Sangsi Bagi Pezina
Oleh: M. Zamroni
1. Bagaimana bentuk sanksi zina pada permulaan Islam?
Pada awalnya sanksi zina itu ringan dan bersifat temporal. Hal ini memandang kehidupan orang jahiliyah sebelumnya, di mana zina merupakan hal yang biasa dilakukan. Tentu untuk membuat mereka mematuhi hukum Islam harus melalui cara yang halus. Dan sudah merupakan prinsip dalam pensyariátan, yakni al-Tadriij. Sebab dengan seperti itu mereka sedikit demi sedikit akan mematuhi hukum Islam. Hal seperti ini juga tampak saat pengharaman khamar.
Sedangkan bentuk sanksinya itu dengan ditahan dalam rumah, dan tidak boleh keluar, ini untuk perempuan. Bagi laki-laki pezina, dicela atau dihina. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا (15) وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآَذُوهُمَا فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا (16)
“Dan terhadap wanita yang melakukan perbuatan keji, hendaklah ada empat saksi di antara kamu (yang menyaksikan). Kemudian apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang” (Nisa’: 15-16)
Lalu ayat tersebut oleh Allah dinasakh dengan ayat berikut:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَة
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus kali dera” (QS. al-Nur: 02)
Sehingga sanksi zina yang pada awalnya hanya seperti sebatas takzir diganti dengan hukuman dera/cambuk sebanyak 100 kali. Namun ini ketentuan bagi pelaku zina ghairu muhshan, dalam artian tidak dalam ikatan suci pernikahan. Sementara jika pelaku zina masih dalam ikatan suci pernikahan maka sanksinya sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi di bawah ini:
خُذُوا عَنِّى خُذُوا عَنِّى قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْىُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
(HR. Muslim, Abu Dawud dan al-Tirmidzi)
Pada hadits tersebut dijelaskan bahwa bagi zina gairu mukhshan sanksinya seratus kali cambuk. Oleh karena itu walau dalam suarat al-nur ayat 2 di atas tidak disebutkan apakah itu untuk mukhshan atau ghairu mukhshan, hadits ini menjadi takhshish bagi ayat tersebut. Sementara sanksi zina mukhshan yang dijelaksan dalam hadits tersebut yakni cambuk seratus kali sekaligus rajam. Namun nanti akan dibahas lagi apakah yang sanksinya hanya rajam saja atau juga dengan dicambuk 100 kali.
2. Apakah bagi zina mukhshan hanya rajam saja, atau juga dengan cambukan?
Dalam hadits yang dipaparkan di atas disebutkan bahwa bagi zina muhkhshan sanksinya dicambuk dan dirajam. Namun ulama’ masih berbeda pendapat tentang sanksi bagi zina mukhshan tersebut. Menyikapi hal ini ulama’ terkelompokkan dalam dua kubu, yaitu: Ahlu al-Zhahir dan Jumhur al-Ulama’.
Menurut Ahlu al-Zhahir sanksi bagi zina mukhshan disamping dicambuk juga dirajam sampai meninggal. Ada 3 hal yang dijadikan dalil oleh mereka, yaitu: 1). Keumuman ayat tentang sanksi zina, dalam artian mencakup pada zina mukhshan dan ghairu mukhshan. Lalu bagi zina mukhshan masih ditambah dengan hukuman rajam, berdasarkan hadits. Sehingga hukumannya ditambah. 2). Mengikuti hadits yang telah disebutkan di atas, yang menjelaskan hukuman bagi zina mukhshan adalah dicambuk 100 kali plus dirajam. 3). Mereka mengkuti apa yang dilakukan Sayyidina Ali saat memberikan hukuman cambuk dan rajam pada salah satu sahabat, beliau seraya berkata, “Aku mencambukkanya karena berdasarkan al-Qurán dan merajamnya berdasarkan hadits”.
Sementara jumhur berpendapat bahwa sanksi bagi zina mukhshan ialah dirajam saja, tanpa dicambuk. Hal ini berdasarkan apa yang diakukan nabi saat memberi hukuman pada pezina mukhshan, yakni dengan dirajam, tidak yang lain. Di samping itu mereka juga juga mengajukan argumen aqli, yaitu: hukuman cambuk tidak akan ada manfaatnya, sebab dia akan dirajam sampai meninggal. Berkaitan dengan argumen ahlu al-Zhahir yang berkaitan dengan perbuatan sayyidina ali, mereka berpendapat bahwa bisa saja sayyidina ali itu pada awalnya tahu bahwa sahabah yang berzina tersebut ghairu mukhshan, lalu ketika telah dicambuk, ada informasi lagi bahwa dia mukhshan, sehingga Ali langsung menyuruh untuk dirajam.
Jika dikaji lebih mendalam lagi maka, argumen yang dikelurkan oleh jumhur ini yang lebih unggul. Sebab berdasarkan apa yang dilakukan oleh nabi. Dalam ilmu tarjih disebutkan, “apabila ada pertentangan antara perbuatan dan perkataan nabi, maka yang diikuti adalah perbuatan beliau”. Ditambah lagi dengan argumen akal yang sangat logis.
3. Bagaimana kriteria jald?
Untuk menjawab permasalahan ini, al-Qurtuhby berpendapat bahwa cambukannya tidak sampai melukai, cukup hanya dengan menyakitkan. Bahkan al-Qurthuby menjelaskan secara langsung tata cara agar cambukannya itu tidak sampai melukai tapi cukup membuat sakit saja, yakni ketika mencambuk tangan tidak sampai lebih tinggi dari ketiak. Dia berlandaskan perkataan Sayyidina Umar pada algojo saat mendatangi tempat diadakannya had.
Sesungguhnya dalam permasalahan ini, perlu melihat terhadap tujuan dari adanya had itu sendiri. Tujuan had adalah agar si pelaku zina jera, sehingga pelaksanaan hukuman cambuk harus tidak terlalu ringan dan tidak terlalu berat. Sebab jika terlalu ringan tidak akan menyebabkan jera pada si pelaku, dan apabila terlalu berat bisa menimbulkan efek lain, yaitu dharar pada si pelaku. Padahal dalam Islam tidak boleh membuat celaka pada siapapun.
Lantas apakah standart cambukan sama dalam semua had?. Ulama’ berbeda pendapat dalam masalah ini. Menurut Ahnaf dan al-Tsaury berbeda, sedangkan menurut Malikiyah dan Syafíyah standart cambukannya itu sama. Dari dua pendapat ini, pendapat yang mengatakan sama lebih unggul. Sebab perbedaan dalam had itu sudah terletak dari jumlah cambukannya, sehingga dalam standart cambukannya tidak perlu dibedakan. Yang terpenting dari semua itu akan bisa menimbulkan efek jera pada pelaku.
4. Anggota tubuh bagian mana yang harus dihad?
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa bagi pelaku zina ghairu mukhshan disanksi dengan dihad sebanyak 100 kali. Namun belum dijelaskan bagian tubuh sebelah mana yang harus dihad. Berkaitan dengan masalah ini para ulama’ telah sepakat bahwa had itu tidak boleh dilakukan pada wajah, aurat dan bagian tubuh yang bisa mematikan. Selain yang tiga tersebut para ulama’ berbeda pendapat. Contohnya dalam masalah bolehkah yang menghad kepala?. Menurut jumhur tidak boleh, sementara menurut Abu Yusuf boleh menghad kepala, sebagaimana apa yang dilakukan Sayyidina Umar. Sesungguhnya pendapat jumhur yang lebih unggul.
Sedangkan menurut Imam Malik, yang dihad itu adalah punggungnya. Ini berlaku bagi semua had. Berlandaskan apa yang dilakukan oleh al-Salafu al-Shaleh, dan sabda nabi pada Hilal bin Ummiyah saat menuduh zina (qadzaf) pada istrinya “Buktikan atau punggungmu akan dihad”.
5. Apa hukum liwath, lesbian, dan menyetubui binatang?
Dalam pembahasan ini akan dibagi dua, yang pertama tentang liwath, sedangkang yang kedua membahas lesbian dan menyetubuhi binatang.
a. Liwath
Liwath adalah persetubuhan antara laki-laki. Sekarang biasa dikenal dengan bahasa homoseksual. Hal inin berdasarkan firman Allah:
أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ (165) وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ (166)
“Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki diantara manusia. Dan kamu meninggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas”.(QS. Al-Syuára’: 165-166)
Liwath ini merupakan paling jeleknya dosa, sebab telah berpaling dari fitrahnya, yaitu kalau laki-laki maka pasangan seharusnya adalah perempuan, itu lah yang fitrah. Penyebutan kata liwath karena dinisbatkan dengan kaum nabi Luth yang secara terang-terangan melakukan perbuatan tersebut.
Berkenaan dengan sanksi bagi pelaku liwath, ulama’ tidak menemukan kata sepakat. Para ulama’ tersebut terbagi menjadi tiga kelompok:
Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa sanksi liwath ialah dibunuh, ini merupakan pendapat dari madzhab Malik, Hanbali, dan pendapat Imam Syafíy. Salah satu yang menjadi landasan mereka ialah hadits berikut ini:
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
”Jika kalian menjumpai orang yang melakukan seperti apa yang dilakukan oleh kaumnya nabi Luth maka bunuhlah si pelaku dan obyeknya”. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
Namun para ulama’ ini berpeda pendapat tentang cara dibunuhnya. Dalam hal ini ada empat pendapat. Pertama, dengan cara dipotong lehernya, sebagaimana orang murtad. Ini diriwayatkan dari Abu Bakar dan Ali. Kedua, dengan cara dilempari batu. Ini menurut yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan ini merupakan pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal. Ketiga, dilempar dari tempat yang tinggi. Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur di kalangan madzhab Maliki. Keempat, dijatuhi reruntuhan tembok. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Bakar al-Shiddiq.
Kedua, berpendapat bahwa sanksi liwath ialah sebagaimana zina. Jika mukhshan dengan dirajam sampai mati, sedang jika ghairu mukhshan dengan cara dicambuk sebanyak 100 kali. Ini merupakan pendapat Syafiíyah. Mereka berdalil dengan menggunakan nash, logika, dan qiyas. Dari sisi nash mereka mengungkap sebuah hadits:
إِذَا أَتَى الرَّجُلُ الرَّجُلَ فَهُمَا زَانِيَانِ
“Jika seorang laki-laki melakukan hubungan seks dengan laki-laki lain maka keduanya termasuk orang yang telah melakukan zina”.(HR. Bayhaqi)
Ketiga, pendapat yang dilontarkan Imam-imam Hanafiyah. Mereka berpendapat bahwa liwath merupkan dosa besar, namun tidak sama dengan zina, sehingga sanksinya tidak sama dengan sanksi zina, tapi dengan cara ditakzir. Dalam segi bahasa pun beda, jika zina merupakan nama apabila ada hubungan lawan jenis di luar ikatan suci, sementara liwath merupakan hubungan antar laki-laki. Di dalam al-Qurán pun ketika menyebutkan tentang liwath tidak dikaitkan dengan zina, hanya dikaitkan dengan jahl dan udwan. Oleh karena itu hukumannya pun berbeda.
b. Al-Sihaq dan Ityanu al-Bahaím
Sihaq dalam bahasa indonesia dikenal dengan istilah Lesbi, yaitu hubungan seks dengan sesama perempuan. Ulama sepakat bahwa sanksi bagi perempuan yang melakukan seks yaitu ditakzir. Sementara sanksi bagi orang yang menyetubuhi binatang, jumhur berpendapat ditakzir. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bahwa sanksinya sama dengan liwath. Oleh karena itu orang dan binatangnya sama-sama dibunuh.
6. Bagaimana cara pembuktian perilaku zina?
Zina merupakan perbuatan dosa yang sanksinya sangat berat sekali. Oleh karena itu syara’ memberikan syarat yang sangat ketat sekali untuk pembuktian zina ini. Ada dua cara dalam pembuktian zina, yakni adanya saksi (syahadah) dan pengakuan dari si pelaku sendiri (iqrar). Pada cara yang kedua ini si pelaku bisa dihad zina apabila dengan terang-terangan mengakui perbuatannya. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa pengakuan itu tidak bisa diterima begitu saja melainkan terhadap tanda-tanda, seperti adanya kehamilan. Ada juga yang berpendapat bahwa hakim perlu untuk memerintahkan orang yang mengaku tersebut mencabut pengakuannya, seperti apa yang dilakukan rasulullah pada sahabat Maíz. Hal ini menunjukkan bahwa zina merupakan suatu yang kotor dan dalam Islam memang ingin agar aib itu tidak sampai terungkap. Di samping memang had zina merupakan hal yang besar sehingga butuh kehati-hatian dalam memutuskan.
Sedangkan syahadah bisa menetapkan terhadap adanya perzinahan jika memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a. Saksinya tidak boleh kurang dari empat orang.
b. Saksi harus terdiri dari orang laki-laki, sedangkan kesaksian orang perempuan tidak bisa diterima.
c. Saksi harus orang yang adil.
d. Saksi harus beragama Islam.
e. Para saksi menyaksikan dengan mata kepala sendiri terhadap perilaku zina tersebut, dalam artian melihat ketika bertemunya dua kemaluan. Yang terakhir,
f. Para saksi melihatnya secara bersamaan, maksudnya mereka pada satu tempat. Sehingga kalu umpamanya mereka datang bergantian dan melihatnya pun begitu, persaksian mereka tidak bisa diterima. Syarat yang terakhir ini merupakan apa yang diungkap oleh jumhur.
7. Bolehkah menikahi wanita pezina?
Berdasarkan pendapat yang diriwayatkan dari Ali, Barra’, Siti Aísyah, dan Ibnu Masúd, menikahi wanita pezina tidak boleh (haram). Sedangkan menurut riwayat dari Abu Bakar dan Ibnu Abbas, boleh menikahi wanita pezina. Pendapat yang terakhir ini lah yang diamini oleh empat imam Madzhab.
Ulama’ yang mengharamkan, diantaranya berpedoman pada ayat:
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
“Lak-laki yang berzina tidak menikah kecuali kepada perempuan yang berzina atau pada perempuan musyrik”. (QS. Al-Nur: 03)
Dikuatkan lagi dengan lanjutan ayat tersebut:
وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin”(QS. Al-Nur: 03)
Sementara jumhur ulama’ berdalil dengan beberapa hadits, diantaranya: nabi pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengn perempuan, lalu laki-laki tersebut hendak menikahi perempuan itu, nabi menjawab “Yang pertama pezinahan dan yang terkahir pernikahan, sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal”. Berkenaan dengan ayat yang dijadikan dalil oleh ulama’ yang berpendapat haram, mereka menta’wil ayat tersebut dengan mengarahkan pada tidak baiknya pernikahan antara orang fasiq dengan orang shalih. Kalau orang fasiq maka pasangannya juga fasiq, hal ini mungkin karena dihawatirkan akan si fasiq akan menularkan kefasikannya pada yang shaleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar