Konsep Haidh Perspektif Medis
Oleh: Muhammad Zamroni
Sebelum Islam datang, perempuan adalah makhluk yang paling disengsarakan oleh laki-laki Yahudi. Orang-orang Yahudi tidak hanya melakukan penguburan hidup-hdup terhadap anak perempuannya yang baru lahir, tetapi juga mereka menganggap kotor dan bisa mendatangkan bencana. Sehingga, perempuan yang sedang haid pun harus diasingkan dari kehidupan masyarakat. Selama haid, ia harus tinggal dalam gubuk khusus (menstrual huts), tidak boleh diajak makan bersama, dan bahkan dia tidak boleh menyentuh makanan. Tatapan mata perempuan yang sedang haid disebut mata Iblis (evil eye) yang harus diwaspadai karena mengandung bencana. Oleh karena itu, perempuan yang sedang haid harus menggunakan tanda tertentu, seperti gelang, kalung, giwang, celak mata, cadar, riasan wajah yang khusus, dan sebagainya agar segera dapat dikenali kalau ia sedang haid. Semua itu diberlakukan untuk mencegah "si mata Iblis". Sebagaimana dikutip Badriyah Fayumi dalam buku tubuh, seksualitas, dan kedaulatan perempuan.
Ketika Islam datang dengan segala kemuliaannya. islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin selalu mendengungkan keadilan dan persamaan, baik antara yang kaya dan yang miskin, yang lemah dan yang kuat, laki-laki dan perempuan, dan sebagainya. Dalam ajaran Islam harta kekayaan, jenis kelamin dan hal material lainnya bukanlah sebuah tolok ukur untuk menilai derajat seseorang. Al-Quran dengan tegas menyebutkan bahwa "barometer" nilai seseorang di sisi Allah adalah kualitas ketakwaannya, sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Dengan melihat realitas teologis di atas, pantaslah jika Allah mengakui satu-satunya agama yang diakui kebenarannya di sisi-Nya hanyalah Islam seperti yang disingung dalam firman-Nya:
إِنَّ الدِّ يْنَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam" (Ali Imran : 19).
Bukti lain keberpihakan Islam terhadap kaum wanita adalah beberapa hadits yang disampaikan (ditunjukkan) oleh baginda Rasulullah saw. dalam beberapa kesempatan. Diawali dengan penghapusan terhadap paradigma bahwa anak perempuan adalah sebagai aib dalam kehidupan masyarakat. Dalam perkembangan berikutnya, untuk menyikapi perlakuan kaum Yahudi yang sangat keterlaluan tehadap para isterinya yang sedang mengalami pendarahan (haid). Hal tersebut pertama kali disikapi Allah dengan firman-Nya:
وَيَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ اَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِى الِمَحِيْضِ, وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتىَّ يَطْهُرْنَ, فَاِذاَ تَطَهَّرْنَ فَأْتوُهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللهُ, اِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ.
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: " haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri".
Menyikapi ayat ini, Badriyah Fayumi mengatakan bahwa kata "المحيض" disebut sebanyak dua kali. Selanjutnya dia mengatakan, para mufassir berbeda pendapat tentang arti kata "المحيض" ini. Ada yang menganggap keduanya bermakna sama, yakni "haid" seperti ath-Thabary. Namun ada pula yang membedakan makna keduanya. Kata "المحيض" yang pertama berarti "darah haid" dan kata "المحيض" yang kedua berarti "tempat keluarnya darah haid". Abu Hayyan termasuk yang berpendapat demikian.
Dalam buku yang sama Fayumi melanjutkan bahwa kata "المحيض" dan bukan- misalnya- kata "الحائض " (perempuan yang sedang haid) memiliki implikasi teologis yang sangat dalam. Dalam kata "المحيض" yang pertama yakni (يسالونك عن المحيض), al-Qur'an memberikan penegasan bahwa bukan perempuan haid yang kotor, melainkan darah yang keluar itu yang kotor. Pernyataan ini sangat berbeda dengan anggapan sebagian orang yang mengindentikkan haid dengan "perempuan yang kotor".
Dengan analisa di atas, selanjutnya Fayumi berujar, dalam al-Quran yang dianggap kotor adalah darahnya, dan bukan perempuan itu sendiri. Ini adalah pendapat yang sangat logis dan sesuai dengan kaidah umum kedokteran yang meyatakan bahwa darah haid adalah darah yang tidak diperlukan bagi organ tubuh perempuan dan harus dibuang karena jika tetap berada dalam perut justru akan menjadi penyakit. Dengan argumen medis yang demikian, peryantaan Al-Quran tentang haid sama sekali tidak dikamsudkan sebagai ajaran yang memandang rendah perempuan yang sedang haid.
Begitu pula dengan kata "المحيض" yang kedua: فِى النِّسَاءَ فَاعْتَزِلُوا الِمَحِيْضِ bukan perempuan yang haid yang harus diasingkan dan singkirkan, melainkan para suami yang harus melakukan i'tizal (tidak melakukan hubungan seksual) di tempat keluarnya darah haid (faraj atau vagina) samapi perempuan itu suci dari haid yang dialaminya. Sementara dalam selain hubungan seks, perempuan harus tetap diperlakukan sebagaimana biasa.
Penafsiran ayat seperti tersebut memang sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw. Beliau menjelaskan bahwa maksud menjauhi para isteri di saat haid adalah tidak menjimak (menyetubuhinya), bukan memarginalkan mereka dalam segala aktifitas sehari-hari, seperti yang dipraktikkan oleh umat Yahudi. Rasulullah saw. bersabda:
حَدَّثَنَا مُوْسَى اْبنُ إِسْمَاعِيْلَ, ثَنَا حَمَّادُ, ثَناَ ثَابِتُ الْبُنَانِيُّ, عَنْ أَنَسٍ ابْنِ مَالِكٍ قَالَ: (اِنَّ الْيَهُوْدَ كَانَتْ اِذَا حَاضَتْ مِنْهُمُ الْمَرْاَةُ اَخْرَجُوْهَا مِنَ الْبَيْتِ وَلَمْ يُوَاكِلُوْهَا وَلَمْ يُشَارِبُوْهَا وَلَمْ يُجَاِمعُوْهَا فِى الْبَيْتِ فَسَئَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم عَنْ ذَلِكَ, فَاَنْزَلَ اللهُ تعَاَلَى ذِكْرَهُ:{ وَيَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ اَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِى الِمَحِيْضِ } اِلَى اَخِرِ الْاَيَةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم: {جَامِعُوْهُنَّ فِى الْبُيُوْتِ, اِصْنَعُوْا كُلَّ شَئْ ٍغيَرَ النِّكَاحِ{
"Musa bin Isma'il mengabarkan kepada kita, bahwa berdasarkab berita yang dikabarkan oleh Hammad yang diterima dari Tsabit al-Bunaniy, dari Anas bin Malik, dia berkata: apabila orang perempuan yahudi sedang haidl, maka dia akan dikeluarkan dari rumahnya, tidak diajak makan bersama, minum bersama dan tidak boleh tinggal dalam rumahnya. Lalu Rasulullah ditanya mengenai hal itu, maka Allah menurunkan ayat: (mereka bertanya kepadamu tentang haidl, katakanlah: haidl itu adalah kotoran. Maka hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidl) sampai akhir ayat. Lalu Rasulullah bersabda: (ajaklah mereka berkumpul dalam rumah-rumah mereka, dan berbuatlah apa saja kecuali yang berhubungan dengan seks)".
Tidak hanya itu saja, tapi Rasulullah juga bersabda tentang harus dimuliakannya perempuan. Betapa seorang ibu disebutkan sebanyak tiga kali sebelum akhirnya ayah juga menyusul disebut, ketika seorang sahabat bertanya kepada Nabi tentang siapa yang harus dimuliakan. Lebih dari itu, baginda Nabi juga menegaskan bahwa suami yang baik adalah dia yang menghormati isterinya, sebagaimana sabdanya:
حَدَّثَنَا اَبُوْ كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَّءُ, حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ عَمْرٍو. حَدثَّنَا اَبُوْ سَلَمَةَ, عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم: {اَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا. وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا{
"Meriwayatkan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin al-'Ala', dari Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin 'Amr. Meriwayatkan kepada kami Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah bersabda: (paling sempurnanya iman orang-orang mukmin adalah yang paling baik ahlaknya. Dan paling baiknya kalian adalah orang yang paling baik ahlaknya terhadap isterinya)".
Dari beberapa bukti di atas, kiranya cukup jelas bahwa tidak seharusnya; siapapun orangnya memarginalkan (meminggirkan) perempuan, baik dalam kondisi normal, lebih-lebih dalam keadaan haid, karena seorang wanita dalam kondisi seperti itu sedang kurang stabil. Seorang wanita yang sedang mengalami pendarahan (haid) kondisi badannya adalah lemah, tidak sebagaimana dalam kondisi normal, seperti dikatakan Imam Nawawi dalam kitab Syarh Sullam At-Taufiq-nya.
Bicara persoalan haid (menstruasi), secara biologis peristiwa bulanan tersebut merupakan siklus reproduksi yang menandai sehat dan berfungsinya organ-organ reproduksi perempuan. Menstruasi menandakan kematangan seksual seorang perempuan, dalam arti ia mempunyai ovum yang siap dibuahi, bisa hamil, dan melahirkan anak. Dalam bahasa agama kita menyebut siklus ini dengan haid.
Siklus yang normal ini seharusnya disyukuri oleh perempuan juga laki-laki. Bukan malah dianggap sial. Karena dengan begitu, jelas bahwa perempuan itu tidak mandul dan memenuhi salah satu kriteria perempuan yang layak disunting sebagai isteri yang dipersyaratkan oleh Nabi. Oleh karena itu, tidak seharusnya laki-laki berbuat yang tidak sepantasnya terhadap perempuan yang sedang haid, seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi terhadap warga perempuannya.
Islam memang mengakui hak dan martabat kaum feminim. Perhatiannya begitu tinggi. Imam asy-Syafi'i sebagai salah seorang tokoh madzhab melanglang buana dalam rangka penelitiannya tentang haid. Beliau melakukan riset terhadap seluruh wanita di kalangan masyarakat Arab. Apa yang beliau lakukan merupakan sebuah kepedulian terhadap kaum wanita. Beliau sangat mengkhawatir kalau para wanita ternyata tidak paham terhadap problem kewanitaan yang kaitannya dengan ibadah kepada Allah, karena yang demikian jika tidak diseriusi akan menjerumuskan para kaum wanita kepada kesalahan di hadapan Allah swt.
Dalam penentuan haid ini, ternyata di kalangan Imam madzhab masih terjadi silang pendapat. Begitu sulit memahami konsep haid secara utuh, mulai dari penentuan status darah (haid atau istihadhah), durasi waktu haid (masa minimal dan maksimal), dan sebagainya. Dalam menilai status darah wanita, misalnya, fikih seringkali bersandar kepada warna dan kualitas darah. Kalau warna merah kehitam-hitaman dengan kualitas kental dan berbau dan keluarnya terasa panas, maka diputuskan bahwa itu adalah darah haid, sementara kalau warna darah tersebut tidak terlalu merah dan kualitasnya tidak kental serta keluarnya biasa-biasa saja, maka yang demikian ini tergolong darah istihadhah (penyakit).
Begitu pula dalam durasi waktu keluarnya darah, itu sangat menentukan dalam penetapan status darah wanita. Keluar darah warna merah kehitam-hitaman, kental, terasa panas keluarnya, tapi ternyata setelah dikalkulasi selama keluarnya darah tersebut durasi waktunya kurang dari sehari semalam (24 jam), maka darah ini tidak tergolong darah haid, tapi darah istihadhah. Hal ini berkonsekuensi berat bagi seorang wanita, karena dia wajib meng-qadha' shalat atau puasanya jika dia mengalami pendarahan haid pada bulan Ramadhan.
Padahal dalam dunia pengetahuan yang serba canggih sekarang ini, untuk menentukan segala sesuatu sangatlah mudah. Dahulu untuk menghitung data statistik memerlukan alat bantu rumus manual yang sangat sulit, untuk mengetahui rahim seorang wanita yang diduga hamil harus dibedah, untuk mengeluarkan penyakit memerlukan pembedahan dan sebagainya. Pada saat ini tidak perlu repot-repot, wanita tinggal menfungsikan alat teknologi yang serba canggih. Termasuk dalam penentuan status darah wanita.
Dalam banyak aspek, konsep haid yang ditawarkan Imam madzhab jauh bertentangan dengan ketetapan medis. Medis dalam memastikan status darah wanita apakah darah haid atau penyakit memiliki barometer tersendiri dan lebih akurat dalam bahasa kitabnya lebih dhabith.
Jangan Sampai dengan sebab haed prempuan tidak diberikan hak-haknya sebagai orang yang mempunyai hak. Makanya perlu sebuah trobosan baru
BalasHapus