Mencium Tangan,,, Gimana ya..?
Oleh: M. Zamroni
Assalamualaikum Wr. Wb..
Bismillah. Ustadz, Saya terbiasa
dari kecil selalu mencium tangan kedua orang tua saat berjumpa, baik ketika
keluar rumah maupun kembali ke rumah. Nah, yang ingin saya tanyakan adalah:
Bagaimana Islam menyikapi cium tangan tersebut? Jika saya lakukan kepada guru
saya atau ustadz saya, dan tentunya guru atau ustadz saya itu adalah laki-laki.
Apakah ada hadist yang menganjurkan atau melarang? Demikian pertanyaan saya
ustadz. Sebelumnnya jazakumullah khair.
Wassalamualaikum Wr. Wb..
BQ. Nurul Aini
Jawaban
Ustadz. M. Zamroni
Assalamu`alaikum Wr. Wb..
Mencium tangan orang tua atau orang
yang kita hormati pada dasarnya tidak dijelaskan oleh syari' secara
khusus dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dan pada bab-bab fiqh maupun akhlaq yang
bersifat tasyri`. Sehingga bila dilihat secara sharih perintahnya,
bukanlah sesuatu yang bersifat wajib, sunnah atau hukum yang lainnya.
Bentuk mencium tangan atau memeluk
adalah merupakan `urf (kebiasaan) yang berlaku di dalam suatu budaya
atau tata nilai masyarakat tertentu.
Hukumnya berbeda dengan mushafahah
yang memang mengandung unsur tasyri` . Namun meski tidak terkandung hukum
tasyri` secara langsung, bukan berarti harus ditinggalkan atau dilarang. Karena
Islam sendiri mengakui dan bahkan sering mengaitkan antara `urf dengan
syariat. Tentu saja selama `urf itu tidak bertentangan dengan asas syariat
itu sendiri. Sebagai contoh, bila seorang suami berkata kepada istrinya,
”Kembalilah ke rumah orang tuamu”.
Secara syariat, konsekuensinya
masih menggantung pada `urf atau kebiasaan yang berlaku di negeri itu.
Apakah ucapan itu secara `urf diartikan sebagai talaq atau tidak?
Bila `urf mengakui itu adalah talaq, maka jatuhlah talaq.
Sebaliknya bila `urf tidak mengakui sebagai talaq, maka tidak
jatuh talaq-nya. Sehingga kita mengenal sebuah kaidah yang berbunyi: Al-`Aadatu
Muhakkamah”. Sebuah adat atau tradisi itu bisa dijadikan dasar hukum. Tentu
saja adat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam itu sendiri.
Kaidah ini tidak bisa diterapkan
pada masalah memberi sesajen kepada penghuni makam keramat pada malam jumat
kliwon, dengan alasan bahwa itu adalah adat. Adat seperti itu adalah adat yang
batil, kufur, syirik dan mungkar yang harus dibasmi. Adat yang dimaksud adalah
sebuah kebiasaan yang disepakati bersama oleh masyarakat sebagai suatu konvensi
atau kesepakatan tidak tertulis, namun memiliki kekuatan hukum.
Biasanya adat seperti ini lebih
banyak terkait dengan tata nilai, etika, estetika suatu masyarakat. Sebagai
contoh, memegang jenggot orang lain buat adat kita di Bagu (Lombok tengah)
termasuk tidak sopan. Tetapi di Timur Tengah orang yang dipegang-pegang
jenggotnya merasa bangga dan terhormat.
Di Indonesia, jangan sekali-kali
kita memegang kepala/ubun-ubun orang lain, tapi di Timur Tengah justru
merupakan perbuatan yang baik. Ini adalah perbedaan `urf antara dua
budaya. Jangan sampai kita salah menerapkan tata nilai dan sopan santun.
Istilah yang kita kenal adalah, ”Masuk kandang kambing mengembek dan masuk
kandang kerbau mengebau”.
`Urf di negeri kita adalah
mencium tangan orang tua dan orang-orang yang terhormat lainnya seperti kakek,
paman, mertua bahkan termasuk Tuan Guru Haji (TGH), ulama dan lainnya. Bila hal
itu kita lakukan sebagai bentuk penghormatan dan pengejawantahan dari
menyesuaikan diri dengan `urf yang dikenal masyarakat, maka hal itu
baik, karena menunjukkan bahwa kita memiliki tata etika dan sopan santun yang
sesuai dengan metode masyarakat. Jadi mencium tangan orang tua dan seterusnya
memang bukan tasyri` secara langsung, namun masuk dalam bab sopan santun dan
akhlaq bergaul dengan orang tua dan menjalankan `urf yang baik. Wallahu
a’lam bishshawab, Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar