Kamis, 13 Januari 2011

Tasawuf

INSAN IS ONE
Oleh: M. Zamroni
Agama –terutama sekali Islam– terletak di atas realitas imperatif dari Allah sebagai pencipta, pemelihara, dan yang menghakimi dengan awal mula, kehidupan dan nasib manusia, baik secara individual maupun secara kolektif, yang ditentukan oleh ketiga sifat Allah tadi. Keseluruhan struktur keyakinan dan ritual agama bertujuan untuk memperkuat penanggapan manusia terhadap realitas Allah ini dan untuk mencerminkan realitas ini dengan manivestasi-manivestasi yang beraneka ragam di dalam seluruh bidang aktifitas manusia. Untuk tujuan itu, sebagai wahyu Allah yang terakhir, Islam menerangkan secara detail dan eksplisit dan menegakkan kerangka norma-norma bagi perbuatan dan tingkah laku manusia, norma-norma yang memungkinkan manusia untuk memenuhi hidupnya dengan kesadaran yang terus menerus pada realitas Ilahi, untuk hidup dalam keadaan berdzikir –mengingat Allah.
Sampailah abad 21 dengan tampilan trend-trend modern yang mempunyai kecenderungan-kecenderungan untuk menyangkal realitas Ilahi secara aktif dan sengaja. Pada masa sekarang ini, didapati adanya keresahan-keresahan dan sebuah hasrat baru untuk mendapatkan kesadaran terhadap realitas transendental (jauh dari dunia empiris). Namun hanya sedikit yang memiliki konsep mengenai cara yang mau tidak mau harus dipergunakan, atau yang memiliki pengertian mengenai prasyarat-prasyarat spiritual dan intelektual untuk membebaskan diri dari mentalis zaman modern.
Negara-negara Islam pada umumnya dan Indonesia pada khususnya sejalan dengan waktu, telah berlabuh di zaman modern yang bernafaskan budaya barat dalam wujud media elektronika yang diam-diam memboikot dirinya sebagai pemegang peranan penting dan bahkan menentukan corak kehidupan. Dengannya, komputer, faximile, internet, dan lain-lain mampu menyulap dunia seakan kota, jauh seakan dekat, dan maksiat seakan adat. Peranan media elektronika yang demikian besar akan menggeser agen-agen sosialisasi manusia yang belangsung secara tradisional seperti yang dilakukan oleh orang tua, guru, pemerintah, dan seterusnya. Kemajuan teknologi elektronika terutama didalam bidang informasi pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan dan kepribadian masyarakat.
Kemoderenan ini kini telah berhasil mengembangbiakkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan. Namun pada sisi lain, ilmu pengetahuan dan teknologi canggih tersebut tidak mampu menumbuhkan atau malah melumpuhkan moralitas (akhlak) yang mulia. Dunia modern saat ini, termasuk di Indonesia ditandai oleh gejala kemerosotan akhlak yang telah mencapai taraf yang mengkhawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong-menolong, dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal, dan saling merugikan. Disana sini banyak terjadi adu domba dan fitnah, menjilat, mengambil hak orang lain sesuka hati, dan perbuatan-perbuatan biadab lainnya.
Gejala kemerosotan moral tersebut, dewasa ini bukan saja menimpa kalangan dewasa, melainkan juga telah menimpa kalangan pelajar tunas-tunas muda. Orang tua, ahli didik, dan mereka yang berkecimpung dalam bidang agama dan sosial banyak mengeluhkan terhadap perilaku sebagai pelajar yang berperilaku nakal, keras kepala, mabuk-mabukan, tawuran, pesta obat-obatan terlarang, bergaya hidup seperti hippies di Eropa dan Amerika dan sebagainya.
Tingkah laku penyimpangan yang ditunjukkan oleh sebagian generasi muda harapan masa depan bangsa itu, sungguhpun jumlahnya hanya sepersekian persen dari jumlah pelajar secara keseluruhan, sungguh amat disayangkan dan telah mencoreng kredibilitas dunia pendidikan. Para pelajar yang seharusnya menunjukkan akhlak yang baik sebagai hasil didikan itu, justru malah menunjukkan tingkah laku yang buruk.
Merekalah yang oleh nash qur’ani pada beribu-ribu abad yang lalu dikutuk sebagai “ orang-orang yang merugi diterpa masa ” :
“ Demi masa …! sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal-amal yang sholeh, saling menyerukan kebenaran, dan saling menyerukan kesabaran ”.(Surat Al-‘Ashr).
“ Lantas, adakah kesalahan yang telah dilakukan oleh dunia pendidikan? apa visi dan misi (tujuan) pendidikan Islam? di manakah letak fungsi dan peranan pendidikan agama dalam meningkatkan akhlak dan moralitas bangsa? dan bagaimanakah cara memperbaiki kinerja dunia pendidikan dalam mengatasi permasalahan tersebut? ”
Ada beberapa faktor yang direkam sebagai sebab lahirnya tragedi ganas tersebut, diantaranya : pertama, longgarnya pegangan terhadap agama dikarenakan desakan ilmu pengetahuan berikut kecanggihan zaman yang sanggup menjatuhkan pamor keyakinan agama (ibadah spiritual) sehingga kepercayaan kepada Tuhan tinggal simbol, segala larangan dan suruhan Tuhan tidak digubris. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol dan pengendali sikap yang ada dalam dirinya. Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral (akhlak) yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah maupun masyarakat. Ketiga, derasnya arus budaya materialistis (yang samar-samar memandang dunia/jagat raya ini bukan milik siapa-siapa, tak ada perancangnya, tercipta tanpa tujuan, dan bergerak menuju kemusnahan), hedonistis (kecenderungan memandang pokok kehidupan adalah pencapaian kenikmatan), dan sekularistis (pandangan keduniawian).
Zakiah Daradjat mengatakan bahwa bias tragedi tersebut kini berhasil mempengaruhi cara berfikir manusia dan pembentukan kepribadian (personality building). Beliau turut menambahkan faktor-faktor yang memicu lahirnya tragedi tersebut, yakni: kebutuhan hidup yang semakin meningkat, rasa individualistis dan egois, persaingan dalam hidup, keadaan yang tidak stabil, dan terlepasnya pengetahuan dari agama ( kemarau spiritual –dangkalnya iman).
Tentunya ini akan menjadi bahan asyik perenungan kita; “seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa kebahagiaan yang lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi kenyataan yang menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup semakin sukar dan kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran mental. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga menguras kebahagiaan.”
Dengan telaah tragedi mengenaskan ini dan hal-hal yang menjadi pembangkitnya, nyatalah bahwa fakta tersebut merupakan “undangan wajib” kepada pihak pendidikan agama agar hadir lebih serius dalam terobosan visi dan orientasi pendidikan yang tidak semata-mata terperangkap serius pada jurang pengisian otak belaka (kecerdasan otak –Intelektual Quotient ; IQ), tetapi juga pengisian jiwa (kecerdasan spiritual –Spiritual Quotient ; SQ ), pembinaan akhlak dan kepatuhan dalam menjalankan ibadah (ikatan tauhid), yaitu suatu keyakinan bahwa ilmu-ilmu yang dihasilkan lewat penalaran manusia itu harus dilihat sebagai bukti kasih sayang Tuhan kepada manusia, dan harus diabadikan untuk beribadah kepada Tuhan melalui karya-karya 'amali manusia yang ikhlas. Sampai benar-benar bisa dirasa, kandungan rukun iman dan rukun Islam tidak hanya bermukim di lisan ucap saja, melainkan telah berkarakter dalam pribadi batin dengan bukti buah pola tingkah yang bernafaskan dengan nafas Tuhan (dzikrullah).
Apakah tekad keimanan dan keIslaman kita sudah sampai pada tingkatan teruji; dalam artian bilamana disuguhkan suatu kemaksiatan, senikmat apapun rasanya, maka akan kita balas dengan “saya takut kepada Allah”, ataukah keimanan dan keIslaman kita sekedar “barisan huruf I-S-L-A-M” yang terpampang rapi di atas KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang bilamana luntur maka luntur pula Islam kita, lebih-lebih bilamana hilang KTP maka turut hilang pula iman dan jati diri kita?.
Ujung-ujungnya, terasa perlu bagi kita untuk memperjelas bagaimana sebenarnya tujuan pendidikan?. Untuk edisi ini, Al-Qur'an mengorientasikan tujuan pendidikan pada pembinaan manusia, guna mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Manusia yang dibinanya itu adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material, yaitu jasmani, dan non material, yaitu akal dan jiwa. Pembinaan akal akan menghasilkan kecerdasan. Sedangkan, pembinaan jiwa akan menghasilkan etika. Dan pembinaan jasmani akan menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan kecerdasan dan keterampilan, akan tercipta makhluk dwi dimensi dalam satu keseimbangan dunia dan akhirat, ilmu dan iman. Itulah sebabnya dalam dunia pendidikan Islam, dikenal istilah Adabud-Din dan Adabud-Dunya.
Rasulullah SAW. sebagai penerima plus manifestor Al-Qur'an, mempunyai tugas utama yakni menyampaikan, mengajarkan, dan memuliakan manusia, sebagaimana ditegaskan Surat Al-Jumu’ah [62]: 2 :
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat–NYA kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Al-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Kata يزكيهم (menyucikan) dalam ayat di atas dapat diidentikkan dengan mendidik. Sedangkan, kata يعلمهم (mengajar) tidak lain kecuali proses pengisian otak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam 'metafisika' serta 'fisika'.
Terbaca jelas dari bunyi ayat di atas, bahwa penyucian diri (tazkiyatun nafs) dan pengajaran ilmu adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dan dalam aktualisasinya mesti berlaku sistematis, dengan final pencapaian dari pembacaan, penyucian, dan pengajaran tersebut adalah pengabdian kepada Allah. Hal itu sejalan dengan penciptaan manusia. Sebagaimana yang ditegaskan dalam surat az-Zariyat (51):56:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.
Menurut interpretasi Mustafa Al-Keik, bahwa Allah tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk menjadikan tujuan akhir atau hasil dari segala aktifitasnya adalah pengabdian kepada-Nya.
Sehubungan dengan fungsi manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini, Al-Qur'an menjelaskan hal tersebut di dalam surat Hûd [11]:61:
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata : ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmatnya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)’”.
Ayat ini memberikan pengertian bahwa manusia yang dijadikan khalifah oleh Allah, bertugas memakmurkan atau membangun bumi sesuai dengan konsep yang dirintis oleh Allah. Atas dasar ini, maka tujuan pendidikan dalam Al-Qur'an dapat dijalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah. Dengan kata lain –yang lebih singkat dan sering digunakan Al-Qur'an– yakni untuk bertakwa kepada Allah.
Langkah ke depan yang patut diperhatikan ialah bagaimana membumikan nilai-nilai spiritual ditengah dinamika modernitas kehidupan manusia. Sufi masa modern adalah orang yang mampu menghadirkan ke dalam dirinya nilai-nilai Ilahiah yang memancar dalam bentuk prilaku yang baik dan menyinari kehidupan sesama manusia.
Untuk itu, diperlukan orientasi baru berupa penghadiran nilai-nilai Ilahi dalam prilaku keseharian kita, sehingga peran agama yang menghendaki kesucian moral tetap terasa sangat perlu di abad modern ini. Dalam catatan, pengamalan ajaran agama tidak cukup jika hanya bersifat rasional dan formal tanpa kesadaran bathiniyah yang mendalam, sehingga setiap muslim dapat merasakan nikmatnya beragama, yang didalamnya terkandung kecintaan kepada Tuhan sekaligus kecintaan kepada sesama manusia dan sesama makhluk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar