Selasa, 01 Februari 2011

NU


LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA (NU)
Oleh: M. Zamroni

Sudah lama terjadi perubahan persepsi tentang “perubahan” di dalam Islam tradisional yang dari penglihatan sosiologi positivistic merupakan ‘batu karang yang tidak pernah berubah’ dan karena itu menjadi penghalang modernesiasi. Sejak antropologi diterima sebagai perangkat baru untuk melihat perubahan-perubahan social, telah banyak karya-karya yang provokatif dilahirkan.[1] Dengan pendekatan itu pula, Nahdlatul Ulama telah “ditampilkan” secara baru, dan pada umumnya dengan penuh empati sekaligus penuh daya kritis.
Pada awal abad xx, dalam kurun waktu 10 tahun, seorang yang sangat dinamis yang pernah belajar di Mekkah, yaitu K.H. Abdul Wahab Hasbullah, mengorganisir Islam tradisionalis dengan dukungan seorang kiai dari Jombang Jawa Timur yang sangat disegani, K.H Hasyim Asy’ari. Sejak bemukim di Mekkah, Kiai Wahab aktif di Sarekat Islam (SI) sebuah perkumpulan para saudagar muslim di Surakarta tahun 1912, yang semula betujuan untuk menangkal pencuri dengan sistem ronda dan memperbaiki posisi pedagang muslim, Arab dan Jawa, dalam bersaing menghadapi keturunan tionghoa. Beliau juga bekerjasama dengan tokoh nasionalis, sutomo dalam sebuah kelompok diskusi Islam studi club.
Pada tahun 1916, Kiai Wahab mendirikkan sebuah Madrasah di Surabaya yang benama Nahdlatul Wathan. gedung ini kemudian menjadi tempat mengembleng para remaja. Kiai Wahab juga membentuk sebuah koperasi pedagang, Nahdlatu at-Tujjar tahun 1918.
Menjelang 1919 sebuah madrasah baru yang sehaluan berdiri lagi di daerah Ampel, Surabaya dengan nama Tashwirul Afkar yang tujuan utamanya adalah menjadikan tempat bagi anak-anak untuk mengaji dan belajar, lalu ditunjukan menjadi sayap untuk membela kepentingan Islam tradisionalis.[2] Beliau juag pernah membentuk Nahdlatus Shubban, organisasi kepemudaan dan sebagainya. Namun sampai sedemikian jauh organisasi-oraganisasi yang dibentuk oleh kaum pesantren tersebut baru bersifat kecil-kecilan dan lokal.
Gerakan paling menonjol di kalangan kaum pesantren dalam hal berorganisasi terjadi ketika akan dilangsungkannya semacam “Muktamar Khilafah” oleh kerajaan Saudi Arab yang berkeinginan menjadi Khalifah Islamiyah Tunggal untuk menggantikan Khalifah Utsmaniyah di Turki yang baru digulingkan oleh gerakan Turki Muda pimpinan Kemal Attaturk.
Untuk mengirim delegasi sebagai wakil umat Islam Indonesia, dibentuk semacam panitia. Semua panitia ini merancang susunan delegasi Ummat Islam Indonesia ke Muktamar Khilafah (yang ternyata batal diselenggarakan) itu dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah termasuk salah seorang anggota delegasi mewakili Ulama, disamping wakil-wakil dari organisasi-organisasi Islam. Namun, kemudian nama K.H. Abdul Wahab Hasbullah dicoret dari anggota delegasi, dengan alasan “tidak punya organisasi”.
Padahal, kaum pesantren/Ulama Ahlussunah Waljama’ah Indonesia sangat punya kepentingan untuk ikut dalam delegasi ini. Bukan untuk urusan Khilafah, tetapi sikap dan tindakan Pemerintah Saudi yang dengan alasan anti syirik, anti khurofat, anti bid’ah, melarang ziarah kubur, baca kitab Barzanji, meminggirkan madzhab empat, dan menggusur berbagai kepetilasan sejarah Islam. Kaum Pesantren atau Ulama Ahlussunah wal Jamaah Indonesia bermaksud menyampaikan keberatannya terhadap sikap dan tindakan Pemerintah Saudi ini.
Meskipun Mukatamar tersebut gagal dilangsungkan, tetapi telah sempat menimbulkan gerakan besar bagi kaum pesantren di Indonesia. Pencoretan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dari delegasi umat Islam Indonesia dengan alasan tidak punya organisasi ini sangat mengecewakan kaum pesantren. Namun, ada hikmahnya, yaitu kaum pesantren/Ulama Indonesia meningkat semangatnya untuk:
a.       Berupaya untuk mengirim delegasi ulama Indonesia, atas kekuatan sendiri tanpa nunut (numpang) delegasi Ummat Islam Indonesia.
b.      Mendirikan organisasi karena menyadari betapa pentingnya punya organisasi.
 Dengan alasan pencoretan tersebut, K.H. Abdul Wahab Hasbullah mengusulkan kepada K.H Hasyim Asy’ari jombang untuk membuat sebuah gerakan yang mewakili para Ulama tradisionalis.[3] Namun,  K.H Hasyim Asy’ari sebagai sesepuh Ulama waktu itu tidak langsung menyetujuinya.  K.H Hasyim Asy’ari masih mohon petunjuk kepada Allah, memusatkan perhatiannya dengan melakukan shalat istikharah. Walaupun beliau melakukan istikharah berkaili-kali tetap tidak membuahkan hasil, karena petunjuk itu diberikan kepada K.H.R. Chalil Bangkalan.
Pada suatu hari - di tahun 1924 - Raden As’ad dipanggil gurunya, Kiai Muhammad Chalil Bangkalan. Ia disuruh menyampaikan sebilah tongkat disertai pesan ayat al-qur’an, surat at-Thaha ayat 17-23 kepada Kiai Hasyim Asy’ari Jombang. Setelah menrima tugas tersebut, Raden As’ad berangkat. Ia sangat patuh dalam menjalani perintah sang Kiai, walaupun dalam perjalanan sering diolok-olok.
Setelah sampai dihadapan Kiai Hasyim, Raden As’ad menyampaikan tongkat dan pesan ayat al-qur’an tersebut. Raden As’ad sangat heran, Karena kontan Kiai Hasyim bercucuran air mata ketika menerima pesan tersebut.
Setahun kemudian, Raden As’ad kembali dipanggil Kiai Chalil. Kali ini ia disuruh mengantarkan tasbih (dengan cara mengalungkannya) serta bacaan “ya Jabbar, ya Qahhar” tiga kali kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Raden As’ad tidak berani melepakan bahkan merubah posisi tasbih tersebut. Beliau berprinsip karena yang mengalungkannya seorang Kiai, maka yang melepaskan juga seorang Kiai. Disinilah peran penting Kiai As’ad sebagai mediator berdirinya NU.[4]
Pada bulan Januari 1926, sebelum Kongres Al-Islam di Bandung suatu rapat antar organisasi-organisasi pembaru di Cianjur memutuskan untuk mengirim utusan yang terdiri dari dua orang pembaru ke Mekkah. Satu bulan kemudian, Kongres Al-Islam tidak menyambut baik gagasan Kiai Wahab yang menyarankan agar usul-ususl kaum tradisionalis mengenai praktek keagamaan dibawa oleh delegasi Indonesia. Penolakan yang memang masuk akal itu – karena sebagian kaum reformis (Muhammadiyah) menyambut baik pembersihan dalam kebiasaan ibadah agama di Arab Saudi – telah menyebabkan kaum tradisionalis menjadi terpojok dan terpaksa memperjuangkan kepentingan mereka dengan cara mereka sendiri, dengan membentuk sebuah komite: Komite Hijaz, untuk mewakili mereka dihadapan Raja Ibn Sa’ud. Untuk memudahkan tugas ini, pada tangal 31 Januari 1926 diputuskan untuk membentuk suatu organisasi yang mewakili Islam tradisionalis yaitu, Nahdlatoel Oelama (NO).
Dari paparan di atas, selintas menggambarkan berbagai peristiwa dan perkembangan yang mendorong kelahiran NU, akan tampak bahwa aktifitas kaum reformis merupakan factor yang penting, walaupun kelahiran NU tidak semata-mata – sebagaimana yang dinyatakan banyak penulis – sebuah reaksi difensif terhadap pengaruh mereka yang semakin bertambah kuat. Konflik-konflik tajam antar kelompok reformis dan Islam tradisionalis sebagai latar belakang berdirinya NU tentu saja harus dilihat, tetapi – sebagaimana akan terlihat – perkembangan-perkembangan internasionalah yang memberikan alasan langsung bagi berdirinya NU. Lebih dari itu, walaupun dalam persepsi dirinya sendiri tujuan utama NU adalah mempertahankan tradisi keagamaan, dalam beberapa hal ia lebih dapat dilihat sebagai upaya menandingi daripada menolak gagasan-gagasan dan praktek yang lebih dahulu dikenalkan kalangan reformis.


[1] Bruinessen, Van Maretin. NU Trdisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru,LKiS, Yogyakarta: 1994.
[2] . Feillard, Andree, NU vis-à-vis Negara, LKiS Yogyakarta, 1999, hlm 8.
[3] .Muzadi, Muchith, Abd, Mengenal Nahdlatul Ulama (Cet. ketiga), Sunan Kalijogo, Jember:2005.Hlm.6-7
[4] Hasan, A. Syamsul, Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat,LKiS, Yogyakarta: 2003. Hlm.9-10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar