Selasa, 01 Februari 2011

Ulumul Qur'an


Mengenal Asbab al-Nuzul
Oleh: M. Zamroni

Satu hal pasti, bahwa al-Qur'an diturunkan pada Rasulullah saw, yang berisikan pedoman untuk dijadikan petunjuk bagi umatnya, baik kepada masyarakat di masa turunnya atau sesudahnya. Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur'an harus menerobos batas-batas geografis dan demografis, juga harus menembus lapisan-lapisan kultural dan sosial dengan segala varian dan kekhasannya. Di kala yang sama, nilai-nilai al-Qur'an di hadapkan pada:
·         Keniscayaan mewujudkan tuntunannya melalui penafsiran yang berlandaskan pada realitas budaya lokal, dan
·         Keharusan mempertahankan kontineunitas dan keautentikannya sepanjang zaman.
Kiranya, Asbab al-Nuzul dapat dijadikan sebagai "pintu masuk" dalam persoalan sebagaimana dijelaskan diatas.
Al-Qur'an diturunkan pada rasulullah sebagai pedoman bagi umat manusia untuk mewujudkan tujuaan yang jelas. Ia turun sebagai petunjuk kepada jalan yang lurus. Al-Qur'an meletakkan dasar-dasar kehidupan yang utama, dimana penopang kehidupan itu adalah iman kepada Allah dan terutusnya Muhammad saw. Ia terkadang menarasikan peristiwa lampau, sekarang bahkan yang akan datang, untuk memberi pelajaran. Dalam tataran ini, al-qur'an turun tanpa didahului sabab al-nuzul.
Namun demikian, dalam kehidupan sahabat-sahabat nabi kadang kala terjadi suatu peristiwa yang menuntut adanya penjelesan syari'at. Begitu juga ketika mereka tidak mengerti tentang persoalan, mereka bertanya dan meminta penjelasan hukum pada nabi. Kemudian turunlah ayat untuk menjelaskan status kasus tersebut atau menjawab pertanyaan yang diajukan pada nabi. Kejadian serta pertanyaan inilah yang dikenal dengan asbab al-nuzul.     
Menurut penelitian, hanya ada dua bentuk dari Asbab al-Nuzul , yaitu[1]: Pertama : Adanya sebuah peristiwa. Kemudian ayat turun untuk menjelaskan status hukumnya. Hal ini sebagaimana hadist yang diriwayatkan ibnu Mas'ud. Yaitu ketika turun surat al-Lahab: Nabi keluar dan menuju gunung Shafa. Beliau memanggil orang-orang untuk berkumpul. Ketika mereka datang, nabi bersabda: "Apa pendapatmu seandainya aku kabarkan pada kalian bahwa ada seekor kuda yang muncul dari kaki gunung ini, apakah kalian percaya dan akan membenarkanku?". Mereka menjawab "Kami tidak pernah mengatakan bahwa kamu pembohong." Nabi bersabda: "Kalau begitu, akulah yang memperingati kalian dengan siksa pedih". Abu Lahab berkata: "Celaka engkau, hanya untuk inikah engkau mengumpulkan kami?". Turunlah ayat :
 تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
Artinya: "Binasalah kedua tangan Abi Lahab dan sungguh akan binasa"
Kedua : Pertanyaan pada Rasul tentang sesuatu. Kemudian ayat turun untuk menjawab pertanyaan itu. Simpulan dari deskripsi di atas, bahwa Asbab al-Nuzul adalah peristiwa atau pertanyaan yang melatar belakangi turunnya ayat, di mana ayat yang turun merupakan penjelasan terhadap peristiwa atau pertanyaan yang muncul saat itu. Kendatipun begitu, tidak setiap ayat al-Qur'an ada Asbab al-Nuzul-nya. Ini disebabkan turunnya al-Qur'an tidak harus bergantung pada pertanyaan atau sebuah kejadian. Pada umumnya, ayat yang tidak ada Asbab al-Nuzul-nya berkaitan dengan akidah-akidah, kewajiban-kewajiban Islam, hal-hal yang bersifat ghaib, seperti neraka, surga, siksa kubur dan lain-lain.
Pembahasan mengenai Asbab al-Nuzul adalah salah satu tema yang penting dalam bidang Ulumul Qur'an. Hal ini, dibuktikan dengan dikarangnya beberapa kitab yang fokus pembahasannya adalah Asbab al-Nuzul. Di antaranya adalah karangan Ali ibn Madani, Syekh Bukhari dan Al-Wahidi. Nama terakhir ini adalah seorang pengarang yang popular dalam bidang Asbab al-Nuzul .
Ibnu Daqiq al-'Id berkata: "Penjelasan mengenai sebab turunnya ayat adalah jalan yang kuat untuk memahami ayat al-Qur'an." Ibnu Taimiyah berkomentar dalam makna yang sama: "Mengetahui sebab turunnya ayat membantu untuk memahami ayat al-Qur'an, sebab mengetahui sebab turunnya akan membawa kepada pengetahuan tentang yang disebabkan." Bahkan al-Wahidi lebih tegas lagi. Beliau berpendapat: "Tidak mungkin mengetahui penafsiran ayat-ayat a-Qur'an tanpa mengetahui cerita atau sebab turunnya ayat tersebut."
Dengan demikian, tidak benar dugaan orang yang menyatakan, bahwa tidak ada manfaat dalam mengetahui Asbab al-Nuzul. Akan tetapi, terdapat beberapa manfaat dalam hal itu, sebagaimana berikut ini :
·         Sisi hikmah yang menjadi motif diundang-undangkannya sebuah hukum. Serta mengetahui bahwa syara' menjadikan kemaslahatan umum sebagai tolok ukur penyelesaian beberapa kasus.
·         Mentakhshish hukum dengan sebab, menurut orang yang berpendapat bahwa "Yang diperhatikan adalah kekhususn sebab bukan keumuman lafal".
·         Mengetahui makna sebuah ayat. Syekh Abul Fath berpendapat bahwa penjelasan Asbab al-Nuzul merupakan cara pokok dalam memahami al-Qur'an. Hal ini dipraktekkan para sahabat nabi ketika memutuskan sebuah hukum.
·         Dengan mempelajari asbab al-nuzul, dapat diketahui bahwa shurat al-sabab tidak dapat dikeluarkan dari cakupan suatu ayat, sekalipun oleh mukhasisnya. Hal ini terjadi, manakala ada lafal yang umum, serta ada ayat yang mentakhshish. Maka shuratu as-sabab (menurut qoul al-ashoh) tidak dapat dikeluarkan dari cakupan lafal tersebut, baik melalui ijtihad atau ijma'. Yang demikian sebagaimana dikatakan oleh al-Qadhi Abu Bakar dalam kitab Mukhtashar at-Taqrib.
      Seperti ayat al-Nur, ayat 23.
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar."
Menurut Ibnu Abbas, ayat ini turun pada Aisyah ra. secara khusus, atau pada Aisyah dan isteri-isteri nabi yang lain. Kandungan ayat ini adalah Allah tidak akan mengampuni dan akan melaknat orang yang menuduh isteri-isteri nabi.
Kemudian Ibnu Abbas membacakan ayat:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4) إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5)
Artinya: "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamnya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik."
Berdasarkan ayat ini Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang menuduh dan tidak mendatangkan empat saksi, tetap diberi ampunan, bila mereka bertaubat. Sekalipun ayat ini mentakhsis terhadap keumuman ayat 23, tidak berarti bahwa orang yang menuduh Aisyah atau isteri nabi yang lain akan mendapat ampunan. Hal ini disebabkan, shurat al-sabab tidak dapat dikeluarkan dari cakupan suatu ayat.
Pembahasan mengenai shurat al-sabab adalah Qot'i atau Dzanni al-Dukhul juga merembet pada ayat yang khas (khusus), yang diikuti oleh ayat 'am (umum). Contoh hal tersebut adalah firman Allah swt sebagai berikut ini.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada mereka yang berhak menerimanya" (QS. al-Nisa' : 58)
Secara kaidah bahasa ayat ini mengharuskan kaum muslim untuk menunaikan setiap amanat (apapun bentuknya) pada yang berhak. Dalam kaitannya dengan keumumam lafal ini, terdapat ayat lain yang turun sebelumnya, yaitu sebagai berikut ini:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آَمَنُوا سَبِيلًا (51)
Artinya: "Apakah  kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari al-Kitab? Mereka percaya pada Jibti dan Thagut, dan mengatakan pada orang-orang kafir (musyrik Mekkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya" (QS. al-Nisa' : 51)
Ayat ini (51) merupakan isyarat pada Ka'ab ibn Asyraf dan Ahu al-Kitab. Mereka datang ke Mekkah dan ikut perang badar. Ka'ab mendorong orang-orang kafir untuk menuntut balas dan memerangi nabi saw. Kemudian orang-orang kafir bertanya pada Ka'ab: "Jalan siapakah yang lebih lurus, nabi atau kami?" Ka'ab menjawab: "Jalan kalian". Jawaban Ka'ab ini merupakan pengkhiatan, sebab dalam kitab meraka dijelaskan mengenai kerasulan dan sifat-sifat nabi. Dan mereka dituntut supaya tidak menyembunyikan hal itu, dan dituntut untuk menolong nabi. 
Dengan demikian, ada dua pertanyaan penting mengenai keserasian dua ayat tersebut. (1). Apakah dhilalah ayat 58 pada ayat 51 sama dengan sebab, sehingga ayat 51 Qat'i al-Dukhul? (2). Atau belum tentu ayat 51 adalah yang dimaksud (madlul) dari ayat 58 dengan alasan dapat diarahkan kepada makna lain, sehingga ayat 51 dzanni al-Dukhul?
Ada sebagian ulama' yang berpendapat bahwa ayat 51 bukan sebab, tetapi juga tidak dalam cakupan makna ayat 58. Berdasarkan pendapat ini, ayat 51 tidak Qathi al-Dukhul dan tidak dzanni al-Dukhul pada ayat 58.
·         Menepis adanya dugaan hashr seperti firman Allah swt:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ
Artinya: "Katakanlah: "tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi --karena sesungguhnya semua itu kotor-- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah". (QS. al-An'am : 145)
Ayat diatas--tanpa mengetahui Asbab al-Nuzul nya--menunjukkan bahwa yang diharamkan hanya bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Padahal ayat ini turun untuk menyanggah perkataan orang kafir yang mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan dan  menghalalkan sesuatu yang Allah haramkan. Dengan demikian seakan-akan Allah berfirman: "Tidaklah haram kecuali sesuatu yang kalian halalkan, yaitu bangkai, darah dan seterusnya". Sehingga ayat ini tidak berarti bahwa selain bangkai dan seterusnya adalah halal, sebab maksud dari ayat adalah menetapkan keharaman bukan kehalalan.
·         Menghilangkan kemuyskilan, berikut dikemukakan beberapa contoh.
§  Ali-Imran, ayat 188.
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: "Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang mereka telah kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih" (QS. Ali Imran : 188)
Al-kisah, Marwan berkata pada penjaga pintunya: "Hai Rafi', datangilah Ibnu Abbas serta katakan padanya: Jika setiap orang senang dengan dengan apa yang telah mereka lakukan, dan senang dipuji dengan apa yang belum ia lakukan akan disiksa, niscaya kami semua akan disiksa." Ibn Abbas menjawab: "ayat ini turun mengenai prilaku ahlul-kitab", lalu ia membaca ayat berikut.
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ
Artinya: "Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi al-kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu pada manusia dan jangan kamu menyembunyikannya, lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarkannya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima" (QS. Ali Imran : 187)   
Mereka ditanya oleh nabi tentang sesuatu, mereka menjawab dengan dusta. Mereka keluar dan mengabarkan bahwa mereka telah memberi tahu nabi tentang sesuatu yang ditanya oleh beliau saw. Mereka ingin dipuji dan senang dengan apa yang telah mereka kerjakan , yaitu menyembunyikan sesuatu yang ditanya oleh nabi.
§  al-Maidah,ayat 93.
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ
Artinya: "Tidak ada dosa bagi orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh". (QS. al-Ma'idah : 93)
Diceritakan dari Utsman Ibn Madz'un dan Umar Ma'd Yakrab, bahwa mereka berdua berkata: "Khamr dibolehkan (tidak haram)". Mereka berhujjah dengan ayat ini, padahal mereka tidak tahu Asbab al-Nuzul nya.
Ayat ini turun untuk menjawab pertanyaan sahabat nabi sewaktu turunnya ayat larangan khamr: Bagaimana dengan saudara kita yang telah wafat?, sementara diperutnya terdapat khamr, dan Allah mengabarkan bahwa khamr adalah kotoran.
§  al-Thalaq, ayat 4.
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ
Artinya: "Dan perempuan yang sudah tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuan jika kamu ragu-ragu (tentang masa 'iddahnya). (QS. al-Thalaq : 4)
Diriwayatkan bahwa orang-orang bertanya pada rasullah saw.: "kami telah mengetahui iddah yang haidh, lalu bagaimana dengan iddahnya wanita yang tidak haidh, baik anak kecil atau dewasa?" turunlah ayat ini untuk menjawab pertanyaan tersebut.
§  al-Baqarah, ayat 115.
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: "Dan kepunyaan  Allah lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah (kiblat) Allah" (QS. al-Baqarah : 115)  
Andaikan kita tidak memperhatikan Asbab al-Nuzul nya, barang tentu orang yang shalat tidak harus menghadap ke arah kiblat, baik ketika perjalanan atau tidak. Tentu saja ini menyalahi Ijma'. Maksud ayat ini tidak dapat dipahami kecuali sabab al-nuzulnya diketahui.
Ayat di atas turun ketika nabi melaksanakan shalat di atas unta. Sementara beliau dari mekkah menuju Madinah. Maka jelaslah maksud ayat tersebut.
§  al-Taghabun, ayat 14.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: "Hai orang- orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh kamu, maka berhati-hati lah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. al-Taghabun : 14)  
Sabab al-nuzul ayat ini adalah sebuah kaum bermaksud keluar rumah untuk berjihad. Isteri-isteri dan anak-anak mereka menghalang-halangi.   

Apabila sabab al-nuzul umum dan ayat yang turun juga umum, maka ayat tersebut diberlakukan keumumannya. Seperti firman Allah swt.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid itu adalah kotoran." Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (QS. al-Baqarah : 222)
Ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang Yahudi. Mereka mengusir isteri-isterinya dari rumah ketika haid, tidak memberi makan dan minum. Kemudian rasul ditanya mengenai hal itu. Turunlah ayat tersebut. Rasulullah pun bersabda: "Berkumpullah dengan mereka, lakukan sesuka hatimu selain nikah (jima')".
Begitu pula apabila sabab al-nuzul khusus dan ayat yang turun juga khusus, maka ayat tersebut diberlakukan kekhusunnya. Seperti firman Allah swt.
وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى (17) الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى (18)
Artinya: "Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu (17). Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya (18).
Menurut al-Wahidi, lafal al-Atqa adalah Abu Bakar as-Shiddiq. Dengan demikian, ayat ini tidak dapat dijangkaukan/dijalarkan kepada selain Abu Bakar.
Sedangkan apabila sebabnya khusus, sementara redaksi ayat umum, maka dalam hal ini pakar ushul fiqh berbeda pendapat. Apakah yang diperhatikan keumuman lafal atau kekhususan sebab?
·         Menurut jumhur yang diperhatikan adalah keumuman lafal, bukan kekhususan sebab. Sehingga, hukum yang disarikan dari lafal umum itu mencakup pada selain shuratus sabab. Seperti surat berikut ini:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: "Orang-orang yang men-dhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menaarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan". (QS. al-Mujadalah : 3)
Walaupun sabab al-nuzul ayat ini berkaitan dengan Uais ibn Shamit, tetap kandungan ayat ini berlaku pula kepada selain Uais ibn Shamit.
·         Segolongan ulama' berpendapat bahwa yang diperhatikan adalah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal. Dengan demikian, lafal yang umum tersebut adalah dalil bagi sebab yang khusus. Sedangkan kasus yang lain, tapi serupa dengan shuratus-sabab membutuhkan dalil yang lain, semisal Qiyas.
Segolongan dari ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa terdapat sebagian ayat yang turun dua kali. Yang demikian mempunyai hikmah. Diantaranya adalah sebagai peringatan dan mau'idzah, ada tuntutan untuk menurunkan ayat yang kedua kalinya, sebagai bukti bahwa ayat itu mencakup sabab turunnya ayat yang pertama, dan menunjukkan mulyanya ayat tersebut.
Muhammad ibn 'Alawi al-Maliki al-Husni berpendapat: "Turunnya ayat sebanyak dua untuk menjelaskan adanya perbedaan qiraah (bacaan). Dengan demikian, ada ayat turun dengan suatu huruf, kemudian turun lagi dengan huruf yang berbeda[2]. Hal ini seperti ayat berikut.
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Ayat di atas mungkin juga turun dengan redaksi berikut. 
مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Sebagai contoh dari turun ayat dua kali adalah surah al-Fatihah yang turun di Mekkah dan Madinah.
Dalam hadits Shahihain, dari Utsman al-Nahdhi dari Ibn Mas'ud: ada seorang pria mencium wanita. Pria itu mendatangi nabi dan memberitahkan apa yang telah ia perbuat. Kemudian turunlah ayat.
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
Artinya: "dan dirikanlah sembahyang itu kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbutan yang buruk. Itu peringatan bagi orang-orang yang ingat". (QS. Hud : 144)
Dia bertanya pada nabi: apakah ayat ini hanya untukku? "tidak, tapi untuk semua ummatku" jawab nabi.
Peristiwa ini terjadi di Madinah. Menurut Turmudzi, pria itu adalah Abu al-Yasr. Sementara surat Hud dipastikan adalah surah makkiyah. Sebab inilah, hadits ini musykil menurut sebagian ulama'. Padahal di sini tidak ada kemusykilan, sebab ayat ini turun dua kali.
Contoh lain adalah firman Allah swt.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Artinya:  "dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit."
Ayat ini turun tatkala seorang Yahudi Madinah bertanya tentang ruh. Surah ini merupakan surah Makkiyah. suatu ketika kaum musyrik mekkah bertanya tentang dzi al-qarnain dan ahl al-kahfi atas perintah orang itu (Yahudi Madinah).
Begitu pula ayat berikut
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Artinya: katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa."
Ayat tersebut turun sebagai jawaban atas kaum musyrik mekkah dan ahl al-kitab di madinah.
Penting untuk diketahui bahwa terkadang ada ayat turun sebelum ditetapkannya sebuah hukum. Misalnya dalam ayat 14 surah al-A'laa yang berbunyi :
قد افلح من تزكى
Artinya: "Sesunggunya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)".
Menurut Al-Baihaqiy yang meriwayatkan dengan bersandar terhadap ibnu Umar, sesungguhnya ayat tersebut turun untuk menunjukkan kewajiban zakat pada bulan ramadlan, yaitu zakat fitri.
Al-Bhaghawi menegaskan dalam tafsirnya bahwa turunnya ayat sebelum adanya hukum adalah hal yang mungkin. Dia mencontohkan dengan ayat al-Balad, ayat 1dan 2.
لَا أُقْسِمُ بِهَذَا الْبَلَدِ (1) وَأَنْتَ حِلٌّ بِهَذَا الْبَلَدِ (2)
Artinya: "Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini, (1). Dan kamu (Muhammad) bertempat di kota mekkah  ini,(2)". (QS. al-Balad : 1-2)
Surat ini adalah surat makkiyah. Atsar al-hilli (kebolehan mendiami mekkah) terwujud pada penaklukkan kota Mekkah. Sehingga nabi bersabda: "Mekkah telah dihalkan untukku pada suatu di siang hari."
Contoh lain adalah surat al-Qamar, ayat 45 yang juga turun di mekkah.
سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ
Artinya: "Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belekang". (QS. al-Qamar : 45)
Umar ibn Khatthab berkata: "Saya tidak mengetahui golongan mana yang akan dikalahkan, ketika akan terjadi perang badar saya mendengar bahwa rasullah bersabda: "Golongan itu pasti akan dikalahkan."
Kesimpulan yang bisa diambil dari pembahasan asbab an-Nuzul ini adalah betapa pentingnya Asbab al-Nuzul dalam memahami kitab suci al-Qur'an dengan benar dan baik. Sama halnya mengetahui asbab al-wurud dalam memahami hadits. Jadi walaupun ada ulama' jumhur yang mengatakan "Yang dipandang adalam keumuman sebuah lafal bukan kekhususan sebuah sabab" asbab al-Nuzul tetap punya peran penting dalam memahami al-qur'an. Sebab dengan mengetahui pada hal itu para mufassir tidak sembarangan dalam menafsiri ayat.


[1] . lihat manna' al-Qhatthan, hal: 77. mansyur al-'asr al-hadits.
[2] . lihat zubdah al-Itqan fi ulum al-Qur'an, hal: 16, dar al-syaruuk. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar