Pembahasan rinci mengenai "teori harga yang sesuai"
dapat dibaca dalam, "The Economic Views of Ibn Taimiyyah."
Komentar
yang kedua mengenai analisis terdahulu ialah bahwa mekanisme pasar dalam
masyarakat Muslim tidak boleh dianggap sebagai struktur atomistik. Memang Islam
tidak menghendaki adanya koalisi antara para penawar dan peminta, tetapi ia
tidak mengesampingkan kemungkinan adanya akumulasi atau konsentrasi produksi
selama tidak ada cara-cara yang tidak jujur digunakan dalam proses tersebut,
dan kedua hal tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip kebebasan dan kerjasama.
Namun dalam prakteknya, adanya akumulasi dan atau konsentrasi harta itu bisa
mengundang campur tangan pemerintah. Campur tangan ini bisa berbentuk pengambilalihan
produksi yang dimonopoli (oleh perorangan atau perusahaan tertentu) atau
pengawasan dan penetapan harga oleh pemerintah.
Yang
ketiga dan terakhir adalah mengenai teori nilai. Dalam ekonomi Islam tidak ada
sama sekali pemisahan antara manfaat normatif suatu mata dagangan dan nilai
ekonomiknya. Dengan perkataan lain, semua yang dilarang digunakan tidak
memiliki nilai ekonomik. Tentu saja karena minuman keras tidak bernilai sama
sekali dalam masyarakat Muslim, maka semua penawaran yang ada harus dianggap
tidak ada dan setiap usaha untuk memproduksi dan mendistribusikannya sama
sekali dianggap sebagai pemborosan dalam pengertian ekonomik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar