Selasa, 01 Februari 2011

Khulu'


KHULU' DALAM KONSEP SYARI'AT ISLAM
OLEH: M. ZAMRONI


Menurut bahasa, khulu' berarti tebusan. Sedangkan menurut istilah, khulu' berarti thalaq yang diucapkan istri dengan mengembalikan mahar (mas kawin) yang pernah dibayarkan suaminya. Jadi, khulu' adalah penyerahan harta yang dilakukan seorang istri untuk menebus dirinya dari (ikatan) suaminya[1].
Madzhab empat memperbolehkan khulu' dengan menggunakan redaksi yang jelas, misalnya khulu' dan fasakh, maupun dengan redaksi kiasan (kinayah). Contoh: "saya lepas dan jauhkan engaku dari sisiku". Hanafi berpendapat: khulu' boleh dilakukan dengan menggunakan jual beli, misalnya si suami mengatakan kepada istrinya: "saya jual dirimu kepadamu dengan harga sekian". Lalu istrinya menjawab: "saya beli itu" atau si suami mengatakan: "belilah thalak (untukmu) dengan harga sekian". Kemudian si istrinya mengatakan: "baik, saya terima tawaranmu". Syafi'i juga mempunyai pendapat tentang kebolehan khulu' dengan menggunakan redaksi bai' (jual beli).
Sementara itu, Hanafi memperbolehkan khulu' dalam bentuk menggantungkannya kepada sesuatu, khiyar (pilihan) dan keterpisahan antara penebusan dan khulu'nya. Jadi, kalau si suami tidak berada di tempat, lalu ada berita yang sampai kepadanya bahwa istrinya mengatakan: "saya menyatakan khulu' bagi diriku dengan tebusan sekian". Dan suaminya menerima pengajuan khulu' tersebut. Maka khulu' tadi dinyatakan sah. Demikian juga dengan pendapat Maliki.
Bagi Hambali, khulu' dinyatakan sah sekalipun tanpa niat selama hal itu diucapkan dengan menggunakan redaksi yang jelas, misalnya dengan al-khulu faskh dan mufada'ah, tetapi berada dalam satu majlis.
Imamiyah mengatakan: khulu' tidak dipandang jatuh dengan menggunakan redaksi kiasan dan tidak sah pula dengan menggunakan lafazh apapun kecuali dua ini, yaitu khulu' dan thalaq. Atau menggunakan dua lafazh bersama-sama. Misalnya istri mengatakan: "aku bersedia membayarmu sekian agar kau menceraikan aku". Lalu si suami mengatakan: "aku khulu' engkau dengan tebusan tersebut dan sekarang kau aku cerai".
Jika ada seorang wanita membenci suaminya karena keburukan akhlaknya, kesombongannya, serta karena tidak taat pada Agamanya dan lain-lain, dan ia sendiri khawatir tidak dapat menunaikan hak-hak Allah. Maka diperbolehkan mengkhulu' dengan cara memberikan ganti berupa tebusan untuk menebus dirinya dari suaminya[2]. Hal ini didasarkan atas firman Allah,
÷bÎ*sù ÷LäêøÿÅz žwr& $uKÉ)ムyŠrßãn «!$# Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã $uKÏù ôNytGøù$# ¾ÏmÎ/ 3 y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydrßtG÷ès? 4 `tBur £yètGtƒ yŠrßãn «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËËÒÈ  
Artinya: Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Tetapi jika tidak alasan apapun bagi si istri untuk meminta cerai, lalu ia meminta tebusan dari suaminya. Kasus demikian sejalan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Tsauban, bahwa Rasulullah bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
Artinya: Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka diharamkan baginya harum surga
Selain itu, mendzhab empat mengatakan, khulu' tersebut sah, dan berlakulah konsekuensi hukum yang dilahirkannya. Namun khulu' seperti itu hukumnya makruh[3].
Imamiyah mengatakan, khulu' seperti itu tidak sah, dan si suami yang mencerai istrinya (dengan cara khulu' seperti itu) tidak berhak memiliki harta yang diserahkan istrinya itu, tetapi cerainya dianggap sah. Dan cerai tersebut merupakan thalaq raj'i manakala syaratnya terpenuhi.
Kemudian banyak kelompok dari kalangan para ulama' salaf yang menyatakan bahwa tidak dibolehkan khulu' kecuali akan terjadi perselisihan dan nusyuz dari pihak istri. Maka pada saat itu, bagi suami diperbolehkan menerima fidyah.
Imam Syafi'i berpendapat bahwa khulu' itu diperbolehkan pada waktu terjadi perselisihan dan pada saat rukun dengan cara lebih baik dan tepat. Namun jika masih dilakukan khulu' tanpa sebab, maka khulu'nya  tetap sah. Demikian menurut mayoritas ulama' (Abu Hanifah, Tsauri, Malik, Auza'i, dan Syafi'i). Sedangkan Imam Ahmad mengharamkannya, karena khulu' tanpa adanya kepentingan, hanya akan memberikan mudharat kepada dirinya sendiri dan suaminya.
Khulu' itu boleh dilakukan pada saat istri sedang haid atau suci yang di dalam sudah terjadi percampuran, karena pada dasarnya larangan cerai pada saat istri haid, itu dimaksudkan agar tidak memberikan mudharat kepadanya ketika menjalani masa iddah. Sedangkan khulu' itu sendiri dimaksudkan untuk menghilangkan kemudharatan yang muncul karena buruknya pergaulan hubungan yang tidak baik dengan orang yang dibencinya. Oleh karena itu, dibolehkan bagi seseorang menghindari mudharat yang lebih besar dengan mengambil mudharat yang lebih kecil. Oleh sebab itu pula, Rasulullah tidak pernah menanyakan keadaan wanita yang melakukan khulu'. Karena pertanyaan yang diajukan justru akan memperlama masa iddah dan menambah rasa sakit.
Jadi khulu' itu tidak memiliki waktu tertentu. Lebih dari itu, khulu' boleh dilakukan kapan saja. Dan yang dilarang pada saat haid adalah thalaq[4].
Ada beberapa syarat bagi pasangan suami-istri untuk melakukan khulu', diantaranya: Pertama : Seorang istri boleh meminta kepada suaminya untuk melakukan khulu', jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan ia merasa takut akan menegakkan hukum Allah. Kedua : Khulu' itu hendaknya dilakukan sampai selesai tanpa dibarengi dengan tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh suami. Jika pihak suami melakukan penganiayaan, maka ia tidak boleh mengambil sesuatu apapun dari istrinya. Ketiga : Khulu' itu berasal dari pihak istri, bukan dari pihak suami.
 Madzhab empat mengatakan, khulu' boleh dilakukan oleh selain istri. Apabila seorang laki-laki lain mengatakan pada suami (si wanita): "ceraikan istrimu dengan uang pengganti sebesar 1000 dirham yang saya bayarkan". Lalu si suami mencerai istrinya atas dasar itu, maka khulu' tersebut sah, sekalipun istrinya tidak mengetahuinya dan tidak pula rela menerima khulu' tersebut sesudah ia mengetahuinya, dan laki-laki lain itu wajib membayar harta penebus itu[5].
Imamiyah mengatakan, khulu tersebut tidak sah, dan laki-laki lain yang bersedia membayar penebus tersebut tak wajib membayar. Tetapi laki-laki itu boleh menjamin tebusan dengan izin si wanita (istri), misalnya dia mengatakan: "ceraikan istrimu dengan tebusan sekian, dan saya akan membayarnya sesudah mendapat izin dari istrimu". Kalau kemudian si suami meolak istrinya dengan syarat tersebut, maka laki-laki itu harus membayar tebusan kepada si suami yang menolak istrinya itu, dan si lelaki penebus tadi berhak meminta kembali uang tebusan itu kepada perempuan itu.
Selanjutnya para Imam Madzhab sepakat bahwa segala seuatu yang bisa dijadikan mahar, boleh pula dijadikan tebusan dalam khulu', tanpa disyaratkan benda-benda yang dijadikan tebusan itu harus diketahui secara rinci manakala benda-benda tersebut cenderung bisa diketahui dengan mudah. Misal si istri mengatakan kepada suaminya: "khulu'lah aku dengan tebusan barang-barang yang ada dalam rumah ini".
Tetapi bila khulu' itu dilakukan dengan menggunakan barang-barang yang tidak boleh dimiliki, misal khamr dan babi. Maka dalam hal ini Hanafi, Maliki dan Hambali mengatakan, apabila suami istri mengetahui keharaman barang-barang tersebut maka tetap sah, dan laki-laki yang mencerai istrinya dengan pengganti berupa barang-barang tadi tidak dapat apa-apa. Berarti khulu' tersebut jatuh tanpa barang tebusan.
Sedangkan Syafi'i mengatakan, khulu' tersebut sah, dan si istri harus membayar harta sejumlah yang dulu diterimanya[6].
Mayoritas Ulama Madzhab Imamiyah mengatakan, khulu' tersebut batal dan jatuhlah thalaq raj'i jika memungkinkan dan thalaq bain jika tidak, dan suami tidak berhak atas apapun. Tetapi bila si suami mengkhulu' istrinya dengan tebusan yang diyakini halal ternyata haram, misal dengan satu bejana cuka ternyata adalah khamr. Maka berkaitan dengan kasus tersebut Imamiyah dan Hambali mengatakan, wanita itu harus menggantinya dengan satu bejana cuka. Sementara Hanafi mengatakan, si istri harus membayar seharga mahar mutsammannya. Imam Syafi'i mengatakan, si istri harus membayar seharga mitsilnya.
  Kemudian, apabila suami mengkhulu' istrinya dengan barang tebusan yang diduga milik istrinya ternyata milik orang lain, maka Hanafi dan ,mayoritas Ulama' Madzhab Imamiyah mengatakan, apabila barang-barang tersebut boleh dimiliki maka sah khulu'nya, tetapi jika tidak, maka wanita itu harus mengganti barang atas mahar mitsil. Sementara itu, Maliki mengatakan, jatuhlah thalq bain dan penebusannya batal.
Kalau si istri mengajukan khulu' kepada suaminya dengan tebusan berupa menyusui dan memberi nafkah lepada anaknya, maka menurut kesepakatan semua ulama madzhab, khulu' tersebut sah, dan hal itu wajib dilakukan. Hanafi, Maliki dan Hambali menegaskan, bahwasanya wanita yang sedang hamil boleh mengajukan khulu' pada suaminya. Dan di dalam literatur Imamiyah dan Syafi'i juga kaidah syari'ah tidak melarang adanya pendapat seperti itu.


[1] M. Jawad, Fiqh Lima Madzhab, hlm. 456
[2]  Syaikh Hasan Ayyub, Dusturilahi, hlm. 305
[3]  Ust. Al-Kahfi, Firaqu az-Zawaj, hlm. 159
[4]  Syaikh Hasan Ayyub, Dusturilahi, hlm. 312-313
[5]  Ust. Al-Kahfi, Firaqu az-Zawaj, hlm. 213
[6]  Al-Mughni, jilid VII

Tidak ada komentar:

Posting Komentar