Jumat, 10 Desember 2010

Nikah Why Not

NIKAH Why Not..!
Oleh: M. Zamroni
"Wanita diciptakan dari rusuk pria, bukan dari kepalanya untuk menjadi atasnya, bukan pula dari kakinya untuk menjadi alasnya, melainkan dari sisinya untuk menjadi teman hidupnya, dekat pada lengannya untuk dilindungi dan dekat pada hatinya untuk dicintai"
Ayah dan Ibu pada dasarnya harus segera menikahkan anaknya yang sudah waktunya untuk melakukan pernikahan. Oleh sebab itu, pernikahan janganlah di persulit. Karena kadang-kadang masyarakat Islam tertipu dengan adat istiadat keras yang bukan berasal dari Islam, mempersulit pernikahan dengan mempertinggi mahar (maskawin/ uang tanda jadi), sehingga kerapkali kejadian permufakatan hendak nikah yang telah hampir jadi, diurungkan kembali karena selisih perkara mahar. Timbullah hawanafsu mempertahankan agama dari kebangsawanan (keturunan Lalu/Baiq), padahal anak perempuannya sendiri atau anak laki-lakinya sudah sampai kepada taraf nafsu yang telah berkobar. Sehingga di beberapa negeri Islam di Indonesia ini diakui menurut "adat" akan apa yang dinamai "kawin lari" (merarik).
Kawin lari adalah merupakan akibat dari pihak ayah yang bersikeras mempertahankan maskawin, sedang bakal mantu tak sanggup dengan maskawin yang diinginkan orang tua perempuan. Lalu perempuan itu dilarikannya, berdasarkan kesepakatan antara laki-laki dan perempuan, kemudian perempuan itu dititipi ke-keluarga dekat si laki-laki. Setelah 1 (satu) hari, barulah si prempuan memberi tahu ke-keluarganya bahwa dia mau menikah. Akhirnya si ayah marah-marah, tapi tidak bertindak untuk memisahkan mereka. Hal-hal semacam ini pada dasarnya tidak perlu terjadi, karena Nabi sendiri mengajarkan contoh yang baik ketika ada seorang pemuda datang kepada Nabi Muhammad saw dan mengutarakan keinginannya untuk menikah dan mintak dicarikan istri, biar Rasulullah saw sendiri yang memilihkan, padahal dia tidak mempunyai harta untuk memberlangsungkan perkawinan itu. Lalu Rasulullah saw menyuruhnya mencari sesuatu walaupun berupa cincin besi untuk menjadi mahar (tanda jadi). Pemuda itupun mengatakan kalau dia tidak punya cincin besi. Akhirnya Rasulullah saw bertanya kepada pemuda itu berapakah ayat al-Qur'an yang kamu hafal..? lalu pemuda itu menjawab bahwa dia menghafal surat anu dan surat anu. Lalu Nabi bertanya kepada prempuan yang pantas buat pasangan pemuda itu, sudikah engkau bersuami dengan laki-laki yang kekayaan dan mahar yang dapat diberikannya hanyalah mengajarkan beberapa ayat al-Qur'an, surat anu dan surat anu..? setelah pemudi itu mengetahui siapa yang akan menjadi suaminya, meskipun dia masih miskin, tetapi tampang kejujuran jelas memancar dari matanya, pemudi itu pun menerima pinangan Rasulullah saw sehingga pemuda-pemudi itu melangsungkan pernikahan dengan maskawin ayat al-Qur'an dan hiduplah mereka dengan beruntung dan berbahagia bertahun-tahun lamanya. Mereka hidup beruntung, karena keberuntungan itu terletak pada kepercayaan kepad Allah SWT, harapan yang tidak putus dan tidak memandang masa depan dengan mata muram.
Pada pembahasan kali ini Nurul Wustha mencoba membahas tentang pernikahan, untuk lebih jelasnya pembahasan ini, kami akan mencoba menguraikan tentang beberapa pendapat 'Ulama masalah nikah. Seperti apakah Nikah itu…?
Untuk mengawali pembahasan kali ini, kita perlu mengkaji firman Allah SWT di dalam Surat an-Nur ayat 32 yang artinya:
Artinya: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui."
Sebagian ulama berpendapat bahwa khitob dari firman Alloh وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى adalah umum bagi seluruh umat. Sebagian yang lain berpendapat bahwa khitob-nya adalah para wali dan sayyid. Dan ada juga yang berpendapat bahwa khitobnya adalah para calon suami karena merekalah yang diperintahkan ntuk menikah.
Dalam masalah perkawinan pada kondisi normal, yaitu kondisi dimana seseorang aman dari melakukan hal-hal yang diharamkan, ulama' tidak menemukan kata sepakat, mereka terbagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut : Pertama : Dhohiriyah berpendapat bahwa menikah hukumnya wajib dan orang yang meninggalkan akan berdosa. Argumentasi kelompok ini adalah bahwa dalam menjelaskan masalah perkawinan Alloh menggunakan shighot amar (perintah), hal itu menunjukan atas wajibnya nikah.
Kedua : Syafi’iyyah berpendapat bahwa menikah hukumnya mubah dan tidak berdosa meninggalkanya. Mereka berargumen bahwa nikah ialah untuk memperoleh kenikmatan dan memenuhi syahwat, maka nikah hukumnya mubah sebagaimana makan dan minum. Ketiga : Jumhur ulama berpendapat bahwa menikah hukumnya sunnah. Mereka menguatkan pendapatnya dengan beberapa argument berikut :
ü      Rosululloh tidak mengingkari para sahabat yang tidak menikah pada masa beliau.
ü      Andaikata menikah adalah wajib niscaya wajib bagi wali untuk memaksa anak jandanya untuk menikah, akan tetapi hal itu dilarang oleh syara’.
ü      Kesepakatan ulama bahwa sayyid tidak wajib memaksa budaknya untuk menikah, padahal lafadz amat (budak) dalam firman Allah di athofkan pada lafal ayaam sehingga hal itu menunjukan bahwa semuanya tidak wajib.
ü      Sabda nabi :
 مَنْ أَحَبَّ فِطْرَتِى فَلْيَسْتَنَّ بِسُنَّتِى وَمِنْ سُنَّتِى النِّكَاحُ
ü      "barang siapa senang pada agamaku maka buatlah sunah dengan sunahku, dan sebagian dari sunahku adalah nikah"
ü      Sabda nabi :
 تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"menikahlah dengan wanita yang penyayang dan subur, sesungguhnya aku membanggakan banyaknya kamu kepada para nabi dihari kiamat"
Dari beberapa pendapat diatas, Muhammad Ali al-Shobuni mengunggulkan pendapatnya jumhur ulama bahwa menikah adalah sunah berdasarkan hadist shohih من رغب عن سنتي فليس مني (Barang siapa yang tidak senang dengan sunnahku maka bukan dari golonganku).
Lalu bagaimana huukumnya wali memaksa bikr (perempuan yang masih perawan) yang sudah baligh untuk menikah?
Syafi'iyah berdasarkan ayat وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى mengatakan bahwa wali boleh memaksa bikr untuk menikah karena keumuman ayat. Sedangkan al-Jashos berpendapat bahwa wali tidak boleh memaksa bikr kecuali ada izin darinya. Karena Rosululloh saw memerintahkan pada wali untuk berkonsultasi dengan bikr lalu beliau berkata وإذنها صماتها. (diamnya adalah izin darinya).
Membicarakan masalah nikah memang sesuatu yang perlu kita lakukan, lalu bagaimana hukumnya perempuan menikah tanpa wali.?
Kalangan Syafi'iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa wanita tidak bisa menikah sendiri tanpa wali, mereka mendasarkan pendapatnya pada firman Alloh وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى dan وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا. Khitob pada kedua ayat tersebut adalah laki-laki bukan perempuan. Karena jika dibolehkan wanita menikah tanpa wali niscaya hilanglah hak perwalian bagi wali. Muhammad Ali al-Shobuni mendukung pendapat tersebut akan tetapi beliau tidak mendasarkan pendapatnya pada kedua ayat diatas, melainkan pada hadist   لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ  (Nikah tidak sah kecuali dengan wali).
Pernikahan adalah merupakan suatu aturan yang hendak membentuk suatu masyarakat Islam yang gemah ripah, adil dan makmur, loh jinawi. Keamanan dalam rohani dan jasmani dan dapat dipertanggung jawabkan. Sehingga laki-laki yang tidak beristri dan perempuan yang tidak bersuami, baik masih bujangan dan gadis ataupun duda dan janda, karena bercerai atau karena kematian salah satu suami atau istri, hendaklah segera dicarikan jodohnya. Soal mengawinkan yang belum beristeri atau bersuami bukanlah lagi semata-mata urusan pribadi dari yang bersangkutan, atau urusan "rumah tangga" dari orang tua kedua orang yang bersangkutan saja, tetapi menjadi urusan pula dari jama'ah Islamiyah, tegasnya masyarakat Islam yang mengelilingi orang itu.
Jadi, pada dasarnya amat berbahaya membiarkan terlalu lama seorang laki-laki muda tak beristri dan seorang gadis tak bersuami. Penjagaan kampung halaman dengan agama yang kuat dan adat yang kokoh mungkin dapat membendung jangan sampai terjadi pelanggaran susila. Tetapi penyelidikan-penyelidikan Ilmu Jiwa di zaman modern menunjukkan bahwa banyak sekali  penyakit jiwa disebabkan oleh hawa nafsu kelamin. Bertambah modern pergaulan hidup sekarang ini, bertambah banyak hal-hal yang akan merangsang nafsu kelamin. Bacaan-bacaan cabul, film-film yang mempesona dan menggerak syahwat, semuanya berakibat kepada sikap hidup. Makanya sangat diperlukan sebuah pernikahan untuk menanggulangi semua penyakit jiwa yang ditimbulkan oleh nafsu kelamin dan agar supaya kita tidak terjerumus di dalam kesesatan. So menikahlah jika sudah waktunya…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar