Jumat, 27 April 2012

ASURANSI


ASURANSI (At-Ta'min)
Oleh: M. Zamroni, M.H.I

Asuransi adalah transaksi perjanjian antara dua pihak ; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau barang miliknya sesuai dengan perjanjian yang dibuat. Pembahasan tentang asuransi tidak dijumpai dalam fiqih klasik, karena bentuk transaksi ini baru muncul pada abad ke-13 dan ke-14 di Italia dalam bentuk asuransi perjalanan laut.
Para ahli fiqih kontemporer, seperti Wahbah az-zuhaili (ahli fiqih dan ushul fiqih asal Suria), mendefinisikan sesuai dengan pembagiannya. Menurutnya, asuransi itu ada dua bentuk, yaitu at-ta’min at-ta’awuni. Asuransi ini adalah kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang diantara mereka mendapat kemudaratan. Kemudaratan yang menimpa para peserta asuransi ini dapat berbentuk kecelakaan, kematian, kebakaran, kebanjiran, kecurian dan bentuk-bentuk kerugian lainnya sesuai dengan kesepakatan bersama. Asuransi seperti ini dapat juga berlaku bagi orang-orang yang pensiun, tua renta, dan tertimpa sakit. Sedangkan at-ta’min biqist sabit (asuransi dengan pembagian tetap) adalah aqad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapatkan kecelakaan, ia diberi ganti rugi.
Lebih lanjut dikatakannya, bentuk asuransi yang berkembang saat ini adalah at-ta’min biqist sabit. Sifat akad ini mengikat kedua belah pihak. Perbedaan antara kedua asuransi ini, menurut Mustafa al-Buga (guru besar fiqih islam di Universitas Damascus, Suria), terletak pada tujuan masing-masing. At-ta’min at-ta’awuni pada dasarnya tidak mencari keuntungan, tetapi semata-mata untuk kepentingan bersama ketika terjadi kemudaratan atas diri salah seorang anggotanya. Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama tentang hukum kebolehan at-ta’mn at-ta’wuni, karena dasar dari jenis asuransi ini sejalan dengan prinsip Islam. Allah SWT dalam surah Al-maidah ayat 2 berfirman : “ …Dan tolong-menolong lah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…”.  Menurut Wahbah az-zuhaili, at-ta’min at-ta’awuni boleh dilakukan, namun asuransi seperti ini jarang sekali dijumpai dalam kenyataan. Adapun tujuan utama at-ta’min bi qist sabit adalah mendapatkan keuntungan disamping melakukan beberapa jaminan terhadap para pesertanya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai at-ta’min biqist sabit. Untuk melihat lebih jauh asuransi ini perlu diperinci pembagiannya sesuai dengan objek asuransi itu sendiri. Mustafa al-Buga memperinci bentuk-bentuk asuransi dilihat dari objeknya sebagai berikut ;
1)      Asuransi kerugian. Asuransi yang akan diterima oleh pesertanya ketika ia ditimpa oleh suatu kerugian yang disebabakan oleh peristiwa-peristiwa tertentu. Bentuk asuransi ini ada dua, yaitu : a) asuransi kerugian harta yang disebabkan oleh kebakaran, kebanjiran, kecurian, dan sejenisnya, dan b) asuransi yang menjamin kerugian yang timbul akibat tanggung jawabnya, seperti menabrak orang atau pekerja/pegawainya mendapat kecelakaan kerja.
2)  Asuransi pribadi. Dalam asuransi ini, peserta mendapatkan sejumlah uang jika            ia mendapat suatu kerugian, baik ia masih hidup maupun mati. Asuransi pribadi ini ada dua bentuk, a) asuransi yang berkaitan dengan kehidupan peseta, terdiri atas tiga bentuk ;
 1). Asuransi kematian, berupa transaksi yang mewajibkan peserta untuk membayarkan sejumlah uang secara periodik kepada perusahaan asuransi dan pihak perusahan wajib memberikan sejumlah uang ketika peserta meninggal. Uang ini dapat diserahkan kepada orang yang ditunjuk oleh peserta atau ahli warisnya. 2). Asuransi dalam jangka waktu teretentu, berupa transaksi yang mewajibkan peserta membayarkan sejumlah uang secara periodik kepada perusahaan asuransi dan pihak perusahaan wajib membayar sejumlah uang kepada peserta jika tenggang waktunya telah datang dan peserta masih hidup. Peserta asuransi tidak mendapatkan uang ganti rugi jika ia meninggal sebelum tenggang waktu datang. 3). Asuransi yang sifatnya peserta menerima sejumlah uang dari pihak perusahaan asuransi pada waktu-waktu tertentu jika ia masih hidup atau diberikan kepada oarang yang ditunjuk peserta atau ahli warisnya jika ia telah meninggal. Dalam asuransi bentuk terakhir ini uang yang dibayarkan peserta secara periodik lebih besar dari pada asuransi sebelumnya. b). Asuransi kecelakaan apabila peserta menderita kecelakaan badan.
Berbeda dengan at-ta’min at-ta’awuni, hukum asuransi ini dengan segala bentuknya yang disebutkan diatas masih diperselisihkan para ulama. Ulama pertama yang membicarakan masalah asuransi dalam fiqih islam adalah Ibnu Abidin (1784-1836), ahli fiqih Mazhab Hanafi yang dibicarakannya itu adalah asuransi keselamatan barang yang diangkut oleh kapal laut. Dalam asuransi ini, pemilik barang berkewajiban membayar upah atas kapal yang dipergunakan untuk mengangkut barang tersebut. Disamping itu pedagang ini pun berkewajiban membayarkan sejumlah uang kepada pihak perusahaan asuransi sebagai jaminan atas kerusakan yang mungkin terjadi terhadap barang tersebut, seperti kapal itu kebakaran, tenggelam atau dibajak orang. Apabila hal itu terjadi, maka pihak perusahaan akan membayar kerugiaan yang diderita pedagang itu. Dalam hal ini Ibnu Abidin berpendapat bahwa tidak halal bagi pedagang itu mengambil uang ganti rugi atas barang-barangnya yang telah musnah, karena akad seperti itu ‘’ mewajibakan sesuatu yang tidak wajib ‘’. Menurut ketentuan dalam bermuamalah, apabila ada satu pihak menderita kerugian yang tidak disebabkan oleh perbuatan pihak lain yang berakad, maka yang kedua itu tidak boleh dikenakan tanggung jawab untuk mengganti kerugian, karena transaksi seperti ini mengandung garar (penipuan) yang dilarang syariat (hukum islam). Oleh sebab itu Wahbah Zuhaili meletakkan pembahasan asuransi dalam pembahasan ‘aqad al-garar (akad yang mengandung penipuan).
Para ulama fikih mengemukakan beberapa analisis dalam membahas hukum at-ta‘min biqist sabit, sebagai berikut ;
Akad ini sesuatu yang tidak mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan, karena tidak ada syar’i (hukum) yang mengacu kepada kewajiban seseorang membayar ganti rugi. Ganti rugi dalam fikih muamalah hanya dapat diberlakukan jika kerugian ditimbul oleh suatu sikap permusuhan atau tindakan seweng-wenang dari pihak lain terhadap jiwa dan harta benda seseorang. Asuransi sulit untuk dimasukkan kedalam akad penipuan semata-mata, karena asuransi tidak bermaksud menipu pesertanya. Namun, pihak asuransi juga tidak dapat memastikan barang peserta asuransi. Jika pihak asuransi dan pemilik barang mengetahui secara pasti akan terjadi suatu bahaya atau kecelakaan, maka boleh diberlakukan ganti rugi.
Asuransi bukan salah satu bentuk akad Wadi’ah (titipan) yang dapat dituntut ganti rugi apabila pemegang titipan lalai dengan kewajibannya. Dalam asuransi, barang yang ditanggung tidak ada berada ditangan pihak penanggung (perusahaan asuransi). Dalam kasus asuransi keselamatan barang seperti dibicarakan diatas, pihak penanggung adalah pemilik kapal laut. Statusnya ketika itu dikatagorikan kedalam akad mudlarabah (tabungan berjangka), yaitu ada dua penyebab ; a) Setoran wajib yang dibayarkan peserta asuransi menjadi milik peruasahaan asuransi dan pihak perusahaan bebas menggunakan uang tersebut, sedangkan peserta tidak mendapatkan apapun  jika ia tidak ditimpa kecelakaan atau kerugian. b) Salah satu syarat dalam mudarabah adalah keuntungan yang diperoleh dibagi antara pemilik modal dan pekerja sesuai dengan kesepakatan mereka, sedangkan dalam asuransi tidak demikian. Kalaupun ada bagian yang dapat diterima dari perusahaan asuransi tersebut, maka jumlahnya sudah ditentukan, yaitu 3% atau 4%.                                       Berkaitan dengan itu, Wahbah Zuhaili menyimpulkan bahwa asuransi termasuk ‘aqad al-garar yang dilarang Rasulullah SAW. Akan tetapi Muhammad abduh (pembaharu dari Mesir 1849-1905) mengatakan bahwa asuransi jiwa termasuk kedalam akad mudarabah, karena bersifat tolong-menolong. Oleh karena itu, ia memebolehkan akad asuransi jiwa dalam fatwanya. Muhammad abduh orang yang pertama kali memfatwakan masalah asuransi jiwa.
Pendapat lain datang dari Syekh Muhammad Bahis al-Muti (1854-1935), ia berpendapat bahwa menurut hukum Islam jaminan atas harta benda ada kalanya dengan cara kafalah (tanggungan) atau ta’addii itlaf (perbuatan sewenang-wenang dari orang lain). Dalam masalah asuransi, jaminan dengan cara kafalah tidaklah cocok. Karena, dalam akad kafalah ada utang yang harus dibayar dan benda yang dijadikan jaminan yang sepenuhnya diserahkan kepada penjamin. Jika benda itu musnah, maka pihak penjamin wajib menggantinya dengan barang yang sejenis atau dengan nilai yang sama. Dalam asuransi tidak ditemukan proses seperti ini. Adapun ganti rugi yang harus dibayar oleh orang yang berbuat seenaknya terhadap barang orang lain, prinsipnya seuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-baqarah ayat 194 yang artinya : ‘’…barang sisapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadapmu… ‘’. Dalam asuransi, perusahaan tentunya tidak melakukan tindakan ta’addi itlaf  terhadap barang tersebut. Bahkan kecelakaan yang menimpa barang atau orang yang menjadi peserta asuransi sama sekali tidak terkait dengan perusahaan. Oleh sebab itu asuransi pun  tidak dapat dikatagorikan kedalam cara ini.
Dalam seminar fiqih Islam (1960) Di Damascus, Syria, Ahmad Mustafa az-Zarqa(guru besar usul fiqh dan fiqh di Universitas Damascus) mengemukakan pendapatnya tentang asuransi sebagai berikut ;
- Masalah asuransi adalah masalah baru, tidak ada nashnya.
- Asuransi tidak termasuk kedalam jenis pertaruhan atau untungan. Menurutnya, unsur tolong menolong-menolong yang ada dalam asuransi membuat akad ini berada jauh dari akad untung-untungan. Kedua pihak yang berakad dalam asuransi memperoleh manfaat yang pasti. Pihak perusahaan asuransi mendapat keuntungan dan peserta merasa aman terhadap bahaya yang dikhawatirkannya, disamping mendapat ganti rugi, akad ini juga tidak mengandung jahalah (kesamaran). Oleh sebab itu hukum asuransi halal menurut syara’. Pendapat senada juga dikemukakan oleh As-Sadiq Muhammad Amin Ad-Darir {guru besar fiqih islam di Universitas khartum Sudan}dan at-Tayyib Hasan an-Najar, Bahgat Ahmad Hilmy, serta Dr.M. Umruddin (dekan fakultas sastraUniversitas Aligra, India)dalam kesempatan itu dia tidak mengemukakan pendapatnya secara tegas. Tapi hanya menganjurkan umat Islam menghindarkan diri dari asuransi, karena bagaimnapun juga asuransi itu terkait dengan riba.               
Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah dalam konfrensinya (389H/ 965M)di Cairo, Mesir, tidak memberikan kesimpulan final tentang hukum asuransi. Lembaga ini hanya menyatakan bahwa asuransi yang diselenggarakan oleh badan-badan perkumpulan dengan tujuan tolong-menolong. Seperti at-t’min at-ta’awuni, hukumnya boleh. Demikian juga halnya dengan asuransi pensiun bagi pegawai negri yang diselenggarakan oleh pemerintah. Akan tetapi asuransi yang berkembang saat ini seperti asuransi kecelakaan, pertanggung jawaban tertanggung, dan asuransi jiwa, oleh konfrensi diputuskan harus diteliti lebih jauh dengan melibatkan berbagai ahli yang terkait.
Menaggapi masalah asuransi dengan segala bentuknya yang berkembang saat ini dan masih diperselisihkan, KH Ali Yafie, mengatakan bahwa asuransi itu diciptakan di dunia barat dan diatur oleh hukum barat, sehingga mempunyai watak, bentuk, sifat dan tujuan yang berbeda dari wujud muamalah yang dikenal dalam fiqih di dunia Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar