Cerpen


Pesan Bagi Para Hakim
Oleh: M. Zamroni

Siapakah Abu Nawas? Tokoh yang dinggap badut namun juga dianggap ulama besar ini adalah sufi, tokoh su­per lucu yang tiada bandingnya ini aslinya orang Persia yang dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M di Baghdad. Setelah dewasa ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar bahasa Arab dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang badui padang pasir. Karena pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran orang Arab", la juga pandai bersyair, berpantun dan menyanyi. la sempat pulang ke negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya, keduanya menghambakan diri kepada Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad.
Mari kita mulai kisah penggeli hati ini. Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia.
Abu Nawas dipanggil ke istana. la diperintah Sul­tan (Raja) untuk mengubur jenazah bapaknya itu sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tatacara memandikan jenazah hingga mengkafani, menyalati dan mendo'akannya, maka Sul­tan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau penghulu menggantikan kedudukan bapaknya.
Namun... demi mendengar rencana sang Sultan.
Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadi gila.
Usai upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang pisang dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari ba­tang pisang itu sambil berlari-lari dari kuburan bapak­nya menuju rumahnya. Orang yang melihat menjadi terheran-heran dibuatnya.
Pada hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia me­ngajak anak-anak bermain rebana dan bersuka cita.
Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati oleh bapaknya.
Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui Abu Nawas.
"Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana." kata wazir utusan Sultan.
"Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya."jawab Abu Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban.
"Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu."
"Hai wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di sungai supaya bersih dan segar." kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang yang dijadikan kuda-kudaan.
Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat ke­lakuan Abu Nawas.
"Abu Nawas kau mau apa tidak menghadap Sul­tan?" kata wazir.
"Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau." kata Abu Nawas.
"Apa maksudnya Abu Nawas?" tanya wazir dengan rasa penasaran.
"Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada raja­mu." sergah Abu Nawas sembari menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.
Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid.
Dengan geram Sultan berkata,"Kalian bodoh se­mua, hanya menghadapkan Abu Nawas kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka rela ataupun terpaksa."
Si wazir segera mengajak beberapa prajurit ista­na. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan di hadapan raja.
Namun lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkahnya ugal-ugalan tak selayaknya berada di hadapan seorang raja.
"Abu Nawas bersikaplah sopan!" tegur Baginda.
"Ya Baginda, tahukah Anda....?"
"Apa Abu Nawas...?"
"Baginda... terasi itu asalnya dari udang !"
"Kurang ajar kau menghinaku Nawas !"
"Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?"
Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para pengawalnya. "Hajar dia ! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali"
Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara yang bertubuh kekar.
Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga.
"Hai Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk ke kota ini kita telah mengadakan perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?"
"Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang diberikan kepada tadi?"
"lya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?"
"Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!"
"Wan ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering menerima ha­diah dari Baginda."
Tanpa banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu orang itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang itu menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.
Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus melangkah pulang ke rumahnya.
Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al Rasyid.
"Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu Nawas yang teiah memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan. Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda."
Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berada di hadapan Baginda ia ditanya."Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali pukulan?"
Berkata Abu Nawas,"Ampun Tuanku, hamba melakukannya karena sudah sepatutnya dia menerima pu­kulan itu."
"Apa maksudmu? Coba kau jelaskan sebab musababnya kau memukuli orang itu?" tanya Baginda.
"Tuanku,"kata Abu Nawas."Hamba dan penunggu pintu gerbang ini telah mengadakan perjanjian bahwa jika hamba diberi hadiah oleh Baginda maka hadiah tersebut akan dibagi dua. Satu bagian untuknya satu bagian untuk saya. Nah pagi tadi hamba menerima hadiah dua puluh lima kali pukulan, maka saya berikan pula hadiah dua puluh lima kali pukulan kepadanya."
"Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau telah mengadakan perjanjian seperti itu dengan Abu Nawas?" tanya Baginda.
"Benar Tuanku,"jawab penunggu pintu gerbang.
"Tapi        hamba tiada mengira jika Baginda memberikan hadiah pukulan."
"Hahahahaha        IDasar tukang peras, sekarang kena batunya kau!"sahut Baginda."Abu Nawas tiada bersalah, bahkan sekarang aku tahu bahwa penjaga pintu gerbang kota Baghdad adalah orang yang suka narget, suka memeras orang! Kalau kau tidak merubah kelakuan burukmu itu sungguh aku akan memecat dan menghukum kamu!"
"Ampun Tuanku,"sahut penjaga pintu gerbang dengan gemetar.
Abu Nawas berkata,"Tuanku, hamba sudah lelah, sudah mau istirahat, tiba-tiba diwajibkan hadir di tempat ini, padahal hamba tiada bersalah. Hamba mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu istirahat hamba sudah hilang karena panggilan Tuanku. Padahal besok ham­ba harus mencari nafkah untuk keluarga hamba."
Sejenak Baginda melengak, terkejut atas protes Abu Nawas, namun tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak, "Hahahaha...jangan kuatir Abu Nawas."
Baginda kemudian memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong uang perak kepada Abu Nawas. Abu Nawas pun pulang dengan hati gembira.
Tetapi sesampai di rumahnya Abu Nawas masih bersikap aneh dan bahkan semakin nyentrik seperti orang gila sungguhan.
Pada suatu hari Raja Harun Al Rasyid mengada­kan rapat dengan para menterinya.
"Apa pendapat kalian mengenai Abu Nawas yang hendak kuangkat sebagai kadi?"
Wazir atau perdana meneteri berkata,"Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi."
Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama.
"Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi."
"Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja mati. Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja."
Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih dianggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad.
Konon dalam seuatu pertemuan besar ada seseorang bernama Polan yang sejak lama berambisi menjadi Kadi, la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui jika ia diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi Kadi kepada Baginda maka dengan mudah Baginda menyetujuinya.
Begitu mendengar Polan diangkat menjadi kadi ma­ka Abu Nawas mengucapkan syukur kepada Tuhan.
"Alhamdulillah        aku telah terlepas dari balak yang mengerikan. Tapi.,..sayang sekali kenapa harus Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang lain saja."
Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini: Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggii Abu Nawas untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah lunglai.
Berkata bapaknya,"Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan telinga kiriku."
Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga kanan bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk.
"Bagamaina anakku? Sudah kau cium?"
"Benar Bapak!"
"Ceritakankan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku int."
"Aduh Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum sekali. Tapi... yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?"
"Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?"
"Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini."
Berkata Syeikh Maulana "Pada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suaka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jia kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hai yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi."
Nan, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu perkara. Walaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi namun dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.

 

Putri Mandalika, Alkisah dari Pulau Lombok

By: Azam

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di pantai Selatan Pulau Lombok, berdiri sebuah kerajaan yang bernama Tunjung Bitu. Kerajaan tersebut diperintah oleh seorang Raja yang bernama Raja Tonjang Beru dengan permaisurinya, Dewi Seranting. Tonjang Beru adalah seorang raja yang arif dan bijaksana. Seluruh rakyatnya hidup makmur, aman dan sentosa. Mereka sangat bangga mempunyai raja yang arif dan bijaksana itu. Raja Tonjang Beru memiliki seorang Putri yang cantik jelita, cerdas dan bijaksana, namanya Putri Mandalika. Di samping cantik dan cerdas, Putri Mandalika juga terkenal ramah dan sopan. Tutur bahasanya sangat lembut. Seluruh rakyat negeri sangat sayang terhadap sang Putri.
Kecantikan dan keelokan perangai Putri Mandalika sudah tersohor ke berbagai negeri, bahkan sampai ke negeri seberang. Para pangeran dari berbagai kerajaan juga telah mendengar berita tersebut. Setiap pangeran yang melihat kecantikan dan keanggunan sang Putri menjadi mabuk kepayang. Seakan telah terjadwalkan, para pangeran tersebut datang secara bergantian untuk melamar sang Putri.
Suatu keanehan pada diri Putri Mandalika. Setiap pangeran yang datang melamarnya, tak satu pun yang ia tolak. Namun, para pangeran tersebut tidak menerima jika sang Putri diperistri oleh banyak pangeran. Maka mereka pun bersepakat untuk mengadu keberuntungan melalui peperangan. Siapa yang menang dalam peperangan itu, maka dialah yang berhak memperistri sang Putri.
Suatu hari, berita tentang akan terjadinya peperangan antara beberapa kerajaan sampai pula ke telinga Raja Tonjang Beru. Sang Raja segera memanggil putrinya untuk membicarakan masalah tersebut. “Wahai, Putriku! Ayahanda mendengar bahwa di negeri ini akan terjadi malapetaka besar. Seluruh pangeran yang pernah datang melamarmu akan mengadakan perang. Mereka bersepakat, siapa yang menang dalam perang itu, dialah yang akan menjadi suamimu,” kata sang Raja kepada putrinya.
“Putri sudah mendengar berita itu, Ayahanda,” jawab sang Putri dengan tenang. “Lalu, apa yang akan kita lakukan agar pertumpahan darah itu tidak terjadi?” tanya sang Raja khawatir. “Maafkan Putri, Ayahanda! Ini semua salah Putri, karena telah menerima semua lamaran mereka. Jika Ayahanda berkenan, izinkanlah Putri yang menyelesaikan masalah ini,” pinta sang Putri. “Baiklah, Putriku!” jawab sang Raja penuh keyakinan.
Setelah berpikir sehari-semalam, sang Putri pun menemukan jalan keluarnya. Pada awalnya, sang Putri berniat memilih salah satu dari puluhan pangeran yang melamarnya sebagai suaminya. Namun, niatnya itu ia batalkan setelah memikirkan resikonya. Jika ia memilih satu di antara beberapa pangeran sebagai suaminya, tentu pangeran yang lainnya merasa iri. Hal ini tentu akan menimbulkan pertumpahan darah. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi sang Putri. Ia pun memutuskan untuk mengorbankan jiwa dan raganya. Tekadnya tersebut sudah tidak bisa ditawar lagi. Ia sudah siap merelakan jiwanya demi menghindari terjadinya peperangan yang akan memakan korban yang lebih banyak.
Namun, sebelum melaksanakan niatnya, sang Putri harus melakukan semedi terlebih dahulu. Dalam semedinya, ia mendapat wangsit agar mengundang semua pangeran dalam pertemuan pada tanggal 20, bulan 10 penanggalan Sasak), bertempat di Pantai Seger Kuta, Lombok Tengah. Semua pangeran yang diundang harus disertai oleh seluruh rakyatnya masing-masing. Mereka harus datang ke tempat itu sebelum matahari memancarkan sinarnya di ufuk Timur.
Hari yang telah ditentukan tiba. Tampaklah pemandangan yang sangat menarik. Para undangan dari berbagai negeri berbondong-bondong datang ke pantai Seger Kuta. Orang yang datang ribuan jumlahnya. Pantai Seger Kuta bak gula yang dikerumuni semut. Bahkan, banyak undangan yang datang dua hari sebelum hari yang ditentukan oleh sang Putri tiba. Mulai dari anak-anak hingga kakek-nenek datang memenuhi undangan sang Putri di tempat itu. Rupanya mereka sudah tidak sabaran ingin menyaksikan bagaimana sang Putri yang cantik jelita itu menentukan pilihannya.
Pantai Sereg Kuta sudah penuh sesak oleh para undangan. Tak berapa lama, sang Putri yang sudah tersohor kecantikannya itu pun tiba di tempat dengan diusung menggunakan usungan yang berlapiskan emas. Seluruh undangan serentak memberi hormat kepada sang Putri yang didampingi oleh Ayahanda dan Ibundanya serta sejumlah pengawal kerajaan. Suasana yang tadinya hiruk-pikuk berubah menjadi tenang. Seluruh pasang mata yang hadir tercengang kecantikan wajah sang Putri. Tubuhnya yang dibungkus oleh gaun sutra yang sangat halus itu, menambah keanggunan dan keelokan sang Putri. Para pangeran sudah tidak sabar lagi menanti keputusan dari sang Putri. Masing-masing berharap dirinyalah yang akan dipilih sang Putri. Suasana semakin tegang. Jantung para pangeran berdetak kencang seakan-akan mau copot.
Tidak berapa lama, sang Putri melangkah beberapa kali, lalu berhenti di onggokan batu, membelakangi laut lepas. Di tempat ia berdiri, Putri Mandalika kemudian menebarkan pandangannya ke seluruh undangan yang jumlahnya ribuan itu. Rasa penasaran para hadirin semakin memuncak. Mereka semakin tidak sabaran ingin mendengarkan kata demi kata keluar dari mulut sang Putri yang menyebutkan salah satu nama dari puluhan pangeran yang ada di tempat itu sebagai pilihan hatinya.
Setelah pandangannya merata ke arah para undangan yang hadir, sang Putri pun berbicara untuk mengumumkan keputusannya dengan suara lantang dengan berseru, “Wahai, Ayahanda dan Ibunda serta semua pangeran dan rakyat negeri Tonjang Beru yang aku cintai! Setelah aku pikirkan dengan matang, aku memutuskan bahwa diriku untuk kalian semua. Aku tidak dapat memilih satu di antara banyak pangeran. Diriku telah ditakdirkan menjadi Nyale yang dapat kalian nikmati bersama pada bulan dan tanggal saat munculnya Nyale di permukaan laut.”
Mendengar keputusan sang Putri tersebut, para hadirin tersentak kaget, termasuk Ayahanda dan Ibundanya, karena sang Putri tidak pernah memberitahukan keputusannya itu kepada kedua orang tuanya. Belum sempat Ayahanda dan Ibundanya berkata-kata, tiba-tiba sang Putri menceburkan diri ke dalam laut dan langsung ditelan gelombang. Bersamaan dengan itu pula, angin bertiup kencang, kilat dan petir pun menggelegar. Suasana di pantai itu menjadi kacau-balau. Suara teriakan terdengar di mana-mana. Sesekali terdengar suara pekikan minta tolong. Namun, suasana itu berlangsung tidak lama.
Sesaat kemudian, suasana kembali tenang. Para undangan segera mencari sang Putri di tempat di mana ia menceburkan diri. Tidak ada tanda-tanda keberadaan sang Putri di tempat itu. Ia menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Tak lama kemudian, tiba-tiba bermunculan binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak dari dasar laut. Binatang yang berbentuk cacing laut itu memiliki warna yang sangat indah, perpaduan warna putih, hitam, hijau, kuning dan coklat. Binatang itu disebut dengan Nyale.
Seluruh masyarakat yang menyaksiksan peristiwa itu meyakini bahwa Nyale tersebut adalah jelmaan Putri Mandalika. Sesuai pesan sang Putri, mereka pun beramai-ramai dan berlomba-lomba mengambil binatang itu sebanyak-banyaknya untuk dinikmati sebagai tanda cinta kasih kepada sang Putri.
Cerita rakyat di atas merupakan cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu nilai moral yang sangat menonjol dalam cerita di atas adalah sifat rela berkorban. Sifat ini tercermin pada sifat Putri Mandalika ketika ia rela mengorbankan jiwa dan raganya demi menghindari terjadinya peperangan antara beberapa kerajaan yang dapat mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa. Ia lebih memilih mengorbankan jiwanya daripada mengorbankan jiwa orang banyak.
Selain itu, cerita rakyat di atas juga merupakan cerita yang telah melegenda di kalangan masyarakat Lombok Tengah yang menceritakan tentang asal-mula upacara atau pesta Bau Nyale (menangkap cacing), terutama di kalangan masyarakat suku-bangsa Sasak. Hingga kini, masyarakat setempat menyelenggarakan upacara Bau Nyale setiap setahun sekali, yaitu antara bulan Februari dan Maret.
Upacara Bau Nyale ini telah menjadi salah satu daya tarik yang banyak ditunggu-tunggu oleh para wisatawan mancanegara. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Tengah menjadikan upacara Bau Nyale ini sebagai aset budaya yang penyelenggaraannya telah menjadi koor event kegiatan budaya nasional.
Tradisi upacara Bau Nyale yang diwariskan secara turun-temurun oleh suku Sasak ini sudah ada sebelum abad ke-16 Masehi. Pada saat acara Bau Nyale akan dilangsungkan, sejak sore hari masyarakat setempat    beramai-ramai menangkap Nyale si sepanjang pesisir Selatan Pulau Lombok, terutama di Pantai Seger Kuta, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Sejak berkembangnya pariwisata, khususnya wisata pantai di Lombok, upacara Bau Nyale selalu dirangkaikan dengan berbagai kesenian tradisional seperti Betandak (berbalas pantun), Bejambik (pemberian cendera mata kepada kekasih), serta Belancaran (pesiar dengan perahu), dan tidak ketinggalan pula pementasan drama kolosal Putri Mandalika. Upacara Bau Nyale tersebut biasanya dihadiri oleh para pejabat daerah setempat hingga Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan bahkan tidak sedikit yang datang dari Jakarta.
Upacara Bau Nyale sudah menjadi tradisi masyarakat setempat yang sulit untuk ditinggalkan, sebab mereka meyakini bahwa upacara ini memiliki tuah yang dapat mendatangkan kesejahteraan bagi yang menghargainya dan mudarat (bahaya) bagi orang yang meremehkannya.
Menurut keyakinan masyarakat Sasak, Annelida laut yang sering juga disebut cacing palolo (Eunice Fucata) ini dapat membawa kesejahteraan dan keselamatan, khususnya untuk kesuburan tanah pertanian agar dapat menghasilkan panen yang memuaskan. Nyale yang telah mereka tangkap di pantai, biasanya mereka taburkan ke sawah untuk kesuburan padi. Selain itu, Nyale tersebut mereka gunakan untuk berbagai keperluan seperti santapan (Emping Nyale), lauk-pauk, obat kuat dan lainnya yang bersifat magis sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Secara ilmiah, cacing Nyale yang pernah diteliti mengandung protein hewani yang sangat tinggi. Di samping itu, Dr. dr. Soewignyo Soemohardjo dalam penelitiannya menemukan bahwa cacing Nyale dapat mengeluarkan suatu zat yang sudah terbukti mampu membunuh kuman-kuman.
Secara sosial-budaya, berdasarkan sebuah survey di kalangan petani Lombok Tengah, bahwa 70,6 persen responden yang membuang daun bekas pembungkus Nyale (daun pembungkus pepes Nyale) ke sawah dapat menambah kesuburan tanah dan meningkatkan hasil pertanian penduduk setempat. Di samping itu, masyarakat setempat juga meyakini bahwa apabila banyak Nyale yang keluar, hal itu menandakan pertanian penduduk akan berhasil.



BURUNG MERAK TIDAK ADA DI PULAU SUMBAWA*
Oleh : Zamroni, M
Pada zaman dahulu di Pulau Jawa, hiduplah seekor burung cantik bernama Merak. Bulunya mengkilat, berwarna indah. Lehernya panjang jenjang dengan kibasan ekor bagaikan kipas.
Merak yang cantik ini mendengar cerita dari teman-temannya sesama burung. "Ada seekor burung gagah bernama Santoana. Burung ini tinggal di Pulau Sumbawa. Hanya burung inilah yang pantas menjadi jodohmu. Kamu cantik dan Santoana gagah…"
Hampir setiap hari Merak mendengar kata-kata ini dari teman-temanya. Akhirnya, pada suatu hari, Merak memutuskan untuk mencari
Santoana.
Di suatu pagi yang dingin, Merak pun pergi meninggalkan Pulau Jawa, yang ada di pikirannya hanyalah Santoana yang tampan. Perjalanan Merak memakan waktu berhari-hari. Beberapa laut dan pulau sudah dilewati.
Ketika ia bertanya pada burung di setiap pulau, jawabannya selalu sama, "Terbanglah terus! Pulau itu berada agak jauh ke timur."
Jawaban dari para burung itu tidak membuat Merak putus asa. Ia terus terbang,terbang… sampai akhirnya ia tiba di sebuah pulau yang sangat panjang. Bertanyalah Merak dengan napas terengah-engah.
"Pulau apakah ini?"
"Ini adalah Pulau Panjang," jawab Camar santun.
"Masih jauhkah tanah Sumbawa?" tanya Merak lagi.
"O, pulau yang terbentang di depan kita itu adalah Pulau Sumbawa.
Mendengar jawaban Camar, Merak pun sangat gembira. Setelah mengucapkan terima kasih, tanpa merasa lelah dia pun terbang lagi.
Pulau Sumbawa akhirnya berhasil ia pijak. Kini ia tinggal mencari Santoana.
Merak melangkah gemulai di sekitar pantai. Ekornya terkibas, leher jenjangnya melongok ke kiri dan ke kanan.
Setelah agak lama mengitari pantai bertemulah dia dengan burung hitam besar yang sedang mencari makan di tepi pantai. Orang Sumbawa menyebutnya Bongarasang.
Merak mendekat dan menceritakan maksud kedatangannya ke Pulau Sumbawa. Ia juga bertanya tentang Santoana. Bongarasang sangat terpesona melihat Merak yang cantik. Timbullah akal liciknya. Bongarasang pura-pura diam dan tertunduk malu.
"Kenapa diam?" tanya Merak tak sabar.
"Aku diam dan malu karena akulah yang kau cari," kata Bongarasang berbohong. Merak lemas mendengar perkataan Bongarasang.
"Indah kabar daripada rupa," keluhnya kecewa, sebab Bongarasang tidak setampan yang ia bayangkan.
Akan tetapi, karena sudah niatnya untuk
menikah dengan Santoana, akhirnya Merak menikah dengan Bongarasang yang dianggapnya Santoana.
Waktu pun berlalu. Akhirnya pasangan itu mempunyai anak. Merak dan Bongarasang berencana mengadakan pesta besar. Bongarasang juga ingin memperkenalkan istrinya yang cantik kepada semua undangan.
Hari pesta pun tiba. Semua undangan berdatangan. Burung tua ketua adat juga datang. Merak dan anaknya sudah berdandan di tengah ruangan. Semua tamu memuji kecantikan ibu muda yang berasal dari Pulau Jawa itu. Bongarasang tersenyum bangga.
Ketika acara gunting bulu untuk keselamatan bayi burung akan dimulai, berkatalah ketua adat,
"Tunggu sebentar, Santoana belum datang."
Mendengar kata ketua adat itu, seketika wajah Merak berubah merah. Ia sangat marah kepada suaminya yang telah berbohong. Bongarasang tertunduk takut.
Merak menunggu dengan dada berdebar. Seperti apakah gerangan Santoana?
Dari kejauhan, Santoana datang dengan gagahnya. Bulunya indah mengkilat tertimpa sinar mentari. Suaranya terdengar nyaring. Pinggulnya melenggok dengan ekor berwarna hijau tua. Berjuntai tertiup angin. Bulu-bulu halus dengan perpaduan warna yang sangat indah, membungkus badan dan lehernya.
Tiba-tiba Merak terbang meninggalkan keramaian pesta. Hatinya sakit tak terkira menyangka kalau selama ini dia sudah dibohongi. Sambil menitikkan air mata, ia melantunkan lagu sedih daerah Sumbawa.
Kulempat let biru do,
Ku buya sanak parana
Kudapat taruna kokoh
(Kulewati beberapa pulau dan samudra, untuk mendapat jodoh yang sepadan, namun bertemu dengan lelaki pembohong)
Akhirnya Merak meninggalkan Pulau Sumbawa dengan perasaan malu dan kecewa. Anaknya ikut malu dan bersembunyi di dalam tanah. Sampai sekarang anak burung itu tetap bersarang di dalam tanah.
Namanya Bartong. Santoana kemudian dikenal dengan nama Ayam hutan.Menurut cerita, itulah sebabnya burung Merak tidak ada di Pulau Sumbawa sampai sekarang.


MISTERI GUNUNG RINJANI
Oleh: Zamroni, M
Pada jaman dahulu tidak jauh dari pelabuhan Lembar, terdapat sebuah Kerajaan Taun yang diperintah oleh seorang Raja yang sangat bijaksana bernama Datu Taun bersama permaisurinya yang sangat cantik Dewi Mas.
Di bawah pemerintahan Raja Datu Taun, kerajaan dalam keadaan aman, damai, dan tenteram. Namun meskipun demikian Raja kelihatan sering bersedih, hal ini dikarenakan beliau belum dikarunia seorang putra, sementara Raja dan Permaisuri sudah semakin bertambah tua.
Pada suatu hari Raja dan permaisuri duduk bercakap-cakap membicarakan masalah keluarga. Baginda mengemukakan bagaimana susahnya kelak karena tidak memiliki anak. Berpesanlah Datu Tuan “Adinda kanda ingin menyampaikan permintaan, ijinkanlah kakanda mengambil istri seorang lagi. Mudah-mudahan dengan demikian kita akan dikaruniai anak yang akan menggantikan pemerintahan kelak”
Setelah Sang Permaisuri menyetujui, maka Baginda Datu Tuan segera meminang seorang gadis cantik yang bernama Sunggar Tutul, putri dari Patih Aur.
Semenjak itu perhatian Raja terhadap Dewi Mas berkurang, beliau lebih sering tinggal di istana isteri yang baru. Raja yang terkenal adil ini telah bertindak tidak adil terhadap permaisurinya. Meskipun demikian Dewi Mas tetap selalu sabar, dan karena kemurahan Yang Maha Kuasa maka Dewi Mas mengandung.
Berita tentang Dewi Mas mengandung ini tentu saja mengejutkan Sunggar tutul, ia takut Raja akan berpaling dari dirinya dan kembali ke Permaisuru Dewi Mas. Untuk itu dengan cara yang licik Sunggar Tutul menghasut Raja, bahwa kehamilan Dewi Mas diakibatkan oleh perbuatan serong dengan seorang yang bernama Lok Deos.
Murkalah Baginda Datu Tuan, maka Dewi Mas pun di usir dari istana dan dibuang ke sebuah gili. Dengan ditemani para pengiringnya Dewi Mas tinggal di gili, mereka membangun suatu pemukiman. Dewi Mas tetap tegar dalam menempuh kehidupan menuju hari depan.
Pada suatu ketika lewatlah sebuah kapal mendakati gili tersebut, seperti ada suatu kekuatan gaib sang Nakhoda kapal tersebut mengarahkan kapalnya ke gili, dan dari kejauhan dia melihat seorang wanita cantik yang bersinar. Nakhoda dan para awak kapalpun berlabuh dan mampir ke pondok Dewi Mas.
Setelah dijamu para penumpang kapal tersebut menanyakan kenapa Dewi Mas bisa tinggal di tempat tersebut, karena selama ini gili tersebut tidak berpenghuni. Dewi Mas pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya. Dewi Mas meminta Nakhoda dan awak kapal tersebut untuk mengantarkannya ke pulau Bali. Akhirnya Dewi Mas beserta para pengiringnya tinggal di Bali dan membangun pemukiman baru. Hari kelahiranpun tiba, Dewi Mas melahirkan dua anak kembar yang masing-masing disertai dengan keajaiban. Seorang bayi laki-laki lahir beserta sebilah keris, dan seorang lagi bayi perempuan lahir beserta anak panah. Bayi laki-laki ini diberi nama Raden Nuna Putra Janjak sedangkan bayi perempuan dinamakan Dewi Rinjani.
Kedua bayi tersebut tumbuh besar menjadi anak-anak yang lucu dan menarik. Namun pada suatu hari kedua anak tersebut menanyakan siapakah ayah mereka, karena selama ini mereka sering diejek teman-temannya karena tidak punya ayah.
Karena desakan kedua anaknya yang terus menerus, maka Dewi Mas pun menceritakan semua kisah yang dialaminya. Diceritakannya bahwa ayah mereka adalah seorang Raja di Lombok yang bernama Datu Taun, dirinya dibuang kesebuah gili karena difitnah oleh madunya Sunggar Tutul.
Raden Nuna Putra Janjak menjadi sangat marah dia memohon kepada ibunya agar diijinkan untuk menemui ayahnya ke Lombok. Karena terus didesak akhirnya Dewi Mas pun mengijinkan puteranya bersama para pengiring berlayar ke Lombok.
Sesampai di Lombok Raden Nuna Putra Janjak segera masuk ke istana namun di hadang oleh para penjaga. Pertarunganpun tak terelakkan, Raden Nuna Putra Janjak meskipun masih kecil namun dengan keris ditangan yang muncul bersamaan ketika ia lahir, sangatlah sakti dan tak tertandingi.
Banyak lawan yang tak berdaya hingga Baginda Datu Taun harus turun bertanding. Pertarungan yang serupun terjadilah, mereka saling menghujamkan kerisnya. Mereka berdua sama kuat, keris masing-masing tidak dapat saling melukai. Tiba-tiba terdengarlah suara gaib dari angkasa ” Hai Danu taun, jangan kau aniaya anak itu. Anak itu adalah anak kandungmu sendiri dari istrimu Dewi Mas”.
Setelah mendengar suara itu , ia amat menyesal maka dipeluknya Raden Nuna Putra Janjak. Setelah mendengar cerita dari Raden Nuna Putra Janjak , maka Baginda Datu Tuan segera menjemput permaisuri ke Bali. Seluruh istana dan penduduk Taun bersuka cita, Dewi Mas tidak menaruh dendam sama sekali kepada Sunggar Tutul, mereka semua hidup damai dan tenteram.
Raden Nuna Putra Janjak tumbuh dewasa menjadi seorang pemuda yang sangat tampan dan bijaksana. Baginda Datu Taun sudah semakin tua dan akhirnya menyerahkan tahta kerajaan kepada putranya.
Sesudah putranya naik tahta Baginda Datu Taun kemudian menyepi di gunung diiringi putrinya Dewi Rinjani. Di puncak gunung itulah baginda dan putrinya bertapa bersemedi memuja Yang Maha Kuasa.
Di puncak gunung ini Dewi Rinjani diangkat oleh para Jin dan mahluk halus menjadi Ratu. Dan sejak saat itulah gunung yang tinggi di pulau Lombok tersebut dinamakan Gunung Rinjani.