Rabu, 13 April 2011

Tawaddu' Dalam Profesi Sebagai Bidan

Tawaddu' Dalam Profesi Sebagai Bidan
Oleh: M. Zamroni


Islam adalah dinu al-‘amal. Dalam arti bahwa Islam mengedepankan kebaikan amal sebagai bukti dari keimanan dan pemahaman. Selanjutnya, penerapan amal justru akan mempercepat dan memperkokoh bangunan keimanan dan pemahaman terhadap Islam. Tentu saja semua ini dilakukan dengan menjaga agar setiap amal yang dilakukan senantiasa dilandasi oleh al-ikhlas dan al-fahmu. Terutama mempunyai sifat at-tawaddu'.
Dalam jiwa setiap manusia, tidak peduli apakah dia dari Asia, Amerika, Afrika, Australia atau Eropa, sangat perlu memiliki sifat tawaddu', yaitu sifat merendahkan diri yang menjunjung tinggi integritas kesamaan derajat dan diwujudkan dalam kehidupan sosial. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT dan Hadist Nabi Muhammad saw. Yang berbunyi:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ            
Artinya: Dan Tundukkanlah sayapmu - yakni rendahkanlah dirimu -kepada kaum mu'minin." (al-Hijr: 88)
قَالَ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : (( إنَّ الله أوْحَى إِلَيَّ أنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أحَدٌ عَلَى أحَدٍ ، وَلاَ يَبْغِي أحَدٌ عَلَى أحَدٍ )) رواه مسلم
Artinya: "Sesungguhnya Allah telah memberikan wahyu kepadaku, hendaklah engkau semua itu bersikap tawadhu', sehingga tidak ada seseorang yang membanggakan dirinya di atas orang lain[1] dan tidak pula seseorang itu menganiaya kepada orang lain - kerana orang yang dianiaya dianggapnya lebih hina dari dirinya sendiri." (Riwayat Muslim).[2]
Bagi seorang bidan dalam menjalankan tugasnya tentu harus mempunyai sifat tawaddu' (merendahkan diri), demi memberikan pelayanan yang baik bagi pasiennya. Hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw ketika ada seorang hamba sahaya wanita dari golongan hamba sahaya -wanita yang ada di Madinah mengambil tangan Nabi s.a.w. lalu wanita itu berangkat dengan beliau s.a.w. ke mana saja yang dikehendaki oleh wanita itu." Ini menunjukkan bahawa beliau s.a.w. selalu merendahkan diri.[3] Mungkin ini adalah merupakan sebuah motivasi yang perlu dijadikan pedoman bagi seorang bidan dalam menjalankan tugasnya sebagai bidan. Seorang bidan harus memilih kata-kata yang paling sopan dan disampaikan dengan cara yang lembut, karena sikap seperti itulah yang dilakukan Rasulullah, ketika berbincang dengan para sahabatnya, sehingga terbangun suasana yang menyenangkan. Hindari kata yang kasar, menyakitkan, merendahkan, mempermalukan, serta hindari pula nada suara yang keras dan berlebihan. Tawadlu', berendah hati adalah awal terbentuknya cinta dan silaturakhim.  Sikap ini muncul atas kesadaran diri, betapa sebagai makhluk Allah, seorang Muslim terbatas dalam banyak hal, termasuk juga ilmu pengetahuan. Allah lah Al-Ilm, Al-Haq, sementara produk akal fikiran manusia hanyalah dzon (dugaan, rekaan, hipotesis belaka). Allah lah sumber kebenaran, sedang dari manusia datang kesalahan. 
Maka dalam titik pandang ini adalah tidak pantas sombong bagi seorang bidan ketika merawat pasien. Tak ada dalil bagi seorang bidan untuk berlagak di hadapan Allah.  Karena dia hanyalah makhluk, hanya kreasi hasil cipta Sang Khalik yang sarat dengan kelemahan, kealfaan dan keterikatan terhadap hawa nafsu.  Bidan hanyalah turunan Adam yang tercipta dari tanah dan air. Lalu pantaskah dia "mengangkat dada" di hadapan aturan, jalan hidup yang diturunkan Allah ?
Tawadlu', akhlaq ini muncul dari kefahaman, bahwa sebagai seorang Muslim, belumlah tentu ia lebih baik dari saudaranya yang lain. Bisa jadi saudaranya yang lain malah lebih mulia di mata Allah ketimbang dirinya. Karena Allah lah Hakim Agung Yang Maha Tahu.
Akhlaq ini muncul dari proses panjang penyerapan ilmu yang haq, pemahaman mendalam hakekat jalan hidup Rabbani dan semangat yang terus merekah untuk membumikan nilai-nilai "langit". Dia muncul dari kematangan jiwa, tempaan tarbiyah, keuletan takwiniyah (pembinaan), dan kemampuan penuh menundukkan ego dan hawa nafsu.
Maka, dalam semangat dien ini, tawadlu' adalah pertanda kefahaman akan hahekat Agama Allah dan bukan kebodohan, ia pertanda keluasan ilmu dan bukan kesempitan hawa nafsu, dia lambang kedalaman aqidah dan bukan ketakutan kronis terhadap kekuasaan.  Maka tawadlu' adalah buah manis keimanan.  Yang demikian manis sehingga bersamanya setiap Muslim merendahkan diri terhadap aturan Allah, terikat dan mengikatkan diri pada jalan hidup yang dituntunkan Allah kepadanya, di dalamnya pengakuan betapa syamil dan kamilnya (sempurna dan terpadunya) Islam diikrarkan, dalam tuntunannya amaliah dan barokah dipersembahkan.  Karena seorang Muslim sejati memahami tawadlu' bukanlah sifat yang lemah, tetapi kemuliaan, sifat dari hamba-hamba Allah yang baik, sifat dari hamba-hamba pilihan Allah.
Maka bila matahari keimanan bersinar dan tawadlu' mewujud dalam akhlaq islami, maka pancarannya adalah keterikatan hati sesama muslim, saling mema'afkan atas kesalahan, rasa kasih-sayang dan cinta. Bahkan sekalipun orang-orang jahil (bodoh) menyapa mereka, mereka akan membalas sapaan itu dengan lemah-lembut dan dengan ucapan-ucapan yang mengandung keselamatan. Apabila orang-orang jahil mendebatnya maka mereka akan mendebat dengan cara yang baik. Karena kejahilan hanya sirna dengan kebenaran, dan kebenaran makin bersinar dengan tawadlu'. 
Inilah agama Allah yang mengagumkan, yang memancarkan kerendahan hati penganutnya, yang memancarkan kasih-sayang dan izzah (kebanggaan).  Agama yang lurus, agama yang diridhai Allah, agama yang mengantarkan keselamatan dunia dan akhirat. Jadi kesimpulannya seorang bidan sangat perlu memiliki sifat tawaddu' dalam menjalankan tugasnya.




[1] Yakni bahawa dirinya lebih mulia dari orang lain.
[2] Nawawi,  Riyadu as-sholihin, Tahkik Dr. Fahli, juz 1, hal; 357
[3] إن كَانَتِ الأَمَةُ مِنْ إمَاءِ المَدينَةِ لَتَأْخُذُ بِيَدِ النَّبيِّ - صلى الله عليه وسلم - ، فَتَنْطَلِقُ بِهِ حَيْثُ شَاءتْ            
Abu Kosim al-Amidi, al-Jam'u baena Sohihaen al-Bukhori, juz:2, hal:476

Tidak ada komentar:

Posting Komentar