Kamis, 20 Januari 2011

Tawaddu'


Tawaddu' Dalam Profesi Sebagai Perawat
Oleh: M. Zamroni
Islam adalah dinul-‘amal. Dalam arti bahwa Islam mengedepankan kebaikan amal sebagai bukti dari keimanan dan pemahaman. Selanjutnya, penerapan amal justru akan mempercepat dan memperkokoh bangunan keimanan dan pemahaman terhadap Islam. Tentu saja semua ini dilakukan dengan menjaga agar setiap amal yang dilakukan senantiasa dilandasi oleh al-ikhlas dan al-fahmu. Terutama mempunyai sifat at-tawaddu'.
Tawadhu’ secara bahasa bermakna rendah terhadap sesuatu. Sedangkan secara istilah adalah menampakkan perendahan hati kepada sesuatu yang diagungkan. Ada juga yang mengatakan tawadhu’ adalah mengagungkan orang karena keutamaannya. Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dan tidak menentang hukum.
Dalam jiwa setiap manusia, tidak peduli apakah dia dari Asia, Amerika, Afrika, Australia atau Eropa, sangat perlu memiliki sifat tawaddu', yaitu sifat merendahkan diri yang menjunjung tinggi integritas kesamaan derajat dan diwujudkan dalam kehidupan sosial. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT dan Hadist Nabi Muhammad saw. Yang berbunyi:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya: Dan Tundukkanlah sayapmu - yakni rendahkanlah dirimu -kepada kaum mu'minin." (al-Hijr [15]: 88)
قَالَ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : (( إنَّ الله أوْحَى إِلَيَّ أنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أحَدٌ عَلَى أحَدٍ ، وَلاَ يَبْغِي أحَدٌ عَلَى أحَدٍ )) رواه مسلم
Artinya: "Sesungguhnya Allah telah memberikan wahyu kepadaku, hendaklah engkau semua itu bersikap tawadhu', sehingga tidak ada seseorang yang membanggakan dirinya di atas orang lain[1] dan tidak pula seseorang itu menganiaya kepada orang lain - kerana orang yang dianiaya dianggapnya lebih hina dari dirinya sendiri." (Riwayat Muslim).[2 
Bagi seorang perawat dalam menjalankan tugasnya tentu harus mempunyai sifat tawaddu' (merendahkan diri), demi memberikan pelayanan yang baik bagi pasiennya. Hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw ketika ada seorang hamba sahaya wanita dari golongan hamba sahaya -wanita yang ada di Madinah mengambil tangan Nabi s.a.w. lalu wanita itu berangkat dengan beliau s.a.w. ke mana saja yang dikehendaki oleh wanita itu." Ini menunjukkan bahawa beliau s.a.w. selalu merendahkan diri.[3] Mungkin ini adalah merupakan sebuah motivasi yang perlu dijadikan pedoman bagi seorang perawat dalam menjalankan tugasnya sebagai perawat. Seorang perawat harus memilih kata-kata yang paling sopan dan disampaikan dengan cara yang lembut, karena sikap seperti itulah yang dilakukan Rasulullah, ketika berbincang dengan para sahabatnya, sehingga terbangun suasana yang menyenangkan. Hindari kata yang kasar, menyakitkan, merendahkan, mempermalukan, serta hindari pula nada suara yang keras dan berlebihan. Tawadlu', berendah hati adalah awal terbentuknya cinta dan silaturakhim.  Sikap ini muncul atas kesadaran diri, betapa sebagai makhluk Allah, seorang Muslim terbatas dalam banyak hal, termasuk juga ilmu pengetahuan. Allah lah Al-Ilm, Al-Haq, sementara produk akal fikiran manusia hanyalah dzon, dugaan, rekaan, hipotesis belaka. Allah lah sumber kebenaran, sedang dari manusia datang kesalahan. 
Setiap orang wajib melaksanakan kewajibannya, baik kewajiban personal maupun kemasyarakatan. Menunaikan kewajiban adalah kebahagiaan. Seorang perawat yang menjalankan kewajibannya terhadap pasiennya, tentu perasaan yang dialami pasiennya adalah merasa bahagia. Apalagi kewajiban itu dibarengkan dengan sifat tawaddu';  maka hubungan yang baik antara perawat dan pasien akan lebih baik dan pasien ada keinginan untuk cepat sembuh. 
Dunia, kehidupan dan tatanan masyarakat tidak akan terwujud kecuali jika kewajiban-kewajiban dilaksanakan. Jika masyarakat melengahkan kewajiban dan tidak tunduk pada aturan beberapa hari saja, pasti masyarakat itu rusak dan dunia hancur. Begitu juga seorang perawat yang tidak mau melaksanakan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab. Menjalankan kewajiban tidak lepas dari resiko, bahkan tidak jarang memerlukan pengorbanan. Resiko dan pengorbanan sudah menjadi teman akrab kewajiban. Jika kita dalam menjalankan kewajiban sebagai perawat memahami kondisi ini, maka kita tidak akan kecil hati, bahkan senang menjalaninya. 
Kewajiban dan pengorbanan adalah dua hal yang hampir selalu menyertai perbuatan baik. Kita kadang-kadang sulit menentukan pilihan antara kewajiban dan pengorbanan karena dekatnya dua hal itu dengan kebaikan dan keburukan. Dalam hal ini kita wajib menggunakan akal dan berpikir lama dengan melandaskan pada prinsip agama. Jika telah yakin dengan kebaikan pengorbanan, maka wajib bagi kita untuk berkorban. Selama tujuan itu lebih besar, maka pengorbanan lebih wajib, sebagaimana yang dilakukan oleh bangsa-bangsa yang hidup. Mereka mengorbankan beberapa ribu putra bangsanya untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjaga kehormatan. 
Sejarah orang-orang besar dan para pemimpin hebat penuh dengan pengorbanan. Tidak seorang besar pun di Dunia ini yang tidak berkorban dan menghadapi tantangan berat, seperti menyampaikan pendiriannya yang menyalahi pendapat umum, memerangi musuh yang hendak menjajah bangsanya, membersihakan agama dari keyakinan yang keliru, dan menyelidiki persoalan-persoalan ilmu pengetahuan yang menjadi perdebatan umum. Pengorbanan adalah rahasia besar mereka. Apa yang dikejar dalam hidupnya untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi, menguatkan jiwa dan membiasakan bersabar dalam menghadapi rintangan untuk mencapai tujuan. Sedangkan orang-orang yang lemah, menyerah kepada kesenangan dan tetap dalam kenikmatan tidak dapat menjadi orang besar karena tidak mampu menahan penderitaan. Mereka selamanya menjadi orang kecil. 
Kita semua pasti punya penilaian terhadap perbuatan manusia. Sebagian perbuatan manusia kita hukumi baik dan sebagian yang lain kita nilai buruk. Kita juga sering mengatakan, adil adalah baik, sedangkan perbuatan zalim adalah buruk; melaksanakan tugas sebagai perawat dengan sifat tawaddu' adalah baik, sedangkan tidak melaksanakan tugas sebagai perawat dengan sifat tawaddu' adalah kurang baik. Hukum atau penilaian baik-buruk tersebut berlaku di masyarakat dan menjadi bagian ritme kehidupan mereka, bahkan anak-anak kecil yang sedang bermain pun tidak jarang menggunakan ukuran baik buruk. Kita juga melihat seorang perawat dalam menjalankan aktivitasnya memiliki tujuan tertentu. Mereka berbuat sesuatu pasti  dimaksudkan untuk mewujudkan yang sedang dituju, dan tujuan yang hendak mereka tempuh berbeda-beda dan beragam. Sebagian perawat bertujuan mencari kekayaan, sebagian lagi mencari kemuliaan, sebagian yang lain mencari ilmu, dan sebagian lagi tidak menginginkan itu dan berzuhud pada dunia. Kelompok yang terakhir ini kehidupannya diarahkan untuk mencari ridla Allah dan kenikmatan abadi di akhirat dengan jalan banyak melakukan amal shalih. Akan tetapi, kebanyakan tujuan-tujuan yang hendak mereka raih itu bukanlah tujuan terakhir. Jika kita bertanya kepada seorang perawat yang sedang bekerja, "Mengapa kamu bekerja?" Tentu ia akan menjawab, "Saya bekerja untuk mendapatkan harta." Kemudian kita Tanya lagi, "Untuk apa kamu mencari harta?" Ia pasti menjawab, "Untuk membangun istana, rumah dan membina keluarga." Seandainya perawat tersebut kita kejar lagi dengan pertanyaan-pertanyaan lebih jauh, tentu dari jawaban yang kita peroleh, ia sebenarnya tidak menginginkan istana, rumah dan keluarga; oleh karena itu, hal ini bukan menjadi tujuan akhir bagi seorang perawat. Namun, kita juga perlu bertanya, apakah seluruh perawat menginginkan tujuan akhir. Dengan kata lain, apakah mereka benar-benar mencari dan mengupayakan kebahagiaan. Pokok-pokok persoalan sebagaimana digambarkan di atas akhirnya menjadi pembahasan akan pentingnya menanamkan akhlaq dalam kinerja seorang perawat; terutama menanamkan sifat tawaddu' dalam menjalankan tugasnya sebagai perawat. 
Maka dalam titik pandang ini adalah tidak pantas sombong bagi seorang perawat ketika merawat pasien. Tak ada dalil bagi seorang perawat untuk berlagak di hadapan Allah.  Karena dia hanyalah makhluk, hanya kreasi hasil cipta Sang Khalik yang sarat dengan kelemahan, kealfaan dan keterikatan terhadap hawa nafsu.  Perawat hanyalah turunan Adam yang tercipta dari tanah dan air. Lalu pantaskah dia "mengangkat dada" di hadapan aturan, jalan hidup yang diturunkan Allah ? 
Tawadlu', akhlaq ini muncul dari kefahaman, bahwa sebagai seorang Muslim, belumlah tentu ia lebih baik dari saudaranya yang lain. Bisa jadi saudaranya yang lain malah lebih mulia di mata Allah ketimbang dirinya. Karena Allah lah Hakim Agung Yang Maha Tahu. 
Akhlaq ini muncul dari proses panjang penyerapan ilmu yang haq, pemahaman mendalam hakekat jalan hidup Rabbani dan semangat yang terus merekah untuk membumikan nilai-nilai "langit". Dia muncul dari kematangan jiwa, tempaan tarbiyah, keuletan takwiniyah (pembinaan), dan kemampuan penuh menundukkan ego dan hawa nafsu. 
Maka, dalam semangat dien ini, tawadlu' adalah pertanda kefahaman akan hahekat Agama Allah dan bukan kebodohan, ia pertanda keluasan ilmu dan bukan kesempitan hawa nafsu, dia lambang kedalaman aqidah dan bukan ketakutan kronis terhadap kekuasaan.  Maka tawadlu' adalah buah manis keimanan.  Yang demikian manis sehingga bersamanya setiap Muslim merendahkan diri terhadap aturan Allah, terikat dan mengikatkan diri pada jalan hidup yang dituntunkan Allah kepadanya, di dalamnya pengakuan betapa syamil dan kamilnya (sempurna dan terpadunya) Islam diikrarkan, dalam tuntunannya amaliah dan harokah dipersembahkan.  Karena seorang Muslim sejati memahami tawadlu' bukanlah sifat yang lemah, tetapi kemuliaan, sifat dari hamba-hamba Allah yang baik, sifat dari hamba-hamba Allah pilihan. 
Maka bila matahari keimanan bersinar dan tawadlu' mewujud dalam akhlaq islami, maka pancarannya adalah keterikatan hati sesama muslim, saling mema'afkan atas kesalahan, rasa kasih-sayang dan cinta. Bahkan sekalipun orang-orang jahil (bodoh) menyapa mereka, mereka akan membalas sapaan itu dengan lemah-lembut dan dengan ucapan-ucapan yang mengandung keselamatan. Apabila orang-orang jahil mendebatnya maka mereka akan mendebat dengan cara yang baik. Karena kejahilan hanya sirna dengan kebenaran, dan kebenaran makin bersinar dengan tawadlu'. 
Jika seorang muslim bisa mengukur diri, dan menyadari siapa dirinya, dia akan menilai bahwa dirinya adalah insan yang rendah dan hina. Karena manusia bila dilihat dari asal penciptaan berasal dari setetes mani yang keluar dari saluran air kencing, kemudian menjadi segumpal darah, segumpal daging dan akhirnya menjadi seorang insan. Berawal dari tidak bisa mendengar, tidak melihat dan lemah kemudian menjadi insan yang sempurna penciptaannya.
Alloh berfirman:
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
Artinya: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi inidengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. al-Isro’ [17]: 37) 
Syaikh Muhammad Amin as-Syinqithi  berkata: “Wahai orang yang sombong, engkau adalah orang yang lemah, hina dan terbatas di dunia ini. Bumi yang engkau berpijak di atasnya, engkau tidak bisa berbuat apapun walaupun engkau injak dengan sekuat tenaga. Jangan angkuh, jangan berjalan di muka bumi ini dengan sombong.” 
Inilah agama Allah yang mengagumkan, yang memancarkan kerendahan hati penganutnya, yang memancarkan kasih-sayang dan izzah (kebanggaan).  Agama yang lurus, agama yang diridhai Allah, agama yang mengantarkan keselamatan dunia dan akhirat. Jadi kesimpulannya seorang perawat sangat perlu memiliki sifat tawaddu' dalam menjalankan tugasnya.



[1]  Yakni bahawa dirinya lebih mulia dari orang lain
[2]Nawawi,  Riyadu as-sholihin, Tahkik Dr. Fahli, juz 1, hal; 357
[3] إن كَانَتِ الأَمَةُ مِنْ إمَاءِ المَدينَةِ لَتَأْخُذُ بِيَدِ النَّبيِّ - صلى الله عليه وسلم - ، فَتَنْطَلِقُ بِهِ حَيْثُ شَاءتْ            
Abu Kosim al-Amidi, al-Jam'u baena Sohihaen al-Bukhori, juz:2, hal:476

Tidak ada komentar:

Posting Komentar