Sabtu, 22 Januari 2011

Fiqh

ADOPSI ANAK;
Wacana Konvensional Rentan Masalah
Oleh: M. Zamroni

Adopsi atau pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW, adopsi yang dalam pengertian “mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh kasih sayang dan perhatian tanpa diberitahukan status anak kandung kepadanya ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri”. Tradisi ini sebenarnya jauh sebelum islam datang telah dikenal oleh manusia,seperti oleh bangsa yunani, Romawi, India, dan berbagai bangsa pada zaman kuno. Dikalangan bangsa Arab sebelum dengan Islam (masa jahiliyah) istilah ini dikenal dengan at-Tabanni dan sudah ditradisikan secara turun-menurun. Imam al-Qurtubi (ahli tafsir klasik) menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah sendiri pernah mengangkat Zaid bin Harisah menjadi anaknya, bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama Ayahnya Harisah tetapi ditukar oleh Rasulullah dengan nama Zaid bin Muhammad.
Kita semua pasti sepakat bahwa adopsi anak merupakan wacana konvensional. Hal ini terbukti bahwa adopsi anak sudah jauh terjadi di zaman jahiliyah, walaupun begitu, tidak semua orang paham hakikat adosi anak.
Baik dalam bingkai agama maupun sosial. Untuk lebih jelasnya permasalahan adovsi ini, “Nurul Wustha” mencoba untuk memperjelas tentantang apa yang dimaksud dengan Adopsi dan Bagaimana Status hukum anak angkat (adopsi) dalam Islam?
Ada beberapa istilah yang dikenal dalam pengangkatan anak di Indonesia. Pengangkatan anak sering disebut dengan istilah adopsi, yang berasal dari kata adoptie dalam bahasa Belanda atau adoption dalam bahasa Inggris. Kata adopsi berarti pengangkatan seorang anak dijadikan seperti anak kandung atau anak sendiri. Istilah pengangkatan anak dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tabanni, yang artinya mengambil anak angkat atau menjadikan seseorang sebagai anak angkat. Sedangkan dalam hukum adat, berkaitan dengan pengangkatan anak terdapat bermacam-macam istilah. Misalnya mupu anak di Cirebon, ngukut anak di Sunda Jawa Barat, meki anak di Minahasa.
Adopsi mempunyai dua pengertian. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri, tanpa memberi status anak kandung kepadanya. Kedua, mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.
Adanya beragam istilah pengangkatan anak juga mengarah pada perbedaan pengertian dan akibat hukum dari perbuatan hukum pengangkatan anak. Oleh sebab itu, berkaitan dengan istilah hukum pengangkatan anak di Indonesia tersebut akan dipaparkan secara jelas beberapa pengertian menurut Staatsblad 1917 Nomor 129, Hukum Adat, Perundang-undangan dan Hukum Islam.
Pengertian anak angkat dalam perundang-undangan Republik Indonesia dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Undang-Undang ini memberikan
pengertian bahwa yang dimaksud anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Pengaturan pengangkatan anak dalam perundang-undangan telah mengalami kemajuan dibandingkan keberadaan lembaga pengangkatan anak sebelumnya. Ketentuan pengangkatan anak tidak mengenal diskriminasi laki-laki atau perempuan bagi calon orang tua angkat maupun calon anak angkat. Pengaturan lembaga pengangkatan anak merupakan upaya agar setiap anak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik maupun mental maupun sosial dan berakhlak mulia. Ada beberapa hal yang penting mengenai pengaturan pengangkatan anak dalam perundang-undangan yang patut diketengahkan, yaitu : Pertama, pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Kedua, pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. Ketiga, calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
Ada dua macam cara mengangkat anak antara lain yakni: Pertama: Seseorang mengambil anak orang lain sebagai anak angkatnya, karena merasa kasihan kepada anak itu. Pendidikannya tidak terurus, keperluan sehari-hari susah di dapat, karena orang tuanya dihimpit penderitaan. Orang tua anak angkat itu dengan jelas diketahui dan si bapak angkat pun tidak mengakui anak itu sebagai anak kandungnya, dia hanya mengasuhnya dan mendidiknya.
Kedua: Seseorang mengambil anak orang lain sebagai anak angkat dan anak tersebut dipandangnya sebagai anak kandungnya, serta nasab anak tersebut juga dihilangkannya. Orang tua anak itu tidak lagi disebut-sebut dan langsung dinasabkan kepada bapak angkat.
Menurut ajaran Islam cara yang kedua ini dilarang, karena memang tidak pantas menurut akal sehat bahwa seseorang mengingkari nasab terhadap anak kandungnya sendiri dan sebaliknya mengakui anak orang lain sebagai anak kandungnya yang bukan lahir dari tulang sulbi dan rahim istrinya. Hal ini dapat mengaburkan garis keturunan dan pertalian darah.
Dalam kajian hukum Islam, Mahmud Syaltut mengemukakan bahwa ada dua pengertian pengangkatan anak. Pertama, mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang seperti anak sendiri tanpa diberikan status anak kandung kepadanya. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan diberi status sebagai anak kandung, sehingga berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu.
Menurut Zakaria Ahmad Al-Barry, mengangkat anak yang sangat membutuhkan bantuan orang lain untuk kelangsungan hidupnya tanpa berakibat hukum seperti pengangkatan anak zaman jahiliah adalah menjadi tanggung jawab masyarakat secara kolektif dan dilakukan oleh beberapa orang sebagai fardu kifayah. Hukumnya berubah menjadi fardhu ‘ain apabila seseorang menemukan anak terlantar atau terbuang di tempat yang sangat membahayakan nyawa anak itu, karena sesungguhnya jiwa manusia berhak dijaga dan dipelihara.
 Ulama fiqh sepakat melarang praktik pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum seperti pengangkatan anak masa jahiliah, yaitu pengangkatan anak yang mengubah status anak angkat menjadi anak kandung dan terputus hubungan anak angkatDalam hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya tanggung jawab untuk memberikan nafkah, mendidik, memelihara dan lain-lain dalam konteks beribadah kepada Allah SWT.
Hikmah dari pensyari’atan adovsi dalam Islam adalah membatalkan sebagian tradisi orang jahiliyah yang diinkari oleh Islam. Mereka mengadopsi anak yang bukan dari tulang rusuknya (bukan anak kandung) dan dijadikan anak kandungnya. Artinya anak tersebut diposisikan seperti anak kandungnya dalam berbagai hal, yaitu dalam menerima warisan, talak, perkawinan, keharaman mertua, keharaman nikah, dan sebagainya.
Mereka mengadopsi anak orang lain dan ia berkata " engkau anakku, aku akan mewarisi kamu,  dan kamu mewarisi aku". Tradisi seperti ini oleh islam dibatalkan dan mereka tidak dibiarkan berlarut-larut dalam kebodohannya. Dalam hal ini Allah memberi ilham kepada Rasul sebelum diangkat menjadi Nabi untuk mengadopsi anak yang bernama  Zaid bin Haritsah sesuai tradisi orang arab sebelum masuk islam. Zaid bin Haritsah ini oleh orang arab diklaim sebagai anak Nabi Muhammad dan mereka memangilnya dengan sebutan Zaid bin Muhammad.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang diperoleh dari Abdullan bin Umar radliya Allah Anhuma ia berkata "Zaid bin Haritsah adalah anak Rasul dan kami memanggilnya Zaid bin Muhammad, sehingga turunlah ayat:
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّه
Artinya:  “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah", (Q.S. al-Ahzab : 5).
Dengan turunnya ayat ini nabi bersabda kepada putra angkatnya "Kamu anaknya Haritsah bin Syarajil”
Putra angkatnya oleh rasul dikawinkan dengan putri bibik Nabi yang bernama Zainab Binti Jahsyin al-Asadiyah. Mereka berdua merajut cintanya dan membangun mahligai rumah tangga dalam waktu yang sangat singkat. Mereka tidak ada kecocokan dan terjadilah perceraian di antara mereka.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang pengangkatan anak pada Maret 1984 atau Jumadil Akhir 1405 Hijriah mengemukakan sebagai berikut :
Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah ialah anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan).
Mengangkat anak dengan pengertian anak tersebut putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan dengan syariat Islam. 
 Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang seperti anak sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal salih yang dianjurkan oleh agama Islam.
Pengangkatan anak Indonesia oleh warga Negara asing selain bertentangan dengan UUD 45 juga merendahkan martabat bangsa.
Dari pemaparan makalah tersebut, dapatlah diambil beberapa kesimpulan di antaranya:
Pengangkatan anak di zaman jahiliah atau sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasul sangat berbeda dengan pengangkatan anak setelah Nabi Muhammad menjadi Rasul (setelah kenabian).
Pada masa jahiliah nasab anak angkat memakai nama orang tua angkatnya dan menghapus nama orang tua kandungnya, anak angkat mendapatkan warisan (saling mewarisi) Tetapi setelah Nabi Muhammad menjadi Rasul segala aturan tersebut berubah, Allah SWT menegaskan bahwa anak angkat tidaklah sama dengan anak kandung. Status anak angkat dan anak kandung tidaklah sama. Segala ketentuan yang dimiliki oleh anak kandung belum tentu dapat dimiliki oleh anak angkat. Agama Islam menghendaki adanya pengangkatan dan pemungutan anak, untuk mendidik, memelihara dan menjaganya. Hanya saja nasab anak tersebut tidak boleh dihilangkan. Anak angkat
tidak mendapat warisan,akan tetapi ia mendapat wasiat wajibah. Kewenangan dalam perwalian untuk menikahkan tetap berada pada orang tua kandungnya. Fa al-yandzur….!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar