Minggu, 23 Januari 2011

Hukum Positif Berasas Al-Qur'an


Hukum Positif Berasaskan Al-Qur'an
Oleh: M. Zamroni

Manusia sebagai makhluk sosial pasti saling berhubungan antara satu individu dengan individu lainnya. Dalam perjalanannya, manusia membutuhkan hukum supaya terjalin suatu hubungan yang harmonis. Pada dasarnya manusia secara alami mempunyai kaidah seperti norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma adat sebagai aturan dalam kehidupannya. Akan tetapi norma-norma itu tidak cukup untuk menjamin keberlangsungan kehidupan manusia karena tidak tegasnya sanksi bagi yang melanggarnya sehingga kesalahan itu bisa terulang lagi, maka disusunlah suatu hukum yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.
Pada hakikatnya tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat.
Hukum berfungsi sebagai pengatur keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia sebagai makhluk sosial, dan mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Karena pentingnya kedudukan hukum dalam tatanan masyarakat, maka dalam pembentukan peraturan hukum tidak bisa terlepas dari asas hukum, karena asas hukum adalah landasan utama dalam pembentukan hukum.[1]
Tiap-tiap bangsa memiliki hukumnya sendiri, seperti terhadap bahasa dikenal tata bahasa, demikian juga terhadap hukum dikenal juga tata hukum. Tiap-tiap bangsa mempunyai tata hukumnya sendiri. Perbuatan atau tindakan manakah yang menurut hukum, dan manakah yang melawan hukum, bagaimanakah kedudukan seseorang dalam masyarakat, apakah kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenangnya. Semua pertanyaan itu akan terjawab menurut tata hukum masing-masing negara. Hukum yang sedang berlaku di dalam seatu negara dinamakan hukum positif.[2]
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 sistem hukum yang diberlakukan di Indonesia adalah hukum adat, hukum barat dan hukum Islam, yang di maksud dengan hukum islam di sini yaitu hukum yang diberlakukan bagi warga negara indonesia yang beragama Islam yang tercantum dalam hukum positif yaitu UU Nomor 1 tahun 1974,  UU Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, UU Nomor 1991.
Tentunya dari tiga hukum yang diberlakukan di Indonesia tersebut ada beberapa hal yang berbeda, penulis akan mencoba memaparkan perbedaan-perbedaan tersebut ditinjau dari sisi asas-asanya yang sesuai dengan syari'at islam. Di dalam makalah ini,penulis akan menyebutkan beberapa asas hukum positif yang qur'ani, antara lain;
1.      Asas Legalitas,
Terkandung dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Hukum pidana harus bersumber pada undang-undang, artinya pemidanaan harus berdasarkan undang-undang.
2.      Asas tidak berlaku Surut,
Ditentukan dalam pasal 1 ayat 2 KUHP (pengecualian pasal 1 KUHP). Ketentuan pidana dalam undang-undang tidak boleh berlaku surut (strafrecht heeftgeen terugwerkende kracht). Seandainya seseorang melakukan suatu tindak pidana yang baru kemudian hari terhadap tindakan yang serupa diancam dengan pidana, pelaku tidak dapat dipidana atas ketentuan yang baru itu. Hal ini untuk menjamin warga negara dari tindakan sewenang-wenang dari penguasa.
3.      Asas Teritorialitas (pasal 2 KUHP).
Yang paling pokok dalam asas ini dalam hubungannya dengan berlakunya undang-undang hukum pidana dapat pula yang diutamakan ialah batas-batas teritorial dimana undang-undang hukum pidana tersebut berlaku tolak pangkal dari pemikiran untuk penerapan asas teritorial ialah bahwa diwilayah indonesia, hukum pidana indonesia mengikat bagi siapa saja (penduduk/bukan penduduk) . Dasarnya ialah bahwa setiap negara yang berdaulat wajib memelihara sendiri ketertiban hukum dalam wilayahnya.
4.      Asas personalitas (Nasional aktif).
Dasar dari asas ini ialah bahwa setiap negara yang berdaulat wajib sejauh mungkin mengatur sendiri warganya.
5.      Asas perlindungan (Nasional Pasif).
Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap negara yang berdaulat wajib melindungi kepentingan hukum warga negaranya
6.      Putusan Pengadilan tidak hanya mempunyai kekuatan terhadap pihak yang kalah, tetapi juga terhadap seseorang yang mendapat hak dari pihak yang kalah itu (rechtverkrijgende).
7.      Dalam hal telah ada putusan Pengadilan yang menetapkan hubungan hukum antara pihak-pihak yang berperkara, maka apabila salah satu pihak meninggal, hak-hak dan kewajiban kewajiban hukum yang ditetapkan dalam putusan Pengadilan beralih kepada ahli warisnya[3]


[1] Arrasyid, Chainur. 2000, Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.
[2] Mertokusumo, Sudikno. 1995. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty
[3] Rahardjo, Sutjipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar